![]() |
https://i.ytimg.com/vi/rmdZCkJhJ4o/maxresdefault.jpg |
Abad modern ini sekian banyak telah
menyaksikan salah satu persoalan yang menjadi isu utama tidak lebih adalah
krisis ekologis atau kerusakan lingkungan hidup. dimana perhari ini, persoalan
tersebut kerap di bicarakan khususnya seluruh Masyarakat global. Nyaris jika
turut dibiarkan Dimana keberlangsungan makhluk hidup sangatlah bergantung pada
lingkungan. Situasi dan kondisi saat ini membuat Masyarakat global berusaha
keras untuk terus mencari jalan keluar untuk menghambat lajunya kerusakan
lingkungan hidup. Berbagai macam Upaya dilakukan oleh masyarakat global,
seperti pemanfaatan teknologi analisis geografi dan iklim, penetapan
undang-undang, hingga kesepakatan kesepakatan internasional. Namun demikian,
banyak para pakar menilai langkah-langkah tersebut belum cukup memadai. Mereka
melihat adanya akar persoalan yang lebih mendalam, yakni keterputusan manusia
dari dimensi spiritualitasnya, yang justru menjadi salah satu faktor utama
penyebab terjadinya krisis ekologis itu sendiri.
Persoalan yang terkait dengan isu-isu kelestarian
lingkungan mencakup berbagai tantangan yang bersumber dari degradasi lingkungan
yang akan mengancam keseimbangan ekosistem (Widiyasari 2022). Berbagai macam
faktor yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan ini, antara lain seperti penebangan
liar yang tidak disertai reboisasi yang memadai, mengakibatkan terjadinya
penggundulan hutan yang mengakibatkan tanah tidak dapat menahan air dan
pepohonan tidak dapat menyerap karbon dioksida secara efektif. Selain itu,
penambangan batu bara yang terus berlangsung menguras dan merusak tanah,
sementara efek dari asap kendaraan dan fasilitas industri menghasilkan emisi
pabrik yang berkontribusi terhadap gas rumah kaca, sehingga mengakibatkan
polusi udara dan meningkatnya suhu global. Sampah yang berserakan semakin
memperparah masalah ini (Sya'ban 2024)
Hakikat Antroposentrisme
Antroposentrisme berasal dari kata anthropos
(manusia) dan centrum (pusat). Paradigma ini menempatkan manusia sebagai ukuran
nilai dan tujuan utama dari seluruh realitas. Alam, dalam pandangan ini, tidak
memiliki nilai intrinsik, melainkan hanya bernilai sejauh bermanfaat bagi
manusia. Francis Bacon, bapak filsafat modern, menegaskan bahwa “pengetahuan
adalah kekuasaan”. Melalui sains, manusia dapat menguasai dan mengontrol alam
demi kepentingan praktis. René Descartes memperkuatnya dengan dualisme res
cogitans (pikiran) dan res extensa (materi). Alam dipandang sebagai benda mati
yang tunduk pada kalkulasi rasional manusia. Dari titik ini, modernitas membawa
pergeseran ontologis: alam yang sebelumnya dipandang sakral sebagai ciptaan
Tuhan kini direduksi menjadi objek material yang bisa dieksploitasi. Pandangan
inilah yang melahirkan fondasi paradigma antroposentris.
Paradigma antroposentris membawa dampak serius
terhadap relasi manusia dengan alam. Cara pandang ini menempatkan manusia
sebagai pusat dari segala sesuatu dan menjadikan alam tidak lebih dari sekadar
instrumen bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Dari perspektif ini, hutan, laut,
tambang, dan tanah tidak lagi dipandang sebagai bagian integral dari kosmos
yang sakral, melainkan direduksi menjadi komoditas yang harus dieksploitasi.
Revolusi industri di Barat menjadi tonggak sejarah penting dari transformasi
ini. Dengan hadirnya mesin uap, teknologi transportasi, dan perkembangan
industri manufaktur, eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara
besar-besaran demi pertumbuhan ekonomi. Proses industrialisasi yang berlangsung
cepat ini bukan saja memperkuat dominasi manusia atas alam, tetapi juga
menormalisasi logika produksi massal yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Konsekuensi logis dari cara pandang tersebut adalah
krisis ekologi yang kini melanda dunia. Polusi udara akibat emisi kendaraan dan
industri, pencemaran air karena limbah pabrik, serta kerusakan tanah dari penggunaan
bahan kimia berlebihan dalam pertanian hanyalah sebagian kecil dari dampak
paradigma antroposentris. Perubahan iklim global, yang ditandai dengan
meningkatnya suhu bumi, mencairnya es di kutub, dan naiknya permukaan air laut,
semakin mempertegas bahwa hubungan dominatif manusia terhadap alam telah
menciptakan ancaman serius bagi keberlanjutan kehidupan. Tidak hanya itu,
kepunahan spesies dalam skala besar akibat hilangnya habitat alami
memperlihatkan bahwa manusia, dalam upaya mempertahankan kenyamanan hidupnya,
justru mengorbankan keberlangsungan makhluk lain yang sejatinya ikut menopang
keseimbangan ekosistem.
Dampak lain yang tidak kalah serius adalah
hilangnya kesadaran manusia terhadap kesakralan alam. Dalam tradisi keagamaan,
alam selalu dipandang sebagai ayat Tuhan, tanda-tanda kebesaran dan
kekuasaan-Nya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Namun, paradigma
antroposentris telah menggeser relasi sakral tersebut menjadi relasi profan
yang berbasis pada logika dominasi. Alam tidak lagi dihormati sebagai entitas
yang memiliki nilai intrinsik, melainkan direduksi menjadi objek produksi.
Pandangan ini melahirkan sikap utilitarian yang menilai sesuatu hanya dari
manfaat ekonomisnya, sehingga keindahan, kesucian, dan makna simbolis dari alam
diabaikan.
Pada akhirnya, paradigma antroposentris bukan hanya
menghancurkan alam, tetapi juga menimbulkan krisis identitas bagi manusia itu
sendiri. Manusia yang dalam perspektif teologis dan sufistik diposisikan
sebagai khalīfah fil-ard penjaga bumi yang diamanahkan oleh Tuhan untuk merawat
ciptaan-Nya berubah menjadi predator ekologis. Identitas spiritual manusia yang
seharusnya berakar pada kesadaran kosmik dan rasa cinta terhadap seluruh
ciptaan tergantikan oleh logika konsumtif dan hedonistik. Dalam kerangka
inilah, relasi manusia dengan alam tidak lagi ditandai oleh tanggung jawab
moral dan spiritual, melainkan oleh dorongan untuk menguasai, menaklukkan, dan
mengekstraksi sebanyak mungkin demi kepentingan jangka pendek.
Dengan demikian, krisis ekologi global yang
dihadapi dunia modern tidak bisa dilepaskan dari paradigma antroposentris. Cara
pandang filosofis ini telah menembus ke dalam struktur peradaban modern hingga
ke akar epistemologis dan moralnya. Ia membentuk sistem pengetahuan, politik,
dan ekonomi yang cenderung eksploitatif, sekaligus mengikis spiritualitas
manusia dalam memperlakukan alam. Selama paradigma ini tetap mendominasi, maka
upaya teknis apa pun—seperti regulasi lingkungan atau teknologi ramah
energi—akan selalu berhadapan dengan keterbatasan, karena akar persoalan
sesungguhnya terletak pada cara manusia memandang dirinya dan alam semesta.
Modernitas: Paradigma Baru yang Menafikan
Transendensi
Sayyid Hossein Nasr dalam essaynya yang berjudul
manusia dan Alam berpendapat bahwa modernitas bukan sekadar fenomena sosial
atau ekonomi, melainkan sebuah paradigma yang mengubah cara manusia memandang
realitas. Modernitas melahirkan peradaban yang memiliki basis paradigma
rasionalistik, materialistik, dan sekuler.
Dalam pandangan tersebut ia mencatat tatkala alam
dipersepsi sebagai mesin besar yang tunduk pada hukum mekanistik. Menanggalkan
Ilmu pengetahuan seakan pada posisinya ia dipisahkan dari agama dan alam
metafisika. Kritik tersebut memberi posisi bahwa nanusia ditempatkan sebagai
pusat, sementara Tuhan dan sakralitas kosmos diabaikan Sayyid Hossein Nasr
memberikan istilah bahwa antroposentrisme. Konsekuensinya ialah krisis
spiritual pandangan tersebut seakan mehilangkan kesadaran transendental
(Teologis) membuat manusia terjebak dalam kehampaan, hedonisme, dan eksploitasi
tanpa batas.
Yang kedua dalan catatanya Sayyid Hossein Nasr
menambahkan catatan akan konsekuensi bahwa ilmu pengetahuan modern telah
mengalami desakralisasi. Dalam tradisi Islam klasik, ilmu (`ilm) selalu
terhubung dengan agama dan metafisika. Alam dipahami sebagai ayat-ayat
kauniyyah, tanda kebesaran Allah yang harus dijaga.
Namun sejak revolusi ilmiah, ilmu berubah menjadi
instrumen kekuasaan. Ia kehilangan orientasi transendental, menjadi
reduksionis, dan hanya mengejar efisiensi teknologis. Akibatnya: Alam
dieksploitasi tanpa batas, dimensi spiritual manusia terpinggirkanbyang
terakhir krisis ekologis dan moral semakin dalam.
Tawaran Eko-Sufisme, Alam sebagai Realitas Sakral
Nasr Pada kritiknya Sayyid Hossein Nasr juga
mengusulkan paradigna bagaiaman melihat dan menempatkan kembali kepada
kosmologi tradisional yang melihat alam sebagai realitas sakral. Dalam Islam,
alam adalah kitab kedua selain wahyu: tanda-tanda Tuhan yang terbentang di
jagat raya. Merusak alam berarti melanggar tatanan kosmik dan amanah ilahi.
Konsep tersebut ia meyebutnya sebagai sacred
science (ilmu sakral) yang merupakan inti tawaran Nasr terhadap persoalan
lingkungan. Nasr membawa nilai-nilai sufistik dapat menjadi dasar bagi etika
ekologis yang manusiawi. Seperti konsep zuhud, atau hidup sederhana,
mengajarkan kita menolak konsumsi berlebihan dan hidup secukupnya. Wara’
mendorong kehati-hatian dalam memanfaatkan sumber daya alam, sehingga setiap
tindakan manusia tidak merusak keseimbangan ciptaan. Dengan mahabbah, cinta
kosmik pada seluruh makhluk, manusia diajak memandang alam sebagai bagian dari
keluarga besar ciptaan Tuhan yang layak dijaga. Sementara syukur dan tawadhu’
menumbuhkan kesadaran bahwa segala yang ada di dunia adalah karunia Tuhan, bukan
milik mutlak manusia.
Dari pandangan dan kritik Sayyid Hossein Nasr di
atas memeberikan pola paradigma baru bahwa krisis ekologis modern tidak dapat
diatasi hanya dengan pendekatan teknis. Akar masalahnya terletak pada paradigma
sekuler dan antroposentris yang memutus hubungan manusia dengan Tuhan dan
kosmos.
Eko-sufisme istilah yang digaungkan Sayyid Hossein
Nasr merupakan satu langkah sebagai metode alternatif. Dengan menekankan
kosmologi sakral, ilmu sakral, etika sufistik, dan paradigma teo-sentris,
seakan memberikan fondasi baru untuk membangun relasi harmonis antara manusia
dan alam.
Daftar Pustaka
Anthropocentrism. ScienceDirect Topics: Social
Sciences. Elsevier. Diakses [tanggal Anda membuka].
https://www.sciencedirect.com/topics/social-sciences/anthropocentrism.
Firda Usia. “Peran Santri dalam Eko-Sufisme di
Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Putri Guluk-Guluk Sumenep.” Living Sufism
2, no. 2 (2023): 131.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam and the Plight of
Modern Man. London: Longman, 1975.
Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man.
London: George Allen & Unwin, 1968.
The Essential Seyyed Hossein Nasr. Edited by
William C. Chittick. Indiana: World Wisdom, 2007.
Rohidayah, Anies. Eco-Sufism in Ahmad Tohari’s
Selected Literary Works. Yogyakarta: Sanata Dharma University, 2018.
Sudarsono. Lingkungan dan Spiritualitas. Jakarta:
Pustaka Hijau, 2008.
Posting Komentar