![]() |
Ilustrasi AI |
Sound horeg, sebutan untuk perangkat
audio berskala besar dengan volume ekstrem, yang diarak melewati jalanan umum,
menjadi fenomena sonik sekaligus sosial dalam masyarakat. Keberadaannya
menimbulkan pro-kontra. Mereka yang setuju menganggap sound horeg sebagai
hiburan rakyat, kebersamaan, bahkan bagian dari budaya. Sedangkan yang menolak
menganggap sound horeg ini lebih banyak mudaratnya, dan merugikan. Contoh
nyata, kaca rumah pecah dan genteng berjatuhan karena efek dentuman bass-nya.
Begitu juga persoalan kesehatan, yaitu dikhawatirkan memiliki efek buruk pada pendengarnya,
karena tingkat kekerasan suaranya melewati ambang normal yang bisa diterima
telinga.
Tak ada hukum formal yang menyentuhnya,
meski sebagian orang merasa terganggu. Hingga akhirnya turun fatwa dari
kelompok ulama. Putusan bahwa sound horeg itu haram. Dengan pertimbangan dampak
yang merugikan. Namun fatwa ini melahirkan reaksi dari para pelaku dan
penikmatnya. Alasan mereka, kalau sound horeg haram maka haramkan semua sound
sistem yang ada, karena sama-sama menimbulkan bunyi keras. Tentu alasan yang
mengada-ngada, karena yang dipersoalkan bukan soundnya, melainkan horegnya.
Bunyi menggelegarnya yang mengganggu dan memiliki daya rusak.
Tapi yang ingin saya soroti bukan alasan
konyolnya itu. Bukan pula soal efek yang merugikan tadi. Hal itu tentu sudah
banyak yang membahasnya. Ada sesuatu yang “menarik” untuk dibahas, yaitu sebuah
respons dari pemilik sound horeg terhadap vonis ulama yang bilang begini: “Kami
ini rakyat kecil, jangan bunuh nafkah kami dengan fatwa haram.” Pernyataan
tersebut, pada kesan sekilas, mungkin terdengar seperti permohonan tulus bahkan
ratapan yang menghiba dari seorang yang lemah. Ada rasa kasihan yang muncul
ketika seseorang mengaku “rakyat kecil”. Tapi karena itulah kita patut curiga
dan perlu membedahnya. Sebab bisa jadi, yang sedang bekerja di dalamnya bukan
sekadar ratapan ekonomi, tapi pengelabuan atau semacam mistifikasi atas relasi
produksi.
Dengan menyebut dirinya “rakyat kecil”,
pemilik sound horeg tengah menyusun strategi diskursif untuk menyamarkan
posisinya sebagai pemilik alat produksi. Ia bukan buruh atau tenaga kerja
upahan, melainkan kapital kecil yang mengelola teknologi bunyi demi akumulasi
nilai lebih. Di sini ada jebakan wacana populis bekerja, semacam mengaburkan
garis antara rakyat pekerja dan pemilik surplus. Dalam kata lain, narasi
“rakyat kecil”, si pemilik sound horeg ingin mengundang empati massa untuk
mengamankan dominasi ekonominya yang berbasis sewa dan eksploitasi simbolik
itu.
Kemudian apa yang terjadi? Komodifikasi
atas hasrat kolektif, yaitu bunyi sebagai komoditas, hiburan sebagai pasar,
atau ruang publik menjadi panggung transaksi. Dalam keadaan begitu, masyarakat
mejadi bagian dari skema konsumsi terkoordinasi yang menopang bisnis. Mereka
patungan, iuran untuk menyewa suara dentuman. Ada sumber meyebutkan setiap
rumah harus menyumbang tiga ratus ribu rupiah. Lalu siapa yang diuntungkan?
Tentu pemilik sound horeg yang menghimpun nilai dari partisipasi kolektif
tersebut. Dalam masyarakat ada transfer nilai yang tak kasat mata, yaitu
melalui mediasi simbolik yang dikooptasi oleh relasi produksi (bukan lewat
relasi kerja formal tentunya).
Memang, pemilik sound horeg bukanlah
bagian dari elite borjuis atau kapitalis besar. Mereka berada di posisi
ambivalen, tertindas dalam skala makro, tapi bisa menjadi pelaku dominasi dalam
ruang sosial mikro. Dan dalam posisi inilah mistifikasi bekerja dengan efektif.
Karena penindas dan yang ditindas saling bertukar tempat, tergantung siapa yang
sedang memegang kontrol atas sumber nilai.
Lebih jauh, sound horeg ditampilkan sebagai
produk budaya rakyat. Ia menjual estetika inklusif sebagai komoditas dengan
melegitimasinya melalui bahasa gotong royong, agar diterima mejadi kewajaran.
Nyatanya yang sedang berlangsung adalah infiltrasi pasar ke dalam kehidupan
sehari-hari, menyaru sebagai perayaan komunitas. Masyarakat kampung yang
menyewa sound horeg akhirnya dikunci dalam jejaring produksi yang tidak mereka
sadari.
Maksud yang ingin saya katakan, ada
koersi atau tekanan yang seolah berwujud kesepakatan sosial, sehingga membuat
orang merasa harus ikut menyewa dan ikut merasa senang. Dalam tekanan semacam
itu, kebisingan tidak lagi dilihat sebagai kekerasan simbolik, tapi sebagai
bentuk partisipasi kolektif. Individu-individu yang menerima atau tidak dalam
masyarakat kampung terhadap suara yang menyakiti telinga itu ada kekuasaan yang
sedang bekerja.
Lalu siapa rakyat kecil itu? Siapa yang
diuntungkan, siapa yang dibungkam? Karena klaim “rakyat kecil” tak bisa
dibiarkan mengambang sebagai identitas netral. Ia tak boleh ditimbang sebatas
dengan narasi sentimental yang penuh kesan penghibaan. Ukurannya tentu ada pada
struktur produksi dalam relasi ekonomi yang konkret.
Jadi, pemilik sound horeg yang menghiba
tadi bukanlah rakyat kecil, kalau kita menyimpulkan secara struktural. Ia
memainkan peran sebagai kapital kecil yang sedang mengelola simbol budaya demi
keuntungan. Ia bukan orang yang terdesak oleh sistem. Ia salah satu roda yang
ikut menggerakkan sistem (meski dalam lingkup yang terbatas). Tapi ‘kan yang
membuatnya rumit adalah bahwa praktik ini dirayakan bersama, tanpa banyak yang
sadar bahwa mereka sedang menjadi bagian dari produksi nilai. Tentu, memang
benar bahwa kapitalisme bekerja dengan sangat efektif saat tak dikenali,
penindasan hadir dalam bentuk pesta dan para tertindas merasa sedang merayakan
pesta. []
Penulis : Kim Alghazali
Posting Komentar