no fucking license
Bookmark

Kumpulan Essai Taufiq Wr Hidayat


    Namun siapa yang sanggup hidup tak bisa mati? Tak ada! Semua manusia mati. Mati adalah pasti. Walau manusia tidak ingin mati, ia tetap saja mati. Mau tidak mau. Ketika mati dipikirkan dan dipertanyakan, jawaban akhirnya mati. Tidak dipikirkan pun, tetap saja mati. Menurut kawan saya, manusia tidak perlu mencari “ilmunya mati” atau “dalane pati” (jalan kematian). Karena mati itu pasti.

Sedangkan hidup selalu meniscayakan ketidakpastian lantaran ia bergerak dan terus berubah. Di situ ribuan bahkan jutaan kemungkinan dapat terjadi setiap hari sebagai bukti adanya hidup. Besok bisa makan apa dan dapat dari mana? Nanti kita tetap sehat atau tiba-tiba jatuh sakit? Apa rencana, apa kerja, apa akan diolah? Apa yang harus ditempuh, dan bagaimana menjaga tanggungjawab kehidupan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut barangkali lebih penting dipikirkan, karena jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu penuh ketidakpastian, penuh kemungkinan, dan menyimpan begitu banyak peluang. Jadi buat apa mencari pengertian mati? Tanya kawan tadi. Sebab jika orang takut mati, akhirnya ia mati. Jika orang berani mati, ia malah cepat mati. Kawan saya tertawa.

“Mongko urip-uripo siro. Den urip jati, tan keno pati,” kata kearifan Jawa.

Maka hiduplah, tuturnya. Bahwa hidup yang sebenar hidup, ialah hidup yang tak bisa mati.

Dalam karyanya “Im Horizont des Unendlichen” (Dalam Horison Ketidakterbatasan), Nietzsche mengandaikan nilai adalah perahu. Bukan kapal yang kokoh dan mapan. Keruntuhan nilai hanya dicapai tatkala manusia meniadakan segala nilai itu sendiri. Dengan perkataan lain: dibongkar.

Terciptalah nihilisme. Namun dalam menghadapi ketiadaan atau keruntuhan nilai, ia tak diam (pasif). Tatkala ia mengafirmasi keruntuhan makna dan nilai, ia ternyata tak dapat menanggalkan kenangan dari nilai dan makna yang lampau. Ia seharusnya menyelenggarakan “pembalikan nilai”, menjelma yang aktif, yang kritis. Ia senantiasa mempertanyakan segala nilai dan makna yang mapan. Pun setiap peristiwa dan perubahan. Ialah melakukan penilaian ulang segala nilai yang telah ada dan mapan, yang menjadi beku bagai berhala---apakah ia yang bersumber dari kekuasaan maupun keyakinan.

Tak ada nilai dan makna absolut dan mutlak yang ditanggung kebenaran dan manfaatnya oleh Tuhan. Atau kekuasaan. Ia harus membebaskan diri dari yang absolut yang menangung keselamatan dirinya dan dunia. Dan saat segala nilai menjelma absolut, manusia perlu meninggalkannya.

Maka ia bagai menumpang sebuah perahu yang sejatinya rapuh untuk mengarungi samudera ketakberhinggaan. Tak ada akhir dari pelayaran, tak hendak mencapai sebuah pulau untuk berlabuh dan aman. Melainkan terus-menerus dalam pelayaran. Terus-menerus dalam gelora kesadaran menghadapi samudera tanpa batas. Dan jika “perahu nilai”---yang memang rapuh tersebut, mengalami rusak, ia harus membuangnya kemudian mengganti “perahu nilai” itu dengan “perahu nilai” yang baru.

Kadangkala manusia gemar menyelamatkan dirinya sendiri meski harus mencelakai yang lain. Dan setelah semua pertarungan diselenggarakan, yang tersisa hanya risau dan sepi. Lantaran mati merenggut segala pencapaian yang dibiayai penindasan dan penghancuran yang bersusah payah diselenggarakan tanpa ampun. Melihat kematian dan penderitaan, seolah parodi sejarah yang tak pernah selesai tatkala orang mencoba memasuki kesadaran kemanusiaan dan menemukan pertanyaan yang sangat mendalam dalam dirinya: “buat apa semua itu?”

“Itu bukan urusan-Ku!” kata Tuhan sambil tertawa.

Kerisauan itu pun agaknya dirasakan Ingmar Bergman, seorang sutradara mashur Swedia yang pintar. Kerisauan iman atau jiwa yang mendalam, terjadi dalam filmnya "The Seventh Seal" (1957). Di tengah kekejaman, kebusukan, ketegaan perang dan kenyataan kecarut-marutan yang mustahil, manusia patah hati pada agama. Dalam keadaan mengerikan, keterhimpitan yang tak punya jalan keluar, kemelaratan yang menyedihkan, penyakit yang mematikan, agama dan iman tak dapat memberi jawaban mendalam dan selesai atas kerisauan sejarah.

Agama atau iman justru jadi alasan paling ampuh melakukan kehancuran, memupuk kebencian yang mengobarkan perang, demi kejayaan ekonomi dan kehormatan suatu bangsa. Pada yang tak tampak, berdampak, kepanikan terjadi. Seperti virus.

Orang percaya surga yang tak tampak dari seorang agamawan dan teks suci agama. Seperti orang yang percaya penyakit yang tak terlihat mata pada pakar medis dan teks perihal penyakit. Tapi kepercayaan itu, seringkali disalahgunakan. Dan orang pun terjebak pada tipuan informasi yang menderas tanpa batas. Lantaran kebenaran seringkali ditumpangi kepentingan dan tiba secara terpenggal-penggal. Orang yang sempat menyadarinya, bagai tak lagi percaya pada kebenaran yang ditampilkan, tapi memilih kemungkinan untuk meraba kenyataan.

Bagi Ingmar Bergman, iman cemas di dalam dada. Risau. Dan tak terjangkau. Buat apa iman beserta segala ketetapannya jika manusia harus menyerahkan nasib pada kenyataan tanpa pembelaan, tanpa peluang dan harapan?

Sahdan, seorang veteran perang Salib, Antonius Block namanya, pulang dari medan laga. Ia telah melihat penderitaan, kematian, mayat berserakan, dan bau daging yang terbakar. Dalam perjalanan pulang, ia dicegat sosok yang tak terhindarkan oleh umat manusia sepanjang sejarah, bernama Maut.

"Waktu hidupmu selesai!" ujar Maut dalam wujud manusia yang tak terawat, "dan apakah kau telah siap sedia untuk mati?"

Siapa yang siap?

Nyaris tak ada manusia siap dan mau mati. Meski ia siap mati, tapi sesungguhnya ia tidak ingin mati. Jika ada yang siap dan mau mati, barangkali karena tak punya pilihan lain dalam hidupnya. Atau dalam ketakberdayaan. Sedang di lubuk jiwanya, orang ingin berbahagia dan kekal sepanjang masa. Seperti kalimat terakhir dari sebuah dongeng pada malam hari.

Lantaran tak siap dan tak mau mati, Block mencoba melawan Si Pencabut Nyawa atau Maut. Itu parodi. Ia tentara yang selalu siap mati di medan perang. Tapi ketika mati itu datang hendak menjemputnya pada sisa atau di luar perang, ia justru takut menemui yang selalu tak ingin ditemui setiap orang, yakni mati. Apakah seorang pembunuh adalah orang yang melawan maut dengan pembunuhan? Tentara menembak agar dirinya tak tertembak? Alangkah sia-sianya!

Itulah mungkin yang membuat Block---dalam kisah film garapan Ingmar Bergman yang ambigu itu, mengajak Malaikat Maut bermain catur. Tentu saja taruhannya adalah hidup dan mati. Lalu apa bedanya permainan pertaruhan hidup dan mati itu dengan perang dan pemusnahan, dengan sikap membiarkan orang lain celaka dan sikap yang anti solidaritas?

Kenangan samar namun tegas, keraguan, ketakutan, dan kekhawatiran menyerbu dada Block. Ia melawan Maut di atas meja catur. Alangkah pentingnya hidup. Alangkah berharga satu nyawa di atas meja catur dalam film "The Seventh Seal" itu. Tiap orang menyimpan kenangan dan ingatan berharga yang tak mungkin dilepaskan. Tiap orang memiliki harapan. Yang sesungguhnya tak tampak, namun ia mendampak nyata dalam hidup. Mungkin dengan begitu, ia menyadari betapa berharga hidup ini. Kebersamaan dan bahu membahu dalam maksud bersama, yakni kemanusiaan, jauh lebih berharga daripada kejayaan-kejayaan bagi diri sendiri.

Narasi Ingmar Bergman itu mirip kisah dalam khazanah Islam, yakni tokoh Nazarudin Hoja.

Suatu ketika, ia dicegat Maut. Karena tak siap mati, Nazarudin pun bersiasat. Ia mengajak Maut bertaruh dalam suatu permainan.

"Bagaimana mungkin engkau akan mencabut nyawa manusia yang belum siap mati, wahai Maut?" ujar Nazarudin bermain kata-kata.

"Justru aku diutus Tuhan mencabut nyawa orang yang tidak siap mati," jawab Maut tegas.

"Baiklah. Beri saya kesempatan untuk siap mati."

"Tak mungkin! Yang saya bunuh pastilah yang tak siap mati."

"Mari bertaruh! Kita lakukan sebuah permainan sederhana. Coba kau bebaskan istri dan anak-anakku, kawan dan saudara-saudaraku dari kemelaratan, perang, wabah, dan penderitaan. Kita lihat nanti. Jika aku masih belum siap mati, maka ambillah nyawaku."

Maut menyanggupi tantangan Nazarudin Hoja. Setelah merasa aman dan damai melihat anak-istri, saudara, dan kawan-kawannya tidak kelaparan, Nazarudin pun siap mati. Dan Maut tak dapat membunuh Nazarudin, karena ia sudah tidak masuk golongan orang yang tak siap mati.

Bukankah narasi ini sesungguhnya kerisauan iman di hadapan realitas sebagaimana film Ingmar Bergman "The Seventh Seal" itu?

Bagaimana seseorang dapat berpegang teguh pada keimanan tatkala keimanan itu tengah menipis, bahkan runtuh di hadapan kenyataan yang tak terselesaikan? Lalu kenapa Tuhan justru ngumpet di balik janji dan mukjizat yang tak nyata-nyata dapat menyelesaikan persoalan kehidupan, kekejian, derita, dan kematian? Bukankah iman selalu risau menghadapi kematian? Kemudian di manakah manusia, jika ia tak sudi saling menjaga dan melindungi? Kenapa orang gemar menebarkan kerisauan dalam kehidupan, padahal menebarkan harapan cukup ampuh meruntuhkan segenap kerisauan yang tak pernah selesai mencekam kenyataan?  

Pertanyaan-pertanyaan itu pelan-pelan larut dalam secangkir kopi yang pekat, kental, dingin, dan pahit.

Dalam sebuah buku kuno “Uqala al-Majanin” (Perkataan Orang-orang Gila), dikisahkan seorang gila---atau yang dianggap gila, bernama Uwais al-Qarni. Ia selalu bertanya, apakah kebenaran? Baginya kebenaran hanya dari Tuhan. Jika manusia bisa menentukan kepastian dengan ilmu, maka kepastian itu tak bisa diklaim sebagai kebenaran.

Dikisahkan dalam buku kuno itu secara “jayyid adh-dhabth” (detil), dari manuskrip yang episteme (muwattsaqah) dan ditulis dalam penerjemahan yang saling menguatkan, yang disebut “balaghah muqabalah”. Lantaran ketaksamaan perilakunya dengan kebanyakan orang, ia disebut gila. Melawan keumuman.

Namanya pernah disebutkan oleh seorang utusan Tuhan. Tuan al-Qarni lebih tepatnya orang yang asketis. Ia dianggap gila. Tak punya rumah, compang-camping, dihina dan diasingkan orang. 

Eropa pernah memburu orang-orang gila pada abad ke-15, yakni para penyihir yang dianggap mengkhotbahkan kegilaan. Abad ke-19, Freud memperkenalkan perihal bawah sadar. Baginya bawah sadar merupakan gambaran paling akurat dari jiwa manusia. Jiwa akan mengalami guncangan hebat tatkala hasrat dari bawah sadar itu ditekan sampai musnah. Perasaan bersalah menghalangi kegarangan dan hasrat seksual. Tapi seorang manusia menggunakan strategi kejiwaan untuk memanipulasi perasaan bersalahnya. Ia menempuh mekanisme pembelaan diri guna mengubah dosa supaya dimaklumkan atau diterima sebagai boleh. Sehingga di situ terciptalah sikap ambivalen.

Ambivalensi tersebut yang membuat waras dan edan dapat terjadi secara bersamaan dalam diri seseorang. Seorang pembunuh keji sekaligus seorang seniman berkarisma dan terhormat, ia tak tertangkap, bahkan dapat meniduri detektif perempuan dengan kemampuan khusus yang ditugaskan menangkapnya. Kisah itu terjadi dalam film “Taking Lives” garapan D.J. Caruso. Film yang menampilkan payudara agung Angelina Jolie yang menyegarkan ini diangkat dari novel karya Michael Pye. Sang pembunuh berganti-ganti identitas atau jati diri. Ia memakai identitas atau jati diri korban-korbannya dari banyak negara. Ia menjadi pembunuh paling berbahaya dan paling sulit ditangkap.

Tentu saja Uwais al-Qarni disebut gila bukan karena ia melakukan kejahatan sebagaimana yang dianggap mengganggu Eropa sejak abad ke-15 sampai hari ini. Ia dianggap gila justru sebab melakukan kebajikan, yakni mengasingkan diri dari segala gelar yang hendak dilekatkan padanya. Kebajikan yang dituduh kegilaan, lantaran melawan atau bertentangan dengan keumuman masyarakatnya. Ia menolak menjadi hakim, menolak gelar cerdik-pandai, dan menghindari kehormatan. Baginya merekalah yang gila.

Tuan al-Qarni dianggap pengganggu, karena ia menolak klaim kebenaran dari ilmu. Semua jenis ilmu baginya adalah kepastian, bukan kebenaran. Kebenaran hanya dari Tuhan sebagaimana ditegaskan dalam ayat suci. Ilmu hanya menghidangkan kepastian, dan kepastian tersebut niscaya bersifat temporal. Ilmu memerlukan perdebatan, dibantah atau disangkal, sehingga ia terus menerus melewati penyempurnaan dari satu tempo ke tempo berikutnya dalam kehidupan manusia. Tanpa demikian, ia tak dapat disebut ilmu. Tapi doktrin atau ketetapan kekuasaan diktator yang harus diterima begitu saja tanpa sarat. Satu ilmu mestilah diperkuat oleh ilmu lain, atau dikritik dan diperbantahkan demi mencapai kepastian bersama yang diharapkan meraih kebenaran. Tak ada satu ilmu yang dapat mengklaim tahu segala-galanya atau menentukan segala-galanya. Jika sains dapat mengklaim paling tahu, ia telah menunjukkan kelemahan dirinya yang sebenarnya paling tidak tahu. Ia tak dapat memecahkan jumlah bintang dan menyembuhkan sejumlah penyakit yang paling berbahaya.

Agama pun mengklaim tahu segalanya perihal alam semesta, kehidupan dunia dan kehidupan sesudah hidup di dunia. Tapi agama pula yang seringkali menciptakan kekacauan kehidupan dengan mengutuk sains, menghukum Galileo atau memasung al-Hallaj. Artinya pelbagai jenis ilmu mestilah berdialog guna menemukan komposisi kepastian untuk mendekati kebenaran.

Pikiran al-Qarni itu---pada masanya, dianggap gila. Barangkali ia dianggap gila lantaran ketaksanggupan berdialog dengan masyarakatnya, dengan kekuasaan, atau dengan struktur sosial. Namun tak sedikit orang yang mendalami khasanah keilmuan Islam menemuinya diam-diam, mencoba meminta berkah ilmunya yang cemerlang. Betapa tipis batas antara waras dan gila. Juga betapa dekatnya orang gila dan orang waras, sehingga keduanya kadang-kadang saling mencari dan membutuhkan satu sama lain.

Banyuwangi, 20-2025



PALSU

Oleh: Taufiq Wr. Hidayat 

PERIHAL asli dan palsu, asli atau palsu, asli tapi palsu, palsu tapi asli, mengingatkan pada sebuah cerita Hamsad Rangkuti, cerpenis agung Indonesia. Persoalan asli dan palsu, memang selalu bikin ribut. Hal itu ia tulis menjadi cerita pendek berjudul “Perbuatan Sadis” (1982), kemudian menjadi kumpulan cerpen terbitan Kompas dalam satu buku berjudul “Sampah Bulan Desember” (2000).

Cerpen “Perbuatan Sadis” Hamsad Rangkuti yang menjadi Cerpen Pilihan Kompas tahun 1982 itu, bagi saya luar biasa. Sehingga ia memantik imajinasi liar. Merangsang ide-ide nakal. Cerpen itu membuat Hamsad Rangkuti menulis cerpen lagi dengan cerita mirip, yang diinspirasi---atau semacam kelanjutan cerita, dari cerpen tersebut berjudul “Pispot” , yang kemudian diterbitkan Kompas dalam satu buku kumpulan cerpen “Bibir dalam Pispot” (2003).

Cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti itu luar biasa, dengan bahasa yang memukau sepanjang masa. Karena imajinasi saya terpantik oleh cerpen tersebut, saya lakukan penceritaan kembali versi saya. Sebagai berikut.

Sahdan seorang perempuan, berdiri menunggu bis di tempat tunggu bis kota. Ia memakai sebuah kalung liontin, berkilau. Ditaksir, itu emas berpuluh gram. Tak lama, dua orang penjahat keluar dari gang. Mengancam dengan pisau, agar perempuan berkalung emas itu, memberikan kalung emasnya.

Kalung atau nyawa? Ujar penjahat. Pertanyaan yang sangat mashur di dunia kejahatan jalanan sejak berabad-abad lamanya: “harta atau nyawa?”.

Perempuan berkalung emas menjawab tegas: “kalung”. Perempuan itu lebih sayang nyawa daripada kalungnya. Kalung itu ditarik penjahat. Penjahat pun pergi.

Anehnya!

Perempuan yang baru saja dirampok kalung emasnya tersebut, tidak bingung. Tidak teriak minta tolong. Dia malah tersenyum puas penuh kelicikan dan kemenangan. 

Orang di sebelahnya heran. Lalu bertanya.

“Kenapa Anda tidak bersedih kehilangan kalung emas yang sangat berharga?” tanya orang lain itu terheran-heran.

“Hahahaha!” perempuan yang kalungnya dirampok penjahat itu tertawa riang, dan merasa sangat puas.

Dia berkata:

“Kamu harus tahu, kejahatan itu harus ditertawakan. Kejahatan melahirkan kemiskinan. Orang melarat itu nekat. Maka kemiskinan harus dihina, ditertawakan dengan cara ditipu. Itu bukan kalung emas asli. Itu kalung emas palsu. Rasakan! Kemiskinan melahirkan kejahatan, keduanya harus dihina dengan cara ditipu dengan barang palsu. Biar mereka rasakan kejahatan yang lahir dari kemiskinan mereka dengan kalung palsu itu.”

“Hahahaha!”

“Hahahaha!”
***

Itu kira-kira cerita versi saya. Tapi dalam cerita tersebut,  ada percakapan yang sulit sekali saya bikin versinya. Maka baiknya, saya kutipkan secara utuh, sebagai berikut.

“Jangan Bung pikirkan kejadian itu. Itu kalung imitasi! Dengan uang lima ratus atau seribu rupiah, aku sudah bisa memilikinya lagi. Banyak dijual kalung imitasi seperti itu.” Dia senyum kepadaku.

“Anda mengenakan kalung imitasi? Untuk apa?” tanyaku.

“Hanya untuk fantasi saja.”

“Makanya saya heran melihat Anda seberani itu. Kemiskinan membuat orang nekat! Anda harus tahu itu.”

“Makanya kita sesekali harus mengejek kemiskinan itu. Kedua orang itu terkecoh!” Wanita muda itu senyum. Senyumnya tampak olehku membersitkan senyum kemenangan.

“Anda bermain-main dengan bahaya! Asli ataupun palsu selalu membahayakan jiwa kita.”

“Sesekali kita harus mengejek kemiskinan itu! Tidak ada bahaya kalau kita tidak mengadakan perlawanan. Anda lihat sendiri, seolah saya menyerahkan begitu saja kalung imitasi itu. Saya tidak memekik. Saya di dalam hati mengetawai mereka!”

***

Penggalan percakapan tersebut, tak bisa saya buatkan padanannya. Barangkali di situ letak kehebatan cerita-cerita Hamsad Rangkuti, dengan bahasa khas yang sederhana. Namun tak mudah dibongkar.

Selanjutnya, penjahat yang telah merampok kalung si perempuan, marah. Mereka kembali ke perempuan yang telah menipu mereka dengan kalung palsu. Mereka mengancam perempuan itu dengan sebilah belati, kemudian memaksanya untuk menelan kalung palsu tersebut melalui tenggorokannya. Mereka menyediakan segelas air, agar kalung palsu dapat dengan mudah masuk ke dalam perut si perempuan. 

Saya kutip lagi secara utuh. Berikut. 

“Kau telah mempermainkan kami! Bajingan!” bentak laki-laki itu kepada wanita muda yang ditodongnya.

”Kau menghina kami! Kau pancing kami dengan kepalsuan. Ini kalung imitasimu itu! Makan!”

Lelaki itu menarik dengan kasar rambut si wanita. Ujung belatinya kulihat telah menyentuh kulit leher si wanita. Darah lenyap dari air mukanya. Dia pucat bagaikan kapas.

“Makan! Telan kalung imitasimu ini. Kau telah permainkan kami dengan kepalsuan. Sekarang kau harus menelan kepalsuan ini! Ayo telan!”

Ujung pisau belati itu telah masuk ke kulit leher wanita muda itu. Dia memandang kepadaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki yang menghunuskan pisau belatinya ke arahku membentak:

“Anda bergerak, belati temanku akan masuk ke leher wanita itu. Jangan coba-coba menghalangi keinginan kami. Ayo telan!”

Wanita muda itu menangis di depanku. Aku hanya bisa menontonnya.
***

Begitulah kisah kepalsuan yang ditulis Hamsad Rangkuti berpuluh-puluh tahun yang lampau, ketika dunia masih belum punya android dan AI. Kepalsuan, kemiskinan, kejahatan, dan harapan orang miskin pada hadiah-hadiah palsu, mengharap turun malaikat dari langit untuk mengatasi persoalan kehidupan yang mustahil. Dan dalam kehidupan yang melaju ini, kisah di atas, bukan lagi tampak sebagai fiksi. Ia bagai memang ada dalam kenyataan, dalam tataran kecil, besar, dan rumit. 

Kemudian kenapa orang masih memperkarakan asli dan palsu? Kenapa segalanya harus asli? Dan kenapa orang harus mengutuk yang palsu? Sedang hidup tak semakin mudah. Dan kenyataan semakin tak gampang diterima sebagai kenyataan. Mirip mimpi. Atau cerita yang direka atas suatu kepentingan jahat. Barangkali di balik yang palsu, orang menemukan kebohongan dan penipuan. Sedang di balik yang asli, orang menemukan kejujuran. Sesederhana itukah? Dan buat apa?

Banyuwangi, 2025
Posting Komentar

Posting Komentar