no fucking license
Bookmark

Anak Muda Bicara Kretek

Suatu malam di sudut warung kopi, di antara obrolan yang tak pernah selesai dan gelak tawa yang kadang mengambang di udara, selalu ada satu aroma yang khas wangi cengkeh yang terbakar, berpadu dengan tembakau. Ia menyusup dalam bentuk sebatang rokok yang dilinting sendiri oleh para penggermarnya, hal ini tak asing bagi siapa pun yang tumbuh di negeri ini. Namanya: kretek.

Bukan sekadar lintingan, melainkan bagian dari napas negeri kita itu sendiri. Kretek bukan rokok biasa. Ia punya jiwa. Punya akar. Punya sejarah yang menyusup jauh ke dalam denyut kehidupan masyarakat Indonesia. Dari Kudus, tempat ia pertama kali menyala, hingga ke pelosok-pelosok negeri, ia menjadi simbol tentang keberanian, tentang kreativitas lokal, tentang rasa yang tak bisa dibeli dari luar.

Bicara perihal kretek ini bermula sekitar akhir abad ke-19. Seorang pria bernama Haji Jamahri di Kudus yang menderita sesak dada. Ia mencoba mengobati dirinya dengan mencampur tembakau dan cengkeh, lalu melintingnya dan membakarnya. Ajaibnya, sesak itu reda. Maka sejak saat itulah lintingan ini dikenal sebagai rokok obat.

Suara khas yang muncul saat cengkeh terbakar “kretek-kretek” menjadi julukan khas yang melekat padanya. Namun lebih dari obat, kretek kemudian menjelma menjadi ikon. Ia melintasi ruang-ruang sosial, dari tangan petani di ladang, ke kantong kemeja tukang becak, ke saku jaket seniman, hingga ke meja-meja rapat elite politik. Kretek tak pandang status. Ia hadir di mana saja dan bagi siapa saja.

Tapi barangkali tembakau ini bukan tumbuhan asli dari Indonesia, tetapi tanaman yang dibawa oleh orang-orang berkulit putih yang pada saat itu sedang mabuk kepayang karena menemukan negeri yang memiliki tanah subur, atau pun dengan cengkeh yang ternyata bukan tanaman asli Indonesia dari Maluku, tapi melainkan dari tanaman yang tercecer dari seorang pedagang yang entah dari mana pun sebenarnya tak jadi soal. Namun, dari dua komoditi tadi tetap ada yang orisinil, yang mana menjadikan alasan kolonialisasi di negeri ini ratusan tahun yang lalu. Dan kini, memuat perusahan-perusahaan rokok di negeri maju terasa terancam kegiatan dagangnya.

Cengkeh dan Tembakau

Apa yang membuat kretek berbeda dari rokok biasa? Jawabannya ada pada pertemuan magis antara dua tanaman: cengkeh dan tembakau. Cengkeh berasal dari tanah rempah Maluku, tembakau tumbuh subur di tanah-tanah Jawa, Sumatra, Madura, dan Bali. Ketika keduanya disatukan, aroma yang muncul begitu khas tajam tapi lembut, pedas tapi manis, asing tapi akrab.

Mereka seperti dua jiwa yang bersatu dalam tubuh kecil bernama kretek. Dalam satu hisapan, kau bisa merasakan ratusan tahun sejarah perdagangan, kolonialisme, dan perlawanan. Cengkeh dulu adalah incaran bangsa-bangsa Eropa. Mereka rela berlayar ribuan mil demi rempah yang kini membumbui sebatang rokok rakyat di Indonesia.

Bagi banyak orang Indonesia, merokok kretek bukan sekadar kegiatan. Ia adalah ritual. Sebelum bekerja, tarik dulu satu batang. Di tengah lelah, nyalakan sebatang. Seusai makan, temani dengan satu linting. Bahkan di pemakaman, dalam kesedihan yang sunyi, terkadang hanya asap kretek yang bicara. Ia juga hadir dalam momen kebersamaan.

 Di pos ronda, kretek beredar dari tangan ke tangan, mempererat rasa senasib. Di warung kopi, ia menyertai diskusi tentang politik atau harga sembako. Di studio para pelukis dan musisi, ia menjadi bahan bakar inspirasi. Dan di sanalah, kretek bukan cuma tentang nikotin, tapi tentang rasa. Rasa memiliki, rasa dekat, rasa akrab.

 

Di Tengah Gempuran Modernitas

Semakin sedikit tempat di negeri ini yang membuka lebar ruang untuk menyelami pesona dari kretek sebagai bentuk kreativitas di negeri ini. Dan, yang terjadi ketika seorang berbicara perihal rokok, maka akan dihadapkan dengan ceramah tentang haramnya rokok dan betapa rokok menjadi iblis bagi kesehatan umat manusia. Sangat mudah memang memberikan segala bentuk label buruk pada selinting tembakau dan cengkeh. Toh, dia juga tidak hidup, jadi mampu adu argumentasi Hahaha…

Begitu pula dengan para pembuat fatwa rokok haram. Barangkali mereka dapat dimanfaatkan karena pengetahuannya memang kurang. Mungkin pengetahuan mereka terbatas tentang Masjid Kudus dan Sunan Kudus. Sehingga, mereka tak pernah tahu jika Kudus menjadi tempat rokok kretek pertama kali ditemukan dan diperdagangkan.

Lagi-lagi bukan oleh para kompeni, tapi oleh rakyat Indonesia sendiri, sampai-sampai di Kudus punya museum kretek sendiri. Lalu, realitas sejarah mengenai industri ini yang mampu berdiri hingga satu abad dan menjadi penyumbang bea cukai terbesar di negeri ini sepertinya sudah tak lagi diangap penting. Dengan kenyataan seperti itu, apa yang diperbuat oleh pemerintah terhadap kretek dan industrinya? Kita sudah tahu sama-sama apa yang terjadi.

Menjaga Warisan

Ada suatu lelucon yang pernah saya alami sendiri kala itu. Seperti biasa, pada suatu malam setelah lelah kuliah seharian, saya merehatkan badan dengan ngopi di warkop bersama kawan-kawan saya lainya. Ketika ngopi, saya seringkali membawa kotak kecil yang di dalamnya berisi tembakau, cengkeh, dan paper rokok. Dengan santai setelah kopi pesanan datang, saya membuat sebuah karya lintingan dari tembakau yang saya taburi cengkeh, lalu membakar dan menghisapnya.

Hal itu menarik perhatian para pengunjung di sekitar, karena saya satu-satunya orang di warkop itu yang ngelinting. Maklum, saya kuliah di kota Surabaya yang cukup terkenal dengan modernitasnya. Kemudian ada salah satu pengunjung di meja yang tidak jauh dengan saya nyletuk “liat, orang itu ngerokok lintingan, kayak mbah-mbah saja.” Ucapnya lirih, tapi saya sedikit mendengar dengan jelas perkataanya itu. Lalu tanpa banyak pikir, saya mengatakan pada kawan-kawan saya  sambil agak mengeraskan suara , “saya nggak ngerokok, tapi saya mengkretek hahaha…” sahutku membalas perkataan muda-mudi tadi sambil tertawa.

Maraknya industri rokok kretek pabrikan saat ini memang lah sangat baik. Di satu sisi banyak orang mendapatkan lapangan pekerjaan. Namun, di sisi lain, sepertinya ada masalah yang terlupakan, yang transfer pengetahuan namanya. Transformasi teknologi menjadikan pekerjaan semakin mudah dan bisa mencapai targetnya. Tapi, warisan pengetahuan tentang sentuhan tangan menjadi berkurang dan sedikit demi sedikit menghilang. Baik mesin maupun manusia rasanya sekarang sulit untuk membedakan mana yang robot.

Dan karena itu, saya pun akhirnya tak heran jika sekolompok muda-mudi tadi menganggap saya kolot. Bagi mereka yang terpenting itu merokok, nggaya, kelihatan keren, lantas mereka tak perlu tahu siapa itu Haji Djamhari, Nitisemito, Nasila, Tjap Ulo Mangan Kodok atau Tjap Bulatan Tiga.

Semestinya, sebagai orang Indonesia kita patut berbangga dan menjaga warisan budaya agar tetap selalu lestari. Tapi ya begitulah kenyataan yang terjadi. Semakin banyak orang lupa dengan tanahnya sendiri, semakin banyak pula orang yang menghakimi sesamanya. Dan, semakin jauhlah generasi muda dari sejarah negerinya, yang Kemudian segalanya akan menjadi omong kosong belaka. Tanpa kesadaran. Nama Haji Djamhari, Nitisemito, Nasila terncam menjadi sebuah rahasia yang hany diketahui oleh segelintir orang.

Kretek pada akhirnya, adalah sajak yang terbakar perlahan. Ia tidak hanya mengepul di udara, tapi juga di batin orang-orang yang tumbuh bersamanya. Di tiap hisapan, ada napas leluhur. Di tiap abu yang gugur, ada ingatan yang abadi. Mungkin suatu hari kelak, kita tak lagi menyalakan kretek. Tapi selama masih ada yang bercerita tentangnya, selama masih ada yang mengingat harum cengkeh itu, kretek belum benar-benar padam.

 

Oleh : M. Iqwan Widana


Posting Komentar

Posting Komentar