“Hidup
burung-burung adalah sandiwara tertulis
oleh tangan-tangan tak terlihat, di mana akhir cerita selalu sudah ditentukan
sebelum mereka sempat mengepakkan sayap.”
Burung-burung
berikicau di hutan rimba disaut serigala mengaum di atas gunung, begitulah
kira-kira kondisi politik Ibuku saat ini, dengan semangat persatuan namun masih
terpecah dimana hilirnya, berwarna merah api di berbagai kabupaten kota,
mempertanyakan siapa menyulut api dan apa opportunity hasil
akhirnya, konsolidasi murni dengan semangat burung kicau mania dirasa terlalu dini
untuk serigala siap melahap mengambil keuntungan dikala kicauan para burung
untuk mengatasi kelaparan demi kesejahteraan srigala tersendiri. Para burung
berkumpul memperjuangkan hak atas kehidupan dirasa
sangkar kian lama kian terlihat, terlalu dini hingga terlupa
bukan dirinya burung bisa bersuara, serigala tak kala indah dan
lantang suaranya. Melupakan kondisi marah membalut rasa lapar dan keterbelakangan
pengetahuan, kekanan-kekiri terlalu bingung memperjuangkan haknya bukan untuk
keadilan melainkan kelaparan diarasakan, serigala terlalu mudah menentukan
goal akhirnya, hanya semata untuk membelokan dan menentukan hilirnya (Economic
Attention).
Burung-burung terlalu marah dengan keterbelakangan pengetahuan, dengan sigap serigala membakar rumah dan lubung biji-bijian bukan dengan tangnya, namun dengan tangan burung-burung itu sendiri, dengan bodohnya para burung bingung siapa dan untuk apa tempat-tempat ini terbakar, begitu kiranya (Invisibel Hand) bergerak. Sekelompok rubah kecil menami dirinya sang revolusi, merasa sadar an melihat pola-pola invisible hand bergerak, burung-burung mulai resah. Mereka mencakar langit bukan karena bosan, melainkan karena terhimpit oleh kebijakan “Ibu Hutan” kian hari makin kacau. Ibu seharusnya merangkul semua makhluk, justru sibuk melindungi kepentingan segelintir kodok hijau berseragam perang, lengkap dengan senjata dan sorak sorai bak pahlawan kesiangan. Dengan alasan meredam kerusakan, mereka justru menuding burung-burung sebagai biang onar. Padahal, sayap-sayap patah, sarang hancur, dan pohon-pohon tumbang bukanlah ulah burung, melainkan akibat tangan “Ibu” sendiri dikuasai nafsu dan kelicikan. Burung-burung berteriak dianggap pengacau, sementara provokasi kodok hijau menjelma kebenaran resmi. Beginilah hutan: tempat kebenaran dibalikkan, tempat keadilan dipermainkan, dan tempat perlawanan hanya dianggap nyanyian burung di senja hari indah didengar, tapi tak pernah dipedulikan.
Burung-burung
mulai resah. Mereka mencakar langit bukan karena bosan, melainkan karena
terhimpit oleh kebijakan “Ibu Hutan” kian hari makin kacau. Ibu seharusnya
merangkul semua makhluk, justru sibuk melindungi kepentingan segelintir kodok
hijau berseragam perang, lengkap dengan senjata dan sorak sorai bak pahlawan
kesiangan. Dengan alasan meredam kerusakan, mereka justru menuding
burung-burung sebagai biang onar. Padahal, sayap-sayap patah,
sarang hancur, dan pohon-pohon tumbang
bukanlah ulah burung, melainkan akibat tangan “Ibu” sendiri dikuasai nafsu dan kelicikan. Burung-burung berteriak
dianggap pengacau, sementara provokasi kodok hijau menjelma kebenaran resmi.
Lebih tragis
lagi, ternyata atas nama “hewan terpelajar,” hutan semakin diperdagangkan.
Mereka berlidah manis dan berotak cerdas, bukan
menjadi penuntun jalan, melainkan menjual akal demi kepentingan perut dan
kenyamanan oligarki semata. Ilmu mestinya mencerahkan, malah dijadikan tameng
untuk melanggengkan serta mencari kekuasaan. Beginilah hutan: tempat kebenaran
dibalikkan, keadilan dipermainkan, dan perlawanan hanya dianggap nyanyian
burung atau coloseum roma di senja hari indah didengar dan diperlihatkan, tapi tak
pernah dipedulikan.
Pada
akhirnya, hutan ini tak ubahnya panggung sandiwara. “Ibu Hutan” berlagak bijak,
padahal hanyalah dalang sibuk memainkan wa dengan tali-tali kekuasaan. Burung-burung
dipaksa percaya pada dongeng keadilan, sementara serigala dan kodok hijau
merayakan pesta kemenangan di atas puing-puing sarang terbakar. Ironisnya, suara-suara kicau tulus
justru dipenjara dalam sangkar tuduhan, dicap sebagai pengacau, pengganggu,
bahkan pengkhianat. Inilah hukum di negeri hutan: semakin kau lapar akan
keadilan, semakin cepat kau dituduh bersalah. Kebenaran tak lagi lahir dari
nurani, melainkan dari siapa paling keras berteriak sambil menenteng palu dan
bendera. Keadilan tak lagi ditegakkan dengan hati, melainkan dilelang seperti
kayu-kayu tua ditebang untuk mengisi perut para penguasa.
Maka, burung-burung boleh saja terus mencakar langit, tapi jangan heran bila
cakar itu hanya dianggap goresan tak berarti di dinding langit sudah
retak oleh kepalsuan. Begitulah hutan ini: keadilan hanyalah jargon, hukum
hanyalah dekorasi, dan demokrasi sekadar pesta pora bagi segelintir binatang pandai
menipu diri sendiri.
Penulis : Madjid A




Posting Komentar