no fucking license
Bookmark

Memahami Kembali Islam

Tak terasa tahun (hijriyah) sudah berganti. Tentu “wajah” tahun ini ikut berubah. Apa yang terjadi di tahun yang lalu, akan sangat berbeda dengan tahun ini. Demikian juga kita. Sang waktu bergulir cepat. Sudah semestinya kita mengevaluasi segala hal yang kita lakukan di masa lalu, dan menentukan arah di masa yang akan datang. Sebab jika tidak ada perubahan (positif) dalam diri kita, secara otomatis kita termasuk golongan yang rugi dan naif.

Sebagai seorang Muslim, kita diwajibkan untuk senantiasa belajar. Terutama tentang agama Islam. Boleh jadi, belajar tentang Islam itu bisa dimaknai: bagaimana kita “memahami” Islam. Keharusan ini untuk seluruh Muslim, tidak peduli mereka berasal dari desa atau kota, kaya atau miskin, dan sudah haji atau belum. Jika dia mengaku Muslim, berarti mereka bersedia untuk belajar “menjadi Muslim”. Di momen tahun baru semacam ini, kebanyakan orang menulis resolusi panjang yang tak lebih dari sekedar urusan material (duniawi). Padahal Tuhan menciptakan manusia bukan semata untuk keperluan dunia. Ada “urusan” yang paling penting: iman (spiritual).

Kedua urusan di atas harus senantiasa seimbang (tawazun). Tetapi aspek spiritual itu harus didahulukan, setelah aspek material. Dan dua aspek ini hanya bisa dilakukan atau diselaraskan melalui pemahaman yang memadai. Oleh karena itu, di awal bulan Muharram ini, saya akan menulis risalah singkat sebagai bentuk “resolusi” untuk keperluan spiritual sekaligus material.

Islam, Ulama, dan Fenomena Keagamaan Masa Kini

Sejak masyarakat kita (Indonesia) menerima Islam, mereka merasa bahwa agama Kanjeng Nabi Muhammad itu memiliki nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, hingga mengasihi seluruh umat manusia. Dalam bahasa ulama, Islam yang datang ke Tanah Air adalah Islam yang “ramah”. Islam yang lâ ikrâha fid-dîn. Maka mafhum bagi kita, jika dakwah para wali di Tanah Jawa menggunakan pendekatan-pendekatan yang lembut dan fleksibel. Sebagaimana Islam yang diajarkan Kanjeng Nabi.

Selain pendekatan yang fleksibel, mereka juga tidak apatis terhadap persoalan sosial-kemasyarakatan. Seperti masalah kesenjangan sosial, sistem politik, kemiskinan, moralitas, dan seterusnya. Dengan kata lain, mereka mampu menerjemahkan nilai-nilai Islam “universal” (kulli) ke dalam kehidupan masyarakat Jawa. Keberhasilan Walisongo dalam dakwah Islam dan mengatasi persoalan umat itu bukan “karomah”, tetapi karena mereka mampu “memahami” nilai-nilai Islam. Lalu diterjemahkan sesuai kebutuhan masyarakat.

Namun, dalam konteks kekinian, kita justru dihadapkan pada fenomena keagamaan (Islam) yang berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan Kanjeng Nabi Muhammad dan Walisongo itu. Alih-alih mengatasi persoalan umat, ijtihad yang dilakukan sebagian besar ulama kita justru mengarah ke wilayah politis. Dan, ironinya, hal itu bersamaan dengan “kemunduran” umat Islam yang dibuktikan dengan, setidaknya dua hal: kebekuan tafsir agama dan pengkultusan tokoh agama. Fenomena semacam ini dapat kita jumpai di sekeliling kita, di lingkungan kita, di Tanah Air kita.

Interpretasi seorang ulama mengenai Islam dianggap final. Dibekukan. Dan dijadikan “berhala”. Padahal, sarung dan peci, sorban dan jubah, gelar kiai-haji dan jebolan pesantren bukan “gembok” untuk mengunci tafsir agama. Semua itu hanya atribut kebudayaan. Tak lebih. Dan begitu pula dengan orang yang “keceluk” ulama. Mereka itu manusia, seorang hamba yang lemah. Keliru jika kita mengkultuskan mereka. Sebab ulama itu bukan Tuhan. Bukan Sang Pemilik alam semesta ini. Jadi, taklid buta (tanpa daya kritis) kepada mereka justru menggali kuburan untuk kita sendiri.

Sekarang ini banyak kasus tokoh agama menindas, membohongi, membodohi, menunggangi, dan “memperkosa” umat. Ulama semacam ini, menurut Imam al-Ghazali, termasuk ulama’ su’. Seseorang yang memiliki ilmu (agama), tapi justru menggunakan ilmu itu untuk mengelabuhi manusia. Ilmu digunakan untuk memuaskan nafsu, dan demi kepentingan pribadi. Saya tidak perlu melampirkan contoh. Sila dicari dan dipahami sendiri, siapa ulama model begitu.

Kehidupan kita sudah sedemikian “ndelogok”-nya. Banyak “ontran-ontran”-nya. Dan penuh kepalsuan. Keadaan ini kemudian memengaruhi manusia. Sehingga tidak sedikit kiai, ustaz, guru ngaji, dan umat Islam yang “palsu”. Barangkali kita ini termasuk pseudo-Muslim itu. Mengaku Muslim, tapi tidak Mukmin. Mengaku Islam, tapi menginjak-injak kemanusiaan. Mengaku tokoh agama, tetapi “kong kali kong” dengan kekuasaan dengan alasan: “demi kemaslahatan umat”. Dan, lagi-lagi, tafsir agama mereka yang digunakan untuk membodohi umat dengan mengatakan: “demikian menurut Allah dan Rasul-Nya”.

Padahal, itu “interpretasi” mereka terhadap ayat-ayat dan sabda Kanjeng Nabi. Sementara, bagaimana manusia memahami sebuah teks (Al-Qur’an dan Hadits) sangat bergantung pada mazhab, sekte, dan basis sosial mereka. Kalau mereka “akrab” dengan kekuasaan yang menindas, berarti interpretasi mereka terhadap teks tidak jauh dari kepentingan kekuasaan. Kalau mereka dari kalangan borjuis, interpretasi mereka kemungkinan besar borjuistik. Demikian juga ketika ada seseorang yang berasal dari komunitas proletar, marhaen, atau subaltern. Interpretasi mereka akan membela masyarakat akar rumput—dengan catatan ikhlas dan jujur.

Fenomena keberagamaan di atas hanyalah sebagian kecil dari apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Saya hanya mengambil beberapa saja. Paling tidak, kita benar-benar sadar, bahwa keadaan kita sedang tidak baik-baik saja.

Memahami Islam yang Kontekstual

Menganggap bahwa tafsir agama Islam itu tunggal, dan tindakan mengkultuskan tokoh-tokoh agama adalah bahaya yang besar. Sebab hal itu akan memukul mundur kemajuan Islam. Peradaban bakal mandeg. Cita-cita agama berupa keadilan sosial, akan semakin jauh. Dan dua fenomena itu justru menggambarkan Islam yang “beku” serta non-kontekstual. Maka, untuk menerjemahkan (kembali) nilai-nilai Islam, seperti keadilan, mengasihi sesama, terbuka, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, kita perlu memahami kembali Islam secara kontekstual. Untuk mencapai hal itu, setidaknya memerlukan beberapa hal.

Pertama, membedakan historisitas dan normativitas dalam Islam. Kita harus membedakan antara “sejarah” dan “nilai” Islam. Secara sederhana, historisitas Islam itu sesuatu yang berhubungan erat dengan konteks sosial, politik, dan kebudayaan. Misalnya, cara ulama salaf menerjemahkan Islam di masa lampau, jelas berbeda dengan penerjemahan kita di masa kini. Tapi, ada nilai-nilai Islam yang tetap, tidak berubah, dan paten. Itulah normativitas Islam. Jadi, menganggap bahwa cara dakwah Kanjeng Nabi di Madinah, misalnya, bisa dilakukan di negara kita, adalah pemahaman yang kurang tepat.

Apalagi, menganggap bahwa “hanya” syariat Islam semata yang mampu menyelesaikan persoalan yang kita hadapi saat ini dengan tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lain, adalah pemahaman yang dangkal. Kita tidak bisa mengentaskan kemiskinan, atau memperbaiki moralitas generasi muda, hanya dengan mengangkat kedua tangan dan mengucapkan doa-doa. Kita juga jangan berharap lebih, setelah mendengar ceramah dari seorang mubaligh kelas kakap, lantas hidup kita langsung sejahtera.

Maka dari itu, kita perlu memahami historisitas (sejarah) dan normativitas (nilai) Islam itu. Penafsiran seorang ulama, cendekiawan, atau mullah teks Al-Qur’an adalah historisitas. Ia bersifat profan. Tidak suci. Sementara yang sakral dan suci itu nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Bahkan tulisan hitam yang termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an itu sesungguhnya profan. Ia “tidak suci”. Sebab tulisan, kertas, dan jilidan itu dibuat oleh manusia, bukan Tuhan atau malaikat Jibril.

Kedua, lebih mementingkan isi bukan kulit. Dengan memprioritaskan isi (substansi) daripada kulit (formal), kita dapat memahami Islam secara kontekstual. Bukan jubah atau sarung yang diutamakan Islam, melainkan mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran Islam. Bukan berusaha memahami Al-Qur’an secara tekstual yang dikehendaki Islam, melainkan menerjemahkan nilai-nilai Aal-Qur’an ke dalam kehidupan sehari-hari.

Saya tidak bisa mengukur keimanan sampean. Demikian juga sampean tidak bisa menilai kadar keimanan saya. Sebab hal ini wilayah Tuhan. Tetapi kita bisa senantiasa meningkatkan keimanan kita dengan cara mengamalkan nilai-nilai Islam, seperti selalu berusaha adil, mengasihi sesama manusia, memihak kepada kebenaran, dan membela mereka yang ditindas.

Syariat Islam tidak menghendaki kita untuk mengenakan sarung atau jilbab. Sebab sarung dan jilbab hanya kulit. Yang dikehendaki syariat Islam ialah “menutup aurat”. Tuhan tidak hanya mewajibkan kita “mengingat”-Nya, melainkan juga “menghadirkan” Tuhan dalam setiap derap langkah kita.

Ketiga, berpikir bebas, kritis, dan terbuka. Tuhan menciptakan akal pikiran agar manusia terus berpikir dan belajar. Dalam istilah Al-Qur’an disebut sebagai ulul albab. Akal itu tidak terbatas. Kita bebas berpikir apa pun. Membatasi diri untuk berpikir, berarti menghina Tuhan. Dan kritis adalah ikhtiar kita sebagai umat Islam untuk memahami nilai-nilai Islam itu. Tentu, berpikir bebas dan kritis harus dibarengi sikap terbuka terhadap kebenaran orang lain, tidak peduli komunitas dan agamanya.

Sekali lagi saya tegaskan, bahwa tidak ada “batasan” dalam berpikir. Silakan berpikir bebas. Tuhan tidak akan “marah” karena kita berpikir bebas. Justru Tuhan tidak menghendaki hamba-Nya membelenggu akal pikirannya. Kita tidak perlu takut berpikir. Sebab akal pikiran itu “makhluk” Tuhan juga. Sederhana saja: akal pikiran itu ciptaan Tuhan, dan mustahil Tuhan “takut” dengan ciptaan-Nya. Selama ini, kita dibatasi oleh “batasan-batasan” yang diciptakan manusia. Sering kali kita menjumpai perkataan: “haram berpikir bebas” atau “jangan berpikir yang aneh-aneh”. Padahal, membatasi pikiran, sama saja kita “menghina” Tuhan. Jika pikiran itu dibatasi, maka peradaban kita tidak akan pernah progresif.

Keempat, memahami Islam sebagai agama “pembebasan”. Hal ini penting kita pahami, sebab selama ini Islam masih dipahami oleh sebagian besar masyarakat kita, khususnya generasi muda, sebagai sebuah agama yang “memenjarakan” atau “membelenggu” pemeluknya. Padahal, sejak awal, Islam itu membebaskan manusia dari belenggu berhala, penindasan, hingga dogmatisme akut. Kisah Nabi Ibrahim yang meruntuhkan berhala-berhala itu, sebenarnya, upaya beliau untuk meruntuhkan ideologi atau kepercayaan yang menindas umat. Hal itu juga dilakukan Kanjeng Nabi Muhammad ketika melawan penindasan sistemik tribalisme di Mekkah.

Para nabi-rasul itu diutus Tuhan ke dunia memiliki tiga misi mulia: menyatakan kebenaran, melawan kebalitan dan penindasan, serta menciptakan kehidupan sosial yang harmoni, adil, sejahtera, dan penuh kasih sayang. Dengan demikian, sebagai seorang Muslim, kita mempunyai tanggung jawab untuk meneruskan tugas nabi-revolusioner itu dalam kehidupan kita. Membebaskan yang terbelenggu. Mengurai yang kusut. Senantiasa melawan kezaliman di muka bumi.

***

Demikianlah, menurut saya, cara memahami Islam dalam konteks kekinian. Bagaimana kita memahami Islam bukan sebuah monumen yang beku, agama yang menjerat, dan sistem yang membatasi. Islam akan selalu shalih fi kulli zaman wa makan. Tentu ke-shalih-an Islam sangat bergantung pada cara kita menerjemahkan nilai-nilai Islam. Bukan malah membatasi ruang ijtihad, atau membenci mereka yang “berbeda”.

Selain itu, kita juga harus berusaha menyeimbangkan aspek spiritual dan material dalam kehidupan kita. Jika toh sukar dilakukan, tentu yang harus didahulukan ialah meningkatkan kualitas spiritual kita. Baru kemudian urusan-urusan material (duniawi). Dengan senantiasa meningkatkan urusan spiritual (keimanan) kita, dan terus belajar memahamai Islam supaya kita bisa menerjemahkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kita, maka kita termasuk menjalankan “sunnah” nabi yang paling mulia.

Semoga tulisan ini tidak menjadi berhala, monumen yang beku, atau dianggap suci. Sebab, yang menulis risalah singkat ini, bukan Tuhan. Juga bukan seorang nabi. Ia hanyalah setetes sperma yang diberi ruh oleh Tuhan melalui perantara malaikat. Dan untuk menyambut bulan mulia ini, Muharram, mari kita memahami kembali nilai-nilai Islam. Wallahu a’lam.

Oleh : Dendy Wahyu Anugrah

 

Posting Komentar

Posting Komentar