Asyuro merupakan salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah
Islam yang diakui oleh seluruh kaum Muslimin, meskipun secara
narasi banyak dipahami secara berbeda-beda, peristiwa itu hari dimana ketika ahlul
Bayt khususnya cucu Nabi Muhammad, Imam Husein bin Ali dan saudara-saudaranya,
gugur syahid di padang Karbala. Walaupun secara narasi banyak perbedaan dalam
menempatkan posisi Imam Husein dalam struktur sosial dan teologi mazhab, namun
faktanya peristiwa Karbala itu terjadi dan dikenang di sepanjang masa. Di sinilah pentingnya kita mengangkat, menggali,
dan memaknai kembali peristiwa ini, menemukan nilai-nilai
objektif kemanusiaan yang berangkat dari sejarah agar tidak terjebak dalam dikotomi
dangkal perdebatan sektetarian. Entah itu Islam Syiah atau
Islam Sunni.
Tetapi siapa pun yang hadir di hadapan sejarah Asyuro dan peristiwa Karbala, apapun agamanya, apapun sekte mazhabnya bahkan jika tidak beragama sekalipun, pasti akan mampu melihat secara jernih siapa yang tertindas dan siapa yang menindas. Sebab perlawanan yang dilakukan Imam Hussein bukan upaya merebut kekuasaan, bukan kudeta, bukan populisme, apalagi pencitraan. Perjuangan yang beliau perjuangkan ialah untuk berkata benar, meski harus kehilangan nyawa sebagai bagian dari persaksian. Beliau tidak punya kekuatan militer, tidak punya modal politik, tidak menggalang popularitas. Beliau hanya membawa keluarga dan sekitar 70 orang sahabat yang siap mati demi mempertahankan kebenaran dan begitulah logika yang membebaskan.
Bukankah kebenaran tetaplah benar, siapa pun yang mengatakannya dan berapa pun jumlah pengikutnya?. Hal itu nampaknya tertuang dalam catatan yang ada di hamparan Nainawa dimana kebenaran tertulis bukan dengan pena, tetapi sejarah itu ditulis dengan tinta darah suci. Juga bukan di atas kertas, tapi di sepanjang catatan sejarah Imperealisme. Begitulah sejarah Asyuro tidak akan pernah terhapus, ia akan terus hadir sebagai seni yang hidup dan termaktub sebagaimana prinsip masyarakat Republik Islam Iran bahwa: Setiap hari adalah Asyuro dan setiap tempat adalah Karbala"
Dalam tradisi pemikiran filsafat Islam, pintu untuk
memahami sejarah secara jujur adalah melalui Asyura. Karena Asyura tidak bicara
tentang sekat-sekat formal agama, tetapi juga tentang nilai-nilai universalitas
Islam tentang keadilan, keberanian, kesetiaan, dan penolakan terhadap kezaliman.
Itulah kenapa ketika kita belajar Islam baik sebagai ajaran spiritual
maupun sebagai ilmu sosial tanpa melalui Asyura, akan selalu ada yang
kurang. Kita kehilangan roh dari perjuangan eksistensial Islam itu sendiri.
Karena disana letak sebuah tragedi yang memperlihatkan bahwa Islam tidak boleh dibaca semata dari tafsir tunggal penguasa. Dan benar hal itu dibuktikan oleh Imam Husein yang hadir untuk menolak hegemoni tunggal penafsiran kebenaran tersebut.
Sayangnya, dalam masyarakat kita, narasi tentang Imam Husein seringkali
direduksi menjadi sentimentalitas psikologis belaka: menangis, meratap, tanpa
arah gerak objektif. Padahal, tangisan itu sangat berarti dimana diikuti oleh kesadaran
sosial. Empati atas luka tragedi yang membentuk etika perlawanan
terhadap ketidakadilan seperti ritus yang dilakukan
saudara muslim Syiah dan sebagaiamana pula hari kita melihat mentalitas masyarakat
Republik Islam Iran di hadapan dunia.
Jika kita bicara sejarah Islam, kita harus bertanya: sejarah yang mana?
Siapa yang menuliskannya? Untuk siapa? Imam Husein mengingatkan kita bahwa
Islam adalah agama yang hidup antara umat dan nabinya, antara realitas dan
nilai, antara sejarah dan etika.
Muharram
Satu hal yang paling penting mengenai bulan
Muharram dalam sejarah Islam, kita mengenal dua hijrah besar. Pertama, hijrah
Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, untuk menyelamatkan umat dan membangun
masyarakat Islam. Dan yang kedua, ada hijrah Imam Husein dari Mekah ke Karbala sebuah perjalanan untuk
menyelamatkan makna Islam dari kekuasaan yang menyimpang. Jika hijrah Nabi
menghasilkan negara dan hukum, maka hijrah Imam Husein membangkitkan nurani dan
kesadaran.
Pada tanggal 9 Zulhijah, ketika kaum Muslimin seharusnya wukuf di
Arafah, Imam Husein justru membatalkan niat hajinya. Beliau menyatakan bahwa
dirinya tidak bisa melanjutkan haji karena Baitullah yang sejatinya adalah
rumah kebebasan Baitul ‘Atiq telah diambil alih oleh kekuasaan
zalim. Rumah Allah yang seharusnya mempersatukan umat kini dijadikan alat
isolasi, kontrol, dan legitimasi oleh penguasa.
Dan Imam Husein menolak itu untuk menjadikan Baitullah sebagai simbol
kekuasaan kerajaan. Maka, tindakan Imam Husein yang Ayatollah Ali
Khamaini istilah sebagai bentuk barā’ah sikap pemisahan moral dan spiritual dari kekuasaan yang zalim.
Tanggal 8 Zulhijah, Imam Husein memutuskan untuk hijrah dari
mekkah ke Kufah. Jika hijrah Nabi adalah dari fase moral (Makkiyah) menuju fase hukum
(Madaniyah), maka hijrah Imam Husein adalah kebalikannya dari hukum yang telah
rusak kembali kepada spirit moral yang asli. Ketika hukum-hukum Islam
diselewengkan dan digunakan untuk menindas, maka yang harus bangkit adalah
kesadaran etis.
Begitulah simbol bahwa Islam telah terancam dari dalam oleh
kekuasaan yang mengkhianati nilai-nilai apa yang
diajarkan Nabi Muhammad sedari awal. Dan Imam Husein datang untuk menyelamatkan umat dari dominasi
elite, dari eksploitasi ekonomi, dan dari penyimpangan makna Islam yang sejati.
Antara Islam Muhammadi dan Islam Umawi
Tersebutlah pertarungan antara dua bentuk Islam antara Islam Muhammadi yang luhur, transenden, melawan Islam Umawi
yang penuh manipulasi dan kepentingan. Karena itu, Asyura tidak sekadar
soal sentimentalitas atau tangisan semata ia hadir membangun psikis manusia
yang memahami islam melalui sejarah Pasalnya, tangisan tanpa kesadaran moral akan
kehilangan arah. Maka yang harus dilahirkan dari refleksi Asyura tersebut adalah keberanian eksistensial untuk
berkata benar walau kebenaran itu pahit, untuk tidak tunduk walau sendiri, untuk
tidak menjilat kekuasaan demi kenyamanan pribadi.
Melihat dari perjuangan Imam Husein tidak berbasis kekuatan material karena
ia hadir tidak punya
pasukan besar, tidak punya logistik yang cukup, tidak punya kekuatan politik.
Ia hanya membawa sekitar 70 orang menghadapi ribuan pasukan Yazid. Tapi inilah
pelajaran penting: kebenaran tidak memerlukan mayoritas untuk menjadi benar.
Kebenaran tidak berubah hanya karena pengikutnya sedikit karena ia bersandar
pada nilai yang hakiki, bukan logika massa atau politik kekuasaan.
Jika sudah sampai pada Karbala kita memihak cucu Nabi atau dengan pembunuhnya
Maka sudah saatnya membuka diri dan membaca
kembali catatan terhadap peristiwa Asyura. Kita tidak bisa bergerak ke masa depan jika
terus meminggirkan luka sejarah yang belum selesai. Karena melupakan sejarah bukanlah jalan
keluar karena trauma kolektif itu akan terus membayangi langkah kita sekalipun
dihadapkan dengan sentimen-sentimen yang bias.
Dan membaca sejarah juga patut memahami peran para pelaku sejarah
dengan pendekatan psikologisnya, dan tidak takut untuk menyampaikan kebenaran
itu. Lagi-lagi bukan soal membangkitkan konflik mazhab, karena
itu berhubungan bagaimana menyelesaikan masalah moralitais yang belum tuntas. Sejarah Asyura
mengajak kita melihat bahwa tidak ada yang layak merasa lebih tinggi hanya
karena nasab atau klaim keturunan Nabi. Imam Husein sendiri tidak mengklaim
statusnya, tidak memaksa orang untuk mengikutinya. Ia justru memperingatkan: “Jika
ikut aku, maka kalian akan mati.” Pemikir seperti Ali Syariati dalam
bukunya telah menggarisbawahi bahwa Karbala bukanlah pertarungan antara Islam
dan non-Islam, tetapi antara Islam Muhammadi dan Islam Umawi. Yakni antara
Islam yang berpihak pada kaum tertindas dengan Islam yang dijadikan alat
kekuasaan dan dominasi.
Sosioepistemologi dan Spirit Kemanusiaan
Dalam konteks sosioepistemologi Islam, peristiwa Asyura itulah
yang menunjukkan
bahwa pengetahuan harus berangkat dari basis moral yang tinggi. Etika
adalah fondasi dari transformasi sosial. Tanpa itu, hukum akan menjadi alat
kepentingan begitulah Aristoteles tulis dan maka agamalah yang akan menjadi instrumen pembenaran
penindasan itu.
Oleh karena itu, segala pembicaraan tentang toleransi, keadilan, dan
spiritualitas harus tetap berpijak pada keberpihakan kepada yang tertindas.
Toleransi tanpa keadilan hanyalah tipu daya. Dan ketika kita sampai pada
pembbicaraan tentang “Islam Kiri”,/ Islam progresif atau apapun istilahnya, yang hendak
kita sampaikan adalah satu: bahwa agama tidak boleh menjadi alat dominasi.
Bahwa dalam tubuh masyarakat beragama pun bisa lahir struktur yang menindas
atas nama Tuhan. Seringkali kita menyaksikan bag realitas itu
bagaimana tokoh-tokoh
agama justru menjadikan masyarakat sebagai objek kapitalisasi. Mereka tampil
sebagai ulama, sebagai pembawa pesan ilahiah, namun menjadikan umat sekadar
ladang pendapatan.
Maka tentu membawa narasi panji Hussein dan Asyuro bukan untuk memecah-belah umat Islam, tetapi ini pelajaran penting dimana kita kembali merefleksikan serta mengupayakan untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman kekuasaan represif karena sejarah bukan hanya sekedar pengantar tidur. dan pada akhirnya Imam Husein menunjukkan bahwa masyarakat memang harus dibuat berjarak dengan kekuasaan. Karena rentan diperalat dimana hanya untuk melanggengkan sistem yang menindasnya. karena sering kali dalam kehidupan kita hari ini, umat diminta maju untuk berkorban, sementara para tokoh agamawan justru bersembunyi di balik narasi keselamatan kolektif. Mereka bicara atas nama umat, tapi hakikatnya untuk menyelamatkan posisi dan privilese mereka sendiri.
Ketika kita bersyahadat maka juga berarti kita melakukan persaksian dan memposisikan diri untuk membela yang lemah dan mereka yang terdzolimi
Wallahu a'lam Bishowab
Oleh : Fahmi Ayatullah
Posting Komentar