Pembacaan manusia
terhadap realitas kehidupan terus mengalami perubahan yang tidak dapat dicegah,
dibendung, maupun diberhentikan dari peredaran. Beragam konsep, metode, dan
penerapannya dalam menyelesaikan persoalan tetap menjadi tujuan tanpa ujung
yang dilakukan oleh manusia. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa,
penolakan manusia atas statisitas dan terus berjalan sesuai dengan realitas
kehidupan yang—meminjam istilah Camus—absurd.
Aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, jika
menelisik lebih dalam, ternyata perlu pembacaan yang lebih radikal. Tidak hanya
aktivitas yang bersifat tindakan, melainkan juga pada taraf kognitif, nilai-nilai,
hingga kebudayaan. Dalam perspektif sosio-politik, masyarakat tidak dapat
keluar dan melepaskan dirinya dari ideologi. Menurut Franz Magnis-Suseno,
dalam Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, pengertian ideologi yang paling
umum di kalangan ilmuwan sosial adalah, sesuatu yang secara intrinsik terdapat
sistem nilai, moralitas, interpretasi terhadap dunia (Magnis-Suseno,
1992).
Perkembangan pemikiran mutakhir, lebih menekankan
teks sebagai objek kajian sebagai upaya penyingkapan atas maksud terselubung,
ideologi di balik teks, dan struktur yang menyimpan arkhe. Secara
umum, pemikiran yang identik dengan paradigma skeptis terhadap teks, disebut
Post-Strukturalis atau Post-Modernis. Sebut saja pemikir seperti Michel
Foucault, Jacques Derrida, Pierre Bourdieu, dan lain sebagainya. Secara
eksplisit—maupun implisit—mereka ini menciptakan sebuah meta-konsep yang
berusaha menolak “rezim kepastian”. Sebuah logosentrisme yang dikonstruk oleh
filsuf Abad Modern telah memberikan legasi yang mengakar dalam pemikiran
filosofis saat ini, sehingga tidak sedikit yang menganggap bahwa pemikiran yang
dimulai sejak Descartes dengan Cogito Ergo Sum-nya, merupakan
sebuah finalitas dalam menemukan kebenaran.
Wacana dipahami sebagai unit dan bentuk tuturan
dari sebuah interaksi yang berada di kehidupan sosial masyarakat, namun juga
dapat dihasilkan dalam lingkungan institusional. Teks adalah salah satu sarana
wacana yang biasa digunakan untuk mendekteksi sebuah makna, tujuan, hingga
ideologi tertentu. Van Dijk menyebutkan, bahwa wacana adalah teks di dalam
konteks. Maka, terma sentral dalam menganalisis wacana adalah teks. Karena ia
mempunyai makna konteks yang lebih luas. Istilah teks dan wacana cenderung
digunakan tanpa ada diferensiasi yang jelas. Kendati demikian, teks lebih
bertendensi kepada persoalan materialistik, bentuk, dan struktur bahasa.
Sedangkan spektrum kajian wacana mempunyai tendensi pada persoalan isi,
fungsionalitas, dan makna sosial dalam penggunaan bahasa (Silaswati,
2019).
Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse
Analysis/CDA)—selanjutnya akan ditulis AWK—merupakan sebuah upaya untuk
menjelaskan suatu teks pada fenomena sosial sebagai sarana untuk mengetahui
kepentingan yang terdapat di dalam teks. Wacana sebagai praktis sosial dapat
dianalisis menggunakan AWK untuk membongkar kepentingan-kepentingan
terselubung, hubungan wacana dan perkembangan sosial-budaya, pada situasi yang
berbeda dalam dimensi linguistik. Ketidakadilan dan segala bentuk ketimpangan
pada fenomena sosial dapat dianalisis menggunakan AWK. Spektrum kajian AWK,
dapat berpusat pada beberapa hal, antara lain: tindakan, konteks, relasi kuasa,
historis, dan ideologi (Rohana & Syamsuddin, 2015).
Membahas tentang Analisis Wacana Kritis, nama
seperti Norman Fairclough, T. Van Dijk, dan R. Wodak tidak dapat dilupakan
begitu saja. Ketiganya merupakan pemikir dan peneliti yang mempunyai fokus
terhadap wacana, terutama wacana sebagai praktis sosial. Kendati terdapat
perbedaan metode maupun model analisis wacana pada ketiganya, tidak berarti
juga mempunyai tujuan yang berbeda. Justru dari perbedaan yang dihadirkan oleh
ketiganya, mempunyai orientasi yang sama, yakni perubahan sosial. Fairclough
misalnya, mencoba menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang
bersifat makro (Sumarti, 2010). Pandangan mengenai hubungan dialektis
antara struktur maksro dan mikro ini sebenarnya berangkat dari ahli bahasa,
yakni Michael Halliday (1925-2018). Bahwa ia menegaskan bahwa bahasa adalah produk
dari proses sosial. Dan kemudian, hubungan timbal balik ini dikukuhkan oleh
Fairclough yang menurutnya bersifat determinatif (Santoso, 2008).
Norman Fairclough adalah Guru Besar Linguistik di
Departement of Linguistics and English Language, Lancaster Unerversity,
Inggris. Ia adalah salah seorang yang mengembangkan AWK. Secara sederhana,
analisis wacana yang digagas oleh Fairclough adalah analisis wacana yang
mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya. Model analisis yang
melihat wacana sebagai bentuk upraktik sosial, sehingga berpotensi menampilkan
efek ideologis, memproduksi, mereproduksi relasi kekuasaan yang tidak seimbang
antara kelas sosial, gender, maupun kelompok masyarakat. Bahasa dipahami
sebagai praktik sosial. Analisis wacana Fairclough juga berusaha
mengintegrasikan linguistik dengan perubahan sosial, sehingga model ini
seringkali disebut Dialectical-Relational Approach (DRA) (Saraswati
& Sartini, 2017).
Menurut Jorgensen & Phillips, pendekatan
Fairclough menganalisis diskursus yang berorientasi kepada teks untuk
menyatukan tiga tradisi, antara lain: pertama, analisis tekstual
dalam bidang linguistik; kedua, analisis makro-sosiologis dari
praktik sosial, termasuk teori-teori Foucault yang tidak menyediakan metodologi
analisis teks; ketiga, tradisi mikro-sosiologis dalam disiplin ilmu
sosiologi. Dalam mengintegrasikan ketiga tradisi tersebut, Fairclough mengisi
kekurangan analisis teks yang banyak dikembangkan oleh ahli linguistik.
Analisis terhadap teks saja tidaklah cukup, karena hal tersebut tidak dapat
menyingkap lebih jauh dan mendalam kondisi sosio-kultural yang menjadi latar
belakang munculnya teks (Munfarida, 2014).
Konsep yang dibangun oleh Fairclough
menitikberatkan pada tiga level. Pertama, setiap teks secara
fungsional memiliki representasi, relasi, dan identitas. Kedua,
praktik wacana meliputi cara yang digunakan produsen teks. Hal ini menunjukkan
bahwa, terdapat subjektivitas dalam pembuatan wacana yang tidak dapat
dihindari. Salah satu contoh ialah wartawan. Sebagai wartawan tidak akan
terlepas dari lingkungan dan pola kerja media, seperti cara meliput berita,
menulis berita, hingga menjadi berita dalam media. Ketiga, praktik
sosio-kultural menganalisis politik, ekonomi, dan budaya yang juga memengaruhi
institusi media dan wacananya (Fauzan, 2014). Pembahasan praktik
sosial-budaya mempunyai tiga klasifikasi, antara lain: level situasional,
institusional, dan sosial. Level situasional berkaitan dengan produksi wacan
dan konteks situasinya. Sedangkan level yang kedua, berkaitan dengan implikasi
institusi secara internal maupun eksternal. Level yang terakhir, mempunyai
keterkaitan dengan situasi yang lebih luas, seperti sistem politik, sistem
ekonomi, dan sistem kebudayaan yang berlaku di masyarakat.
Dalam AWK, Fairclough memberikan empat langkah
metode dan secara berurutan akan dijelaskan di bawah ini (Haryatmoko,
2022):
Pertama, fokus pada ‘ketidakberesan sosial’ dalam
aspek semiotiknya.
Ketidakberesan dalam sistem sosial dianggap sebagai
hal yang penting untuk dicari, dikaji, dan ditemukan. Karena hal tersebut dapat
menjadi sebab ketimpangan atau merusak kesejahteraan kolektif, yang bisa
diperbaiki dengan cara radikal dari sistem. Ketidakberesan sosial berarti
sebuah kekurangtepatan yang terjadi dalam sistem sosial, tidak semestinya
terjadi. Seperti halnya, kemiskinan, diskriminasi, ketidakadilan, minimnya
kebebabasan berpendapat, bahkan rasisme. Untuk memfokuskan pada ketidakberesan sosial
ini, perlu dua langkah yang bermaksud mendefinisikan topik yang sedang diambil,
yakni memilih topik penelitian terkait dan mengkonstruksi ibjek penelitian
dengan kerangka epistemik.
Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk
mengatasi ketidakberesan sosial.
Pada tahap ini
perlu pendekatan yang mempertanyakan bagaimana kehidupan sosial dikonstruksi
sehingga mencegah dari terjadinya upaya menangani ketidakberesan sosial
tersebut. Hal ini membutuhkan analisis struktur sosial dan proses semiotik.
Maka identifikasi ini membutuhkan seleksi dan analisis teks yang relevan dan
mengkaji hubungan dialektik antara semiosis dan unsur-unsur sosial.
Untuk mengidentifikasi masalah dengan menghasilkan
data-data yang diinginkan, terdapat tiga cara yang dihadirkan oleh Fairclough,
antara lain: pertama, analisis hubungan dialektik antara semiosis
dan unsur sosial; kedua, menyeleki teks dan fokus pada analisis
teks yang telah diklasifikasi sesuai dengan tujuan penelitian; ketiga,
melakukan analisis teks, baik analisis interdiskursif maupun analisis
linguistik dan semiotik.
Ketiga, mengidentifikasi apakah tatanan sosial
“membutuhkan” ketidakberesan sosial.
Pertanyaan atas kebutuhan
ketidakberesan sosial ini adalah cara untuk mendapatkan sebuah penjelasan tentang
apakah ketidakberesan tersebut dapat ditangani dalam sistem, atau hanya bisa
ditangani dengan cara diubah. Hal ini merupakan cara untuk menghubungkan antara
sesuatu yang faktual dan yang semestinya (normatif). Misalnya, jika suatu
tatanan sosial jelas menghasilkan ketidakberesan sosial yang merugikan
masyarakat pada umumnya, maka hal tersebut menjadi alasan yang logis untuk
melakukan perubahan. Tentu, kaitannya dengan masalah ideologis; wacana selalu
bersifat ideologis, sejauh ia mendukung perihal kekuasaan dan dominasi
tertentu.
Keempat, mengidentifikasi cara yang berpotensi
mengatasi hambatan.
Analisis pada tahap terakhir
ini, bermaksud untuk mengidentifikasi potensi-potensi dalam proses sosial untuk
mengatasi hambatan yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan
pengembangan penelitian agar hambatan tersebut dikritisi, ditantang, bahkan
ditolak dalam kelompok sosial, struktur politik, ekonomi, dan pranata budaya.
Analisis juga berpusat pada proses semiosis—segala bentuk pembuatan makna—seperti
visual, bahasa tubuh, verbal, dan lain sebagainya. Dalam praksis sosial
terdapat aktivitas produktif, sarana produksi, relasi sosial, identitas, nilai
budaya, kesadaran, dan proses semiosis.
Dalam konteks ini, seperti halnya yang sudah
dibahas di awal, bahwa AWK merupakan analisis hubungan antara semiosis dan
praktis sosial. Proses semiosis tersebut dipaparkan oleh Fairclough dalam tiga
dimensi, yakni teks, praktik diskursif, dan praksis sosial. Pertama,
teks, yaitu segala sesuatu yang mengacu pada wicara, tulisan, grafik, dan
bentuk linguistik teks (khazanah kata, gramatika, syntax, struktur
metafora, dan retorika). Kedua, praktik diskursif, adalah segala
bentuk produksi dan konsumsi teks. Dalam dimensi ini terdapat proses
menghubungkan produksi dan konsumsi teks, atau melihat terdapat interpretasi.
Bagaimana produsen teks mengambil wacana maupun genre yang ada
dengan memerhatikan hubungan kekuasaan. Ketiga, praksis sosial,
merupakan analisis pengaruh wacana terhadap realitas sosial. Wacana dikonstruk
oleh dan mengkonstruk praksis sosial.
Model tiga dimensi Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough digambar sebagai berikut (Fairclough, 1995).
Daftar
Rujukan
Fairclough, N. (1995). Critical Discourse
Analysis: The Critical Study of Language. Addison Wesley Longman
Publishing.
http://pustaka.minangkabau.unand.ac.id//index.php?p=show_detail&id=813
Fauzan, U. (2014). Analisis Wacana Kritis Dari
Model Fairclough Hingga Mills. Pendidik, 171(6),
727–735. https://eje.bioscientifica.com/view/journals/eje/171/6/727.xml
Haryatmoko. (2022). Critical Discourse
Analysis: Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan (4th ed.).
RajaGrafindo Persada.
Magnis-Suseno, F. (1992). Filsafat Sebagai
Ilmu Kritis. Kanisius.
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=292972
Munfarida, E. (2014). Analisis Wacana Kritis Dalam
Perspektif Norman Fairclough. Komunika, 8(2), 130–141.
https://doi.org/10.1177/15271544221088250
Rohana & Syamsuddin. (2015). Analisis
Wacana. http://eprints.unm.ac.id/19564/
Santoso, A. (2008). Jejak Halliday dalam Linguistik
Kritis dan Analisis Wacana Kritis. Bahasa Dan Seni, 36(11),
1–14.
Saraswati, A., & Sartini, N. W. (2017). Wacana
Perlawanan Persebaya 1927 terhadap PSSI : Analisis Wacana Kritis Norman
Fairclough. Mozaik Humaniora, 17(2), 181–191.
Silaswati, D. (2019). Analisis Wacana Kritis Dalam
Pengkajian Wacana. METAMORFOSIS | Jurnal Bahasa, Sastra Indonesia Dan
Pengajarannya, 12(1), 1–10. https://doi.org/10.55222/metamorfosis.v12i1.124
Sumarti, E. (2010). Analisis Wacana Kritis: Metode
Analisis Dalam Perspektif Norman Fairclough. Lingua Scientia, Volume 2,
Nomor 2, November 2010, 7(1), 37–72.
Penulis : Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar