WA bergetar. Pagi.
Tiba pesan. Kabar duka. AK. Armaya wafat. Kabar itu saya peroleh langsung dari
Pak Mulyadi, keponakan beliau.
AK.
Armaya, sastrawan dan tokoh budaya Banyuwangi yang penting, wafat di usia 93
tahun. Kematian agaknya tak bisa membunuhnya. Bagi saya, dia guru sekaligus
orangtua. Kecintaan dan kegilaannya pada sastra dan budaya begitu
berkilau-kilau. Kegilaan di balik sikap hidupnya yang sederhana dan rendah
hati. Kematian memang tak bisa membunuhnya. Meski dengan kematian, jasadnya
dikubur. Tapi kematian tak sanggup merenggut jejaknya, tak bisa membuatnya
mati. Tak bisa membuatnya terkubur.
Bagi saya, Armaya adalah tokoh penting
sastra dan budaya. Saya tak akan menyematkan kata “nasional”, “lokal”, atau
“dunia”. Itu cuma pengakuan. Label-label yang sebenarnya omong kosong. Lantaran
ia telah melampaui ketenaran dan pengakuan. Sastra dan budaya ialah nafasnya.
Dan untuk itu, ia berkomitmen menghidupi. Dan asik berenang-renang tenang di
dalamnya.
SING
ONO JODOH
Armaya adalah pencipta lagu legendaris
Bahasa Jawa berdialek Banyuwangi berjudul “Sing Ono Jodoh”. Lagu
tersebut berpuluh-puluh tahun sampai sekarang, karib di telinga orang
Banyuwangi. Dan barangkali tak banyak orang tahu, kisah dalam syair lagu
itu---dugaan saya, adalah kisah hidup Armaya. Laki-laki itu jatuh cinta pada
seorang gadis. Sang gadis pun mencintai sang laki-laki. Tapi entah karena apa,
keduanya tak jadi menikah. Sang gadis menikah dengan laki-laki lain. Sedang
lelaki kasihnya, patah hati. Jauh pergi membawa luka dan perih. Tapi hati
laki-laki itu merelakan kebahagiaan gadis yang dicintainya meski tak hidup
bersama. Dan ia tak ingin merusak persaudaraan di antara keduanya. “Sing ono
jodoh, seduluran baen” (kalau tak berjodoh, kita bersaudara saja). Dan
laki-laki yang patah hati tersebut---hingga akhir hayatnya, tak pernah jatuh
cinta lagi. Ia menyendiri saja sampai akhir hayatnya.
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri
(Cintaku Jauh di Pulau, Chairil Anwar, 1946)
Hingga pagi itu (Minggu 26 Juni 2022)
Sekitar pukul 07.00 Wib, Armaya seperti biasa memberi makan ayam-ayamnya. Dia
akrab dengan hewan-hewan ternak. Dengan suara lantang, Armaya memanggil-manggil
salah satu ayamnya yang paling nakal dan lucu. “Sini kamu. Makan! Petok! Petok!
Petok!” ujarnya.
Ayam-ayam kampung berebut biji-biji
jagung yang ditebarkan Armaya di halaman samping rumahnya yang sempit. Setelah
ia memberi makan ayam-ayam, ia masuk. Ke tempat tidur. Biasanya ia bangun subuh
pukul 04.00 Wib, beraktivitas sampai 07.30, lalu ia akan tidur. Bangun lagi
pukul 09.00 Wib, beraktivitas sampai siang. Kemudian tidur siang. Pada Minggu
pagi itu, setelah memberi makan ayam-ayam, ia tidur pukul 07.30. Merebahkan
tubuhnya yang tua, dengan usia yang nyaris seabad. Renta. Dan lelah. Minggu
pagi itu, ia tidur, dan tak pernah bangun lagi untuk selama-lamanya. Tak ada yang
tahu kematiannya. Ia tidak sakit. Hanya tidur. Mati pun sendiri.Dan kematian tak dapat membunuhnya. Justru dengan kematian, ia menjadi
kekal.
IMPIAN
YANG TERKENANG
Tapi bukan hanya itu. Seorang mahasiswa
S-2 Universitas Gajah Mada (UGM) Jurusan Sejarah, membuat tesis perihal
biografi karya, gerakan, dan pemikiran Armaya. Dia adalah Monica Frensia M. F.
Tesis tersebut digarap Monica di bawah bimbingan seorang sejarawan yang
termashur sebagai penulis sejarah Blambangan dan Guru Besar Sejarah UGM
Jogja, yakni Dr. Sri Margana, M.Phil. Sayangnya karya
tesis Monica tak dibukukan. Namun tesis itu dapat dilacak pada Armaya: Biografi Pemikiran Sastra dan Sejarah Banyuwangi
(2002-2005).
Di balik kisah yang pilu lagu “Sing
Ono Jodoh”, ada harapan sederhana dari penciptanya. Armaya punya
keinginan Banyuwangi mempunyai sekolah tinggi seni yang bagus, perpustakaan
yang besar, museum lukisan, dan pusat dokumentasi. Beberapa waktu yang lalu,
seorang kawan pelukis menyampaikan “gagasan besar”nya. Ia ingin Banyuwangi
punya museum lukisan dan pusat dokumentasi seni. Gagasan tersebut---katanya, ia
sampaikan dan pikirkan sejak tahun 2010. Saya menyimak penjelasannya. Diam-diam
di dalam hati saya bergumam, Armaya telah menyampaikan gagasan tersebut sejak
ia pulang ke Banyuwangi sekitar 1987. Dan gagasan itu ia tulis dalam novelnya
berjudul “Bayangan” yang dimuat dalam Buletin Jumat Baiturrahman Banyuwangi
antara tahun 2002 sampai 2005.Sebuah keinginan yang belum terjadi
sampai beliau wafat.
YANG
TAK PERLU DIAKUI
Barangkali tak banyak orang tahu, dia
adalah sastrawan penting yang hidup dalam sejarah sastra Indonesia. Armaya karib
dengan WS. Rendra, Mansur Samin, dan Hartojo Andadjaja. Sikapnya yang
pendiam, membuat Armaya tak pernah menceritakan masa lalunya yang---bagi saya,
sangat menakjubkan. Kalau pun ia bercerita masa lalunya, ia akan banyak
mengisahkan kehidupan kawan-kawannya. Armaya gemar dan merasa bahagia sekali
jika sudah menceritakan kisah hidup kawan-kawannya dulu. Ia akan menceritakan
ciri khas, sikap lucu, kelebihan, kebahagiaan, bahkan penderitaan yang dialami
kawannya. Nyaris ia tak pernah menceritakan pengalaman hidupnya sendiri. Itu
kerendahan hati yang---bagi saya, mengagumkan. Ia memang pendiam. Dan tak gemar
berada di depan. Kalau datang, pasti mengambil posisi di belakang. Setiap kali
orang memintanya ke depan, ia menolak dan menyilahkan yang lain.
Ia punya nama Abdul Kadir Zaelani. Seringkali
disingkat AKZ di depan nama Armaya. Nama Armaya adalah nama
pena. Rupa-rupanya Armaya mengagumi Tan Malaka. Sosok pemikir Islam yang dianggap
komunis. Kekaguman tersebut bukanlah kekaguman pada ideologi, meliyankan
kekaguman pada sepak terjang Tan Malaka di dalam memperjuangkan
kemerdekaan. Di samping itu, Armaya mengagumi kepribadian Tan Malaka yang
penyendiri, namun banyak kawan. Tak gemar menonjolkan diri, tetapi punya peran
yang sangat penting di dalam suatu gerakan. Sehingga di mana-mana, ia selalu
memakai nama samaran untuk menyembunyikan identitas atau jati dirinya.
Armaya memakai nama samaran. Ia
tak gemar memperkenalkan diri, dan selalu menyembunyikan identitasnya. Hanya
orang-orang dekatnya yang mungkin tahu jati dirinya, itu pun tak sepenuhnya. Ia
seorang penyendiri yang sulit dimengerti. Tapi tidak suka berbelit-belit. Ia
adalah seorang penyendiri yang riang, banyak kawan, dan gemar menertawakan
kekonyolannya sendiri. Ia pernah mengatakan, bahwa hidup kita memerlukan
pahlawan. Tapi pahlawan sejati menurutnya, adalah pahlawan yang tak dikenal.
Lantaran yang dikenal itu, selalu digoda popularitas dan kebanggaan belaka. Dan
baginya, dilihat dan disorot banyak orang itu tidak mengasikkan. Hidup tidak
leluasa berbuat baik. Lantaran jika kebaikan itu tampak, rawan terjebak dalam
kebanggaan. Dan kalau buruk sedikit saja, akan mendapat penghakiman yang
berlebihan.
Nama Armaya sebagai nama pena, agaknya
menjadi sebentuk upayanya menghindari popularitas. Dan hal itu ia pegang sampai
akhir hayatnya. Padahal peran dan fungsinya sebagai seorang tokoh sastra dan
budaya, tak terbantahkan sejarah. Terserah orang mau melihatnya dalam sejarah
sastra nasional atau lokal. Lantaran wilayah hanya batas semu yang sesungguhnya
tak pernah lepas dari banyak sekali kepentingan.
PERJALANAN
YANG PANJANG
Ia lahir di Banyuwangi pada 10 Juni
1930. Tulisan-tulisan Armaya termuat di media-media berpengaruh dan bersejarah
dalam perjalanan sastra Indonesia, yakni di Majalah Kisah, Berkala Siasat,
Konfrontasi, Sastra, Indonesia Raya, Majalah Budaya (Yogyakarta), Koran Dwi
Warna, (Surakarata), Koran Tribun Pemuda (Jakarata), Buletin Bendera Sastra
(Bandung), dan lain-lain. Suatu pagi, Armaya tiba di Surakarta.
Selepas SMP, ia meneruskan pendidikan di SMK Santo Yosef,
Surakarta. Lulus pada 1952. Armaya melanjutkan
pendidikan ke Universitas Indonesia Jakarta pada fakultas hukum. Di bangku SMK Santo Yosef, Surakarta, Armaya
remaja berkawan karib dengan WS. Rendra. Waktu itu, tatkala didirikan
Lembaga Seni Sastra, Armaya sebagai ketua wilayah Surakarta, WS. Rendra
sebagai ketua wilayah Yogyakarta.
Tulisan-tulisan sastra Armaya dimuat
dalam Kisah, Gelanggang, dan Siasat yang diasuh HB. Jassin. Lalu
di Koran Dwi Warna, pada kolom Sumbangsih yang diasuh DS.
Moeljanto, kolom Simposium yang diasuh oleh Hartojo Andangdjaja bersama
Mansur Samin. Dalam sejarah sastra Indonesia, nama-nama tokoh dan media cetak
tersebut adalah tonggak-tonggak penting perjalanan sejarah sastra Indonesia
modern. Armaya pernah menjadi wartawan. Pada 1973-1978. Ia pernah bertugas sebagai Kepala Humas Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan, Jambi. Di
Jambi, ia bersastra. Tekun mengisi Ruang Sastra dan Ruang Ilmu dan Seni pada
Radio Republik Indonesia (RRI) Jambi. Di situ, ia juga
bekerja sebagai dosen Bahasa Indonesia pada IKIP Jambi dan SPG (Sekolah
Pendidikan Guru) Jambi. Pada 1979-1986, ia
bertugas di Bandung pada bidang Pendidikan Luar Sekolah, Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan. Armaya pensiun pada 1986. Pulang ke Banyuwangi pada sekitar 1987.
Di Banyuwangi sejak tahun
1987 itu, Armaya menerbitkan buku-buku dengan dana pribadinya. Hampir 500
judul buku yang telah ia terbitkan. Pada 1995, ia mendirikan Pusat Studi
Budaya Banyuwangi (PSBB). Lembaga inilah yang kemudian menerbitkan buku-buku
secara lokal dan nasional. Ketika menjadi sekretaris Yayasan Masjid Agung
Baiturrahman Banyuwangi, ia menerbitkan Buletin Jejak Baiturrahman.
Kemudian ia mengasuh teater pemuda masjid, menerbitkan Buletin Suara Hamba,
lalu Buletin Baiturrahman. Menerbitkan antologi-antologi puisi para penyair
Banyuwangi, menerbitkan Majalah Budaya Jejak, menerbitkan Lembaran Kebudayaan,
dan buku-buku sastra dan sejarah lokal Banyuwangi. Nyaris 500 judul buku yang
telah ia terbitkan dengan uang pribadinya. Belum lagi ia mendanai
kegiatan-kegiatan seni dan budaya, kajian sejarah lokal, dan merehabilitasi
situs bersejarah, yakni makam ibunda Sunan Giri, Sayu Atikah, di Giri,
Banyuwangi pada 2003-2004.
Terbitan-terbitan Armaya melalui
Yayasan Masjid Agung Baiturrahman dan PSBB, masih tersimpan dengan rapi di
Pusat Dokumentasi Budaya Banyuwangi yang digagas olehnya. Armaya pernah
menggagas berdirinya pusat dokumentasi. Gagasan cerdas itu, ditangkap oleh
empat orang mahasiswa Untag 1945 Banyuwangi. Kemudian keempat mahasiswa
tersebut, yakni Iwan Aziez Siswanto S., Mohammad Shodiq, Misbahul Munir, dan
saya sendiri (Taufiq Wr. Hidayat) mendirikan Yayasan Pusat Dokumentasi Budaya
Banyuwangi (PDBB). Yayasan ini diketuai Iwan Aziez Siswanto S., pendiriannya
dibiayai alm. Bambang Purwanto, sekaligus menjadi Ketua Pengawas bersama Fatah
Yasin Noor.
Sedang Ketua Pembina Yayasan adalah
Armaya. Dokumen-dokumen terbitan Armaya dan data-data kegiatan sastra dan
budaya Banyuwangi yang berada di bank dokumen PDBB yang digagas Armaya
tersebut, merupakan kekayaan intelektual Banyuwangi. Ini penting untuk dijaga,
sehingga gerak kebudayaan Banyuwangi selalu dapat mengenali dirinya sendiri.
Para peneliti tekstual Banyuwangi, banyak mencari data-data dokumen di
perpustakaan PSBB dan bank data PDBB. Ini menjadi penanda, bahwa mengenali
sastra dan budaya Banyuwangi tak lepas dari jasa Armaya.
AYAM
DAN BURUNG, KUCING DAN TIKUS, DAN KISAH SEEKOR ANJING
Di halaman samping rumah Armaya,
terdapat pohon kelor yang besar. Pernah kepada saya ia ceritakan, pohon kelor
itu ditanam orangtuanya. Kedua orangtua Armaya adalah pendatang. Konon keduanya
Madura. Seingat saya Armaya mengisahkan, dan semoga kisah ini tidak keliru.
Dulu ibunya adalah seorang perantau dari Madura. Berhenti di Pantai Boom
Banyuwangi. Dengan mengira-ngira, itu sekitar tahun 1917-an. Jauh sebelum
kemerdekaan. Perempuan perantau itu bekerja sebagai pencuci piring di pelabuhan.
Dan bapaknya adalah pedagang keliling. Mendasar sembako di depan sebuah toko
sembako. Hingga pada akhirnya, toko sembako tersebut bangkrut. Pemiliknya
berniat menjual toko. Tak diduga, si penjual sembako keliling dengan pikulan
yang sering berjualan di teras toko tersebutlah yang membeli. Itu menakjubkan!
Kegigihan dan hasil keringat yang---menurut Armaya, menjadi pandangan hidupnya
kemudian hari. Orangtuanya menjadi pedagang berhasil, bertani, dan
menyekolahkan Armaya sampai meraih Sarjana Hukum di Universitas Indonesia,
Jakarta.
“Pohon kelor ini usianya lebih tua
dari saya, karena ditanam oleh orangtua saya,” ujar Armaya suatu kali.
Di situ, Armaya memelihara
binatang-binatang ternak. Memelihara ayam. Pertama hanya dua ekor. Lama-lama
ayam-ayam itu banyak. Lalu kucing. Pertama dua ekor. Semakin hari,
kucing-kucing menjadi belasan ekor. Lalu burung dara. Puluhan burung dara
beterbangan di atap-atap rumahnya. Tiap pagi Armaya menebarkan biji-biji jagung
dan sayur kangkung yang telah ia rajang kecil-kecil dengan pisau dapur di
halaman samping rumahnya. Puluhan ekor ayam dan burung dara berebut biji-biji
jagung dan potongan-potongan kangkung. Armaya dikeliling ayam dan burung-burung
dara. Tiap pagi ia ke pasar dengan sepeda Suzuki RC80 Jet Cooled, keluaran
tahun 1982. Sepeda tua itu selalu mengantarnya ke pasar dan ke masjid. Ke pasar
berbelanja jagung, sayur kangkung, dan lain-lain. Semua adalah kebutuhan
binatang-binatang peliharaannya. Itu ia kerjakan berpuluh-puluh tahun sejak
pulang ke Banyuwangi sekitar 1987 sampai wafat. Ketika wafat, ia baru saja
selesai memberi makan ayam-ayamnya di pagi hari.
Kucing-kucing. Ayam. Burung-burung
dara. Dan kotoran-kotoran binatang itu yang tiap hari dibersihkannya. Tak
banyak orang kerasan dengan bau kotoran binatang bila bertamu ke rumahnya. Tapi
ia diam. Dan memaklumi.
Jika malam, ia meletakkan beras jagung
atau sisa makanan di beberapa sudut ruang. Itu buat makanan tikus liar yang
keluar masuk sembarangan ke dalam rumahnya. Tikus-tikus liar beranak pinak.
Karena tiap malam dikasih makan.
Dikisahkan oleh Fatah Yasin Noor kepada
saya perihal kisah Armaya dan seekor anjing. Kisah ini juga pernah diceritakan
kepada saya. Kisah ini didapatkan Fatah Yasin Noor dari Armaya sekitar tahun
2000. Dan seingat saya, saya pernah mendengar kisah Armaya tersebut di tahun
2003.
Sahdan di tahun-tahun 90-an awal, di
kampung terdapat seekor anjing liar yang kotor. Tiap kali Armaya ke masjid
terdekat untuk mendirikan salat, dalam perjalanannya ia dicegat seekor anjing
kotor. Armaya adalah orang yang tekun salat, ia muslim yang taat. Kecuali salat
maghrib, isyak, dan subuh, ia tidak ke masjid. Selepas maghrib, ia membaca
Surat Yasin dan menghatamkan Qur’an di rumahnya. Armaya mendirikan salat zduhur
dan asyar-nya di masjid. Anjing kotor itu selalu muncul dari selokan dengan
lidah terjulur kelaparan. Setiap selepas salat dzuhur dan asyar di masjid,
Armaya menyiapkan makanan. Ia mendekati anjing selokan itu, memberinya makan.
Lalu meninggalkannya. Begitulah setiap hari. Sampai bertahun-tahun. Anjing
kotor itu seolah sengaja menunggu dengan setia di bawah selokan, menanti Armaya
turun dari masjid. Dan Armaya melemparkan makanan ke selokan.
Anjing itu merasa begitu senang ketika
melihat Armaya turun dari masjid. Ia akan mendapatkan makanan. Setelah
bertahun-tahun, pada suatu senja, Armaya tidak ke masjid karena merasa tak enak
badan. Anjing kotor itu mencari rumah Armaya. Berbekal penciumannya yang tajam,
anjing tersebut berhasil menemukan Armaya. Anjing itu seakan mengerti, bahwa
tuan baik yang selalu setia memberinya makan setiap hari sedang sakit. Anjing
selokan itu ingin menjenguknya. Melihat anjing kotor memasuki perkampungan yang
tak karib dengan anjing, bahkan mungkin menganggap anjing adalah binatang kotor
dan berbahaya, beberapa orang kampung mengusir si anjing. Tapi anehnya, anjing
kotor tersebut tidak mau pergi dari pintu rumah Armaya sebelum ia dapat melihat
tuan baik yang selalu memberinya makan itu, meski beberapa orang kampung
setempat memukulinya, ia hanya berkaing-kaing menahankan sakit.
Beberapa orang terus memukulnya tanpa
ampun, seseorang berhasil memukulnya keras-keras dengan lonjoran besi. Seketika
anjing itu menjerit lantang sekali. Mulutnya berdarah. Kepalanya bocor. Anjing
kotor itu perlahan menjauh dengan langkah yang berat, karena belum bisa melihat
tuan baik yang didatanginya. Perlahan menjauh dari pintu. Dan lonjoran besi
kembali mengenai kepalanya dengan lebih keras. Anjing selokan terkapar, matanya
berkedip-kedip. Suara nafasnya terdengar sekarat dan memilukan, pelan-pelan
hilang. Lalu tewas. Armaya baru tahu ada sedikit keributan di depan pintu
rumahnya. Ia keluar. Ia melihat anjing kotor yang setiap hari diberinya makan
dengan penuh kasih-sayang itu telah tewas, bangkainya diseret beberapa penduduk
untuk dibuang ke sungai.
Suatu malam, ia mengisahkan kisah
anjing itu kepada saya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Fatah Yasin Noor
juga pernah mendengar cerita tersebut.
“Semua makhluk adalah ciptaan Tuhan. Dan semua punya hak untuk hidup. Kita jangan menyakiti makhluk Tuhan, meskipun kita tidak suka padanya,” kata Armaya.
YANG
DIMAKAMKAN DENGAN KESEDERHANAAN, YANG TAK USAI DIKENANGKAN
Armaya selalu mengisi hidupnya dengan
kesendirian. Memelihara ayam, kucing, burung, dan entah hewan apa lagi. Pembaca
yang baik. Dan pendengar yang sangat perhatian pada lawan bicaranya. Kamarnya
penuh buku-buku dan dokumen-dokumen sastra, sejarah, dan manuskrip-manuskrip.
Tempat tidurnya tinggal setengah meter, lantaran ruang dan kasurnya dipenuhi
tumpukan buku-buku. Ada tiga kamar di ruangan pribadinya. Dan di dalam ketiga
ruangan tersebut, buku-buku penuh, bahkan buku-buku bertumpuk sampai menyentuh
langit-langit ruangan. Ia begitu hikmat di dalam kesunyian dan
kesendirian.
Sebelum ia dimakamkan, ia telah
memakamkan dirinya sendiri. Hal itu pernah ia sampaikan kepada saya pada suatu
malam. Armaya mengatakan, dirinya sangat mengagumi dan memegang sebuah ungkapan
dalam kitab al-Hikam karya mashur Ibnu Athailllah. Ungkapan yang dimaksud
Armaya tersebut adalah sebagai berikut:
إِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِي أَرْضِ
اْلخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَايَتِمُّ نِتَاجُهُ
“Kuburkanlah wujudmu
sedalam-dalamnya di atas bumi rendah yang tak bernama, bumi samar yang tak
dikenali. Lantaran setiap yang tumbuh tanpa dikubur dalam-dalam, hanya
kedangkalan dan ketaksempurnaan.”
Ungkapan mashur dalam kitab al-Hikam
ini, ialah sebentuk komitmen dan kesetiaan berbuat kebaikan dengan upaya untuk
menolak atau menghindar dari segala pengakuan dan pengharapan kepada makhluk.
“Bumi rendah tak bernama, samar, tak dikenali, dan tanpa jejak” ialah bumi,
yang di atas bumi itu, ketenaran dan tepuk tangan tak berlaku, dan sama sekali
tak ada. Bumi yang samar dan tak berbekas. Tak ada jejak yang perlu
ditinggalkan, selain kebaikan dan pengabdian yang tak perlu dimonumenkan. Biar
hilang tinggal kenangan. Mengubur diri sedalam-dalamnya di atas bumi rendah,
bumi samar yang tak bernama itu, ialah upaya untuk menghindari ketenaran dan
pengakuan juga tak menempuh segala yang akan menyebabkannya. Jika pun terpaksa
terkenal, ia tetap memendam dirinya, yang dalam istilah Islam disebut
“tawaduk”, yakni rendah hati, dan tak memandang posisi serta pencapaiannya
adalah sesuatu yang besar, apalagi dibesar-besarkan.
Armaya memegang nilai itu. Ia
menguburkan dirinya di atas bumi rendah yang tak bernama. Jauh sebelum ia
wafat. Sehingga tumbuhlah ia sebagai mawar yang menakjubkan dengan warna dan
wanginya. Dan hanya mereka yang kembara dan mencari, dapat menemukan keindahan
warna mawar itu, dan menghirup aroma wanginya yang menakjubkan. Meski mawar itu
telah tiada, musnah ditelan kefanaan, namun wanginya dan warnaya terus
terkenang di dalam ingatan mereka yang mencari. Lantaran angin dari arah sana,
dengan tenang senantiasa setia menghembuskan aroma wanginya yang menakjubkan
pada semesta raya.
Penulis : Taufiq Wr Hidayat
Posting Komentar