Ada
pengalaman personal yang tak mudah diutuhkan lagi. Tatkala pengalaman personal
itu diamati kembali, melalui rekaman, gambar, ingatan, atau tulisan, ia
menjelma realitas hari ini. Menjadi tamsil yang memerlukan tafsir. Setiap tafsir lahir dari ruang-waktu
saat tafsir diuraikan, berdialektika dengan keadaan. Ingatan manusia terhadap
realitas selalu tidak sempurna menyusun kembali segenap peristiwa menakjubkan
yang lampau atau yang sedang terjadi di luar dan dalam dirinya secara utuh. Ada
pergulatan sunyi, ada pergulatan ramai dan gaduh. Keduanya memiliki keutuhannya
sendiri. Ketika keduanya diabadikan dalam ingatan, lalu ingatan itu diamati
kembali, tepat disitulah proses tafsir terjadi.
Menengok
kembali tiap sesuatu, ialah kearifan. Mengaktualkan kembali landasan berpikir
yang dianggap baku guna menemukan fungsi dan kesesuaiannya dalam kekinian.
Tradisi ini bukan barang baru dalam keilmuan Islam. Kritik nalar Arab Islam pernah
dilakukan al Jabiri; membongkar lalu
menyusun ulang landasan berpikir dengan menengok sejarah. Ada pembatasan
kekuatan dan otoritas sejarah, mengembalikan alur dan segala kemungkinannya;
menyusun lagi struktur dan keterkaitan antar unsurnya. Bagian-bagian dari
tradisi dan pola berpikir itu menampilkan dinamika progresif untuk mengolah dan
berdialog dengan kekinian. Untuk keperluan itu, al-Jabiri meletakkan epistemologinya:
bayan, burhan, irfan.
Bayani
sebagai metode berpikir yang berdasar pada otoritas teks (nash) dalam
kerangka logika bahasa yang didalami dari inferensi (istidlal).
Rasionalitas, dalam hal ini, bertumpu pada teks. Hasil-hasilnya diolah di ranah
Burhani; segala postulat agama dapat dikonfirmasi sejauh ia
bersesuaian dengan rasio. Lalu, logika menyampaikan penilaian atas pengalaman
inderawi (tashawwur wal tashdiq).
Sebenarnya
tradisi keilmuan tersebut telah dilakukan sesudah masa kerasulan, mulai tampak
pada masa pencapaian khalifah al-Ma'mun, didukung
al Kindi dan banyak pemikir dalam tradisi
keilmuan Islam selanjutnya.
Kemudian
Irfan, yakni gnostik; pengetahuan intuitif yang lazim dalam Tasawuf Misalnya,
ibn Arabi memisahkan ranah analisis dan
pengamalan Tasawuf. Ia masuki wilayah kondisional (al-mawajidu)
dan jarak suatu keadaan (mayadinul ahwal). Kedua hal itu diolah dalam
perpaduan ilmu dan intuisi (al-'alamu al-dzauqi) yang dilandasi
pengalaman inderawi atau kesaksian (al-musyahadah). Semua proses itu, tak lain, ialah upaya
menemukan tafsir aktual dan lokalistik dari teks suci. Dalam keilmuan Islam,
teks suci memiliki posisi tertinggi atas segala proses berpikir dan mengambil
keputusan.
Berbeda
metode berpikir Barat, teks suci tak memiliki posisi vital dalam kerangka
berpikirnya. Dan keduanya hanya berbeda pijakan awalnya saja. Toh akhirnya akan
sama-sama bermuara pada samudera. Di sini jelaslah, wahyu adalah sesuatu
yang sangat rumit dan "berat" (qaulan tsaqila). Sehingga pesan
teks suci tak bisa diklaim oleh satu pendapat tafsir yang mutlak atasnya. Teks suci punya dua bentuk yang lazim
disebut "qath'i" (pasti) dan "dzanni"
(ambigu). Teks "dzanni" tak dapat di-"qhat'i"-kan,
ia tak bermakna tunggal, ia membuka peluang pada keberagaman tafsir yang bisa
sangat lokalistik bahkan individual.
Wahyu
adalah pengalaman personal yang menggetarkan. Ia hanya dapat dirasakan sang
penerima wahyu yang terkesima-takjub untuk menyampaikannya. Dia dijuluki
"rasul", berarti "utusan yang menyampaikan".
Tatkala
wahyu diungkapkan, ia memerlukan bahasa. Tapi, bahasa tak dapat seutuhnya
mewakili maksud sejati dari wahyu selain sang pemberi dan sang penerima wahyu. Huruf Nun (dan juga huruf-huruf misterius lainnya
dalam Qur'an) menunjukkan ketakterjangkauan bahasa itu, terhadap pengalaman
wahyu yang dirasakan sang penerima. Simbolisasi huruf-huruf:
"nun", "tha-ha", "alif-lam-mim", dll. dalam
Qur'an, lazim diterjemah apa adanya, atau "hanya Allah yang tahu
maksudnya". Kata
adalah kata itu sendiri (atau simbol) ketika ia tak kuasa menyampaikan
(dibebani) sesuatu yang tak terjangkau olehnya.
Wahyu
harus disampaikan sang penerima, walau tak pernah seutuhnya sampai. Seperti
cinta. Bagaimana menjelaskan cinta? Kita tahu kalau merasakannya, dan rasa itu
tak tertampung bahasa. Tapi, ia harus tersampaikan. Abdul Qadir alJailani menulis
kitabnya yang masyhur "Sirrul Asrar" (Rahasianya Rahasia).
Bagaimana mungkin rahasia bernama rahasia jika ia telah dibocorkan? Artinya,
apa yang tersampaikan tiada memastikan mutlak apa yang dirasakan.
Maka,
Tuhan bersabda: "Nun, demi pena, dan apa yang mereka tuliskan"
(QS.68:1). Sebentuk tradisi keilmuan dan tekstual yang diperkenankan-Nya.
Tetapi, kebenaran darinya tak dapat diklaim dengan satu tafsir belaka.
"Nun" ialah simbol ketakterjangkauan bahasa. "Sesungguhnya
Tuhanmu, hanya Dia yang paling tahu siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan hanya
Dia yang paling tahu orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS.68:7). Barangkali seseorang perlu menengok
kembali segala peristiwa dan sudut pandang. Tak harus menelan realitas seperti
pil sakit kepala tanpa proses berpikir dan kejernihan jiwa
Penulis : Taufiq Wr Hidayat
Posting Komentar