no fucking license
Bookmark

Mengulur Tali Rekonsiliasi Gus Dur


Konflik dan masalah disintegrasi sangat rentan terjadi dalam kehidupan masyarakat. Apalagi, kalau kehidupan itu memuat beragam bahasa, suku, dan kepercayaan (agama). Pelbagai ketegangan struktural dan kultural sangat mungkin terjadi. Ketidakmampuan masyarakat dalam memahami perbedaan dan mengatasi konflik, dapat menimbulkan perpecahan dan merenggut hak-hak asasi. Sehingga, dalam konteks semacam ini, perbedaan (khilaf) tidak mendatangkan rahmah, melainkan mafsadah.

Di negeri kita, Indonesia, beragam konflik dan masalah sosial kerap muncul. Kemungkinan hal itu terjadi, setidaknya ada dua: keterbatasan sumber daya dan kehendak untuk berkuasa. Jika faktor pertama berkaitan dengan kompetensi manusia, maka faktor kedua lebih kepada keserakahan manusia. Sejauh ini, terutama dalam konteks sejarah konflik di Indonesia, faktor kedua cenderung lebih dominan. Efek dari “akrobat politis” elite kekuasaan begitu menusuk dan dapat menumpahkan darah dalam kehidupan masyarakat akar rumput secara sistematis.

Ketika konflik (vertikal atau horizontal) terus-menerus terjadi, tidak menutup kemungkinan hal itu justru memarginalisasi dan menghilangkan hak-hak sebagian pihak. Dalam sejarah Indonesia pascakolonial, beberapa kali pernah meletus sebuah konflik yang berakibat penghilangan hak dan menumpahkan darah, seperti: Tragedi 1965-1966, Peristiwa Tanjung Priok (1984), Penculikan Aktivis (1997-1998), Geger Santet Banyuwangi (1998), Perang Sampit (2001), Tragedi Kanjuruhan (2022), dan lain sebagainya.

Beragam konflik itu telah mempertebal “buku catatan” sejarah kelam bangsa kita. Dan, ironisnya, sampai sekarang seabrek tragedi kemanusiaan itu tak kunjung mendapatkan keadilan. Dalam konteks konflik horizontal (masyarakat), cara-cara pro justitia seperti penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan Agung, harus melalui mekanisme yuridis dan tentu membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, untuk memulihkan hak dan memberikan keadilan terhadap korban kejahatan kemanusiaan di masa lalu, perlu juga menempuh langkah-langkah non-yudisial (penyelesaikan secara politik dan kultural).

Salah satu cara non-yudisial ialah “rekonsiliasi” (ishlah). Secara sederhana, istilah rekonsiliasi dapat dipahami sebagai usaha memperbaiki, mendamaikan, atau menyelesaikan konflik dengan pendekatan “humanis” (Latief & Mutaqin, 2015: 219). Ikhtiar rekonsiliasi politik dan kultural bisa ditempuh dalam konteks penyelesaian konflik atau kekerasan kemanusiaan di masa lalu. Tentu, dengan tetap dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan model pendekatan yang relevan—sesuai dengan karakteristik antar-pihak yang bersengketa.

KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, adalah tokoh nasional yang selama hidup senantiasa mendengungkan rekonsiliasi tersebut, baik secara politik maupun kultural. Dalam beberapa kesempatan, Gus Dur secara terbuka pernah “mengakui” keterlibatan warga NU dalam Tragedi ’65-66 dan “meminta maaf” kepada seluruh korban tragedi kemanusiaan itu. Bahkan, dalam konteks Tragedi ’65-66 ini, beliau juga sempat mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. 25 tahun 1966 (Budiawan, 2004: 49-50). Selain itu, pada tahun 1999-2000, Gus Dur pernah mengatasi konflik di Aceh dan Papua dengan pendekatan personal, kultural, dan humanistik. 
Penghormatan terhadap hak mereka dan proses dialogis sangat ditekankan oleh Gus Dur dalam menyelesaikan konflik Aceh dan Papua itu (Suaedy, 2018: 447).

Fakta historis di atas, setidaknya telah menunjukkan kepada kita mengenai komitmen Gus Dur dalam melakukan rekonsiliasi terhadap konflik di Tanah Air. Hal tersebut bisa dipahami sebagai manifestasi gagasan humanisme Gus Dur dan upaya konkret dalam proses demokratisasi. “Bahwa konflik-konflik bersenjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apa pun alasannya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak menakuti kelompok manapun. Justru keadilan yang harus kita tegakkan, sebagai prasyarat utama bagi sebuah proses demokratisasi,” tulis Gus Dur dalam sebuah artikel bertajuk “Keadilan dan Rekonsiliasi” (2006: 156).

Menurut Gus Dur, rekonsiliasi itu penting. Sejak manusia mengenal sejarah, kata Gus Dur, kebutuhan mencapai rekonsiliasi (ishlah) antar-masyarakat yang saling bertentangan senantiasa dilakukan (Wahid, 1998a). Jika toh kesepakatan bersama tidak dapat dicapai, misalnya karena masing-masing berbeda paham, paling tidak proses rekonsiliasi itu memberikan pengertian antar-kedua belah pihak (Wahid, 1998b). Secara gamblang, cucu mu’assis NU itu memaknai rekonsiliasi demikian:
“Jadi, pengertian dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih dapat dicari. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan. Di sinilah keadilan harus ditegakkan di Bumi Nusantara” (Wahid, 2006: 158).

Usaha rekonsiliasi juga membutuhkan sikap kerendahan hati, terutama dalam membaca konflik di tengah kehidupan masyarakat dan tragedi kelam masa lalu, dengan menggunakan perspektif dan pendekatan kemanusiaan. Langkah semacam ini, menurut M. Imam Aziz, adalah “jalan lain” menyembuhkan luka lama dan menyelesaikan konflik di Indonesia (Tempo, 2012: 125). Dengan kata lain, rekonsiliasi dapat dilakukan melalui pendekatan sosio-kultural.

Oleh sebab itu, dalam gagasan Gus Dur, kita bisa melihat dua model rekonsiliasi: “rekonsiliasi politik” dan “rekonsiliasi kultural”. Rekonsiliasi politik telah diwujudkan Gus Dur melalui permintaan maaf kepada korban Tragedi ’65-66, usulan pencabutan TAP MPRS No. 25 tahun 1966, dan membuka ruang demokratis (dialogis) di Aceh dan Papua. Sementara, gagasan rekonsiliasi kultural di tingkat akar rumput pernah dilakukan oleh “santri ideologis” Gus Dur dengan membentuk Syarikat Indonesia.

Sebagai generasi penerus perjuangan Gus Dur, kita perlu melanjutkan legacy tersebut. Tentu, dengan memaknai “rekonsiliasi” dalam konteks saat ini. Perbedaan atau kebhinekaan bisa mendatangkan rahmah, kalau kita mampu mengelola hal itu secara arif dan bijaksana. Ikhtiar rekonsiliasi itu juga dapat dilakukan dalam berbagai ranah dan tingkatan. Paling tidak, ketika membaca sejarah kelam atau dihadapkan dengan konflik, kita tidak lantas terjebak ke dalam tindakan formalisme yang “memaksakan” kebenaran dan kemauan kita kepada pihak lain. Inilah warisan berharga dari seorang Gus Dur. Beliau telah berhasil mengulur tali rekonsiliasi dalam kehidupan bangsa kita. Dan, di tangan kitalah ujung tali itu berada.(*)

Dendy Wahyu Anugrah, Cah Enom “Pinggiran” Banyuwangi

Rujukan

Aziz, M. Imam, “Jalan Lain Penyelesaian Tragedi 1965,” Majalah Tempo (7 Oktober 2012)

Budiawan. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Seoharto. Jakarta: ELSAM, 2004

Latief, Hilman dan Zezen Zaenal Mutaqin (ed.). Islam dan Urusan Kemanusiaan: Konflik, Perdamaian, dan Filantropi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2015

Suaedy, Ahmad. Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001. Jakarta: GPU, 2018

Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006

———, “Kecendekiawanan dan Kekuasaan,” GusDur.Net (1998a)

———, “Rekonsiliasi,” GusDur.Net (1998b)

Posting Komentar

Posting Komentar