Nun, sangat jauh jejakMu namun ArsyMu membelai dekat di atas ubun-ubun.
Barangkali memang begitu: Tuhan tak pernah jauh, hanya perjalanan yang pernah kutempuh serupa lorong
panjang di antara bayang-bayang dari gedung-gedung yang meneduhkan
maut lengkap dengan megahnya ilusi.
“Sungguh, nestapa,” bisik seorang kawan di malam yang lengang
itu entah kepada siapa ia tuju, tapi aku merasa ia sedang mengatakannya padaku.
Surabaya hanya menyisakan sisa udara dan sebotol anggur yang
tercampur arak. Aku tak mengingat sisanya dan memang tidak ingin hanya bagian dari masa lalu yang bahkan andai
pun bisa, tak ingin kukunjungi kembali. Tapi bukankah justru kenangan selalu
datang kala sendiri?
Setelahnya, orang-orang mendapati itu seraya berteriak, mencabik kenyataan seperti lembaran
kain yang tak lagi berguna, lalu membungkus luka masing-masing dengan setenggak
anggur dan pikiran-pikiran yang tak sempat mereka bersihkan
sekedar mencoba melupakan, namun justru semakin tenggelam dalam
ingatan.
Musim pun ikut kacau. Tak lagi bisa diprediksi. Dingin datang saat semestinya hangat, dan hujan jatuh ketika
langit sedang terang. Aku memandangmu kembali dengan segala doa yang terapal jauh, di antara sujud, kepalan tangan,
dan tatapan menembus cakrawala. Barangkali ya, atau barangkali di sana, bait-bait doa
itu menabrak cakrawala, lalu kembali kepadaku dalam bentuk sabar dan harapan yang
tak ada jawaban.
Namun ada tawa yang tersisa. Dimana aku berharap, kalau ini bukan mimpi buruk. Berharap hanyalah jarak yang telah kuhitung, sedari langkahmu malam itu yang
mulai-mulai menjauh perlahan.
Jejak itu masih tersisa, samar, meninggalkan bayang-bayang kalam bulan di jalan
yang sunyi.
Lalu kau menatapku. Satu, dua langkah kau kembali ke arahku, dan
bertanya dengan suara yang hening tapi dalam.
“Apa yang lebih indah dari kesetiaan?”
Aku tak tahu jawabannya. Tapi aku tahu, setelah malam-malam yang panjang
dan buta, yang penuh gelisah dan air mata sia-sia, hanya satu hal yang
bertahan: rindu. Bukan cinta yang menggebu, bukan kenangan yang indah, tetapi
rindu
yang diam-diam
menetap dan tak pernah pergi ada puan-puan dan bulan.
Namun aku simak sabdamu, Kekasih. Betapa mirisnya, aku merasa seperti badut yang terus menengadah ke langit, mencoba mencari makna di
langit-langit kamar yang hampa, sekadar untuk merasa kau ada. Mencoba
menciptakan kembali obrolan lama yang dulu kita punya, agar sunyi tak
sepenuhnya membunuh.
Aku pulang.
Dan di sana, aku dapati kabar itu: Engkau telah tiada.
Aku berterimakasih kepada mu sambil menatap
langit-langit dimana aku berucap untuk semua yang telah kau kenalkan tentang sepi, tentang agama,
politik, dan sahabat. Kau ajarkan aku mengembara tanpa arah, dan menyapa dunia dengan hati terbuka meski tak
pernah tahu apakah dunia akan menyapa kembali.
Kala kau mengajakku berjalan, menjejaki langkah-langkah sunyi, hingga aku lupa
bagaimana membedakan antara cinta dan air mata. Sebab mungkin keduanya memang
tak selalu perlu dibedakan. Sebab tak ada yang pernah benar-benar siap untuk kehilangan. Kita bisa
menyiapkan doa, menyiapkan kalimat pamit yang lembut, bahkan menyiapkan rangkaian bunga-bunga dan surat terakhir
yang dibungkus dengan kado indah. Tapi kehilangan ia tetap datang seperti hujan yang turun tanpa aba-aba, menyisakan
lembab yang diam-diam tumbuh menjadi genangan dalam hati.
Dalam keheningan itu, aku mulai berbicara kepada Tuhan dengan bahasa
yang lebih lirih dari biasanya. Bukan lagi doa-doa panjang seperti yang
kupelajari sejak kecil, melainkan gumaman yang lebih menyerupai isak:
Kesetiaan memang indah, seperti yang pernah kau tanya padaku. Tapi
ternyata, ia juga perih. Sebab setia berarti tetap menunggu, bahkan ketika
pintu-pintu telah ditutup rapat oleh waktu. Kesetiaan adalah menatap ke satu
arah, meski dunia terus berputar membawa pemandangan baru. Dan aku, meski
sering goyah, tetap menatap arah di mana dulu kau sempat berdiri, menatapku.
Lucunya, dalam duka yang begitu dalam itu, aku justru menemukan
kejujuran yang selama ini bersembunyi. Aku mulai mengenali suara-suara dalam
diriku sendiri yang tak pernah kudengar sebelumnya. Kini, setiap hal kecil menjadi penanda: aroma hujan di jalan basah, lampu
jalan yang berkedip, trotoar menjadi kubur yang dulu kita duduki diam-diam. Semua
itu adalah serpihan dirimu yang tertinggal, dan aku mencoba tak merapikannya.
Biarlah berantakan seperti itu mungkin justru itulah keindahannya.
Kau tahu, Kekasih, aku tak ingin sepenuhnya pulih. Karena bila luka ini
hilang, aku takut kenangan tentangmu juga akan larut bersamanya. Maka aku
berdamai dengan duka ini. Aku pelihara ia seperti bunga yang tak perlu mekar,
cukup hidup.
Dan kini, jika suatu hari Tuhan mempertemukan kita lagi entah dalam
mimpi atau di tempat yang lebih sunyi dari malam aku akan berkata: "Aku
sudah setia. Pada ingatan, pada luka, pada cinta yang tak sempat selesai."
Posting Komentar