Sunyi berjalan di antara dua dinding waktu. Ruang
yang remang, seperti kertas buram dengan tinta yang mulai pudar. Di dalamnya,
suara yang belum sepenuhnya padam, atau mungkin hanya gema yang diulang-ulang
oleh sejarah. Film Gie (2005) karya Riri Riza adalah satu dari
sedikit artefak yang masih membawa bunyi itu ke telinga kita, meski samar,
meski mungkin hanya dentingan halus di layar gawai generasi Z yang lebih sibuk
dengan notifikasi media sosial.
Soe Hok Gie, seorang pemuda yang tak selesai dalam
zamannya, kini terpantul dalam wajah-wajah yang menatap layar. Mereka yang
hidup dalam gesekan ibu jari dan algoritma. Apakah mereka masih mengenali desir
langkah di jalanan protes, apakah mereka masih merasakan dingin udara gunung
yang menempel di tubuh Gie? Atau semua itu hanya menjadi warna kusam dari
sejarah yang tak lagi menarik bagi mereka?
Gen-Z hidup dalam ruang tanpa batas, informasi
mengalir seperti hujan deras tanpa atap untuk berteduh. Mereka tumbuh di antara
meme, unggahan TikTok, dan berita-berita yang berubah tiap detik. Bagaimana
mungkin mereka bisa merasa dekat dengan seorang pemuda dari masa lalu yang
menulis di buku harian, merenung di pinggir jurang, dan mengajukan pertanyaan
yang mungkin hari ini dianggap usang? Tapi justru di situlah relevansinya, di
situlah wajah Gie seharusnya masih bisa menyelinap masuk ke layar-layar mereka.
Dalam film Riri Riza, Gie bukan sekadar sosok yang
memberontak. Ia adalah ketidaknyamanan yang terus bergema, selembar kertas yang
tidak bisa sepenuhnya dilipat dan disimpan dalam laci. Ia menulis bukan karena
ingin diingat, tetapi karena ia tidak bisa diam. Gen-Z, yang lahir di era
digital, juga punya keresahan yang sama. Mereka melihat dunia yang semakin
sempit karena jaringan, tapi juga semakin luas karena absurditas. Mereka hidup
dalam kepungan kapitalisme, dalam kebisingan yang memaksa mereka untuk memilih:
menjadi bagian dari arus atau diam seperti batu.
Film Gie bukan hanya sekadar kisah
biografi. Ia adalah percakapan panjang dengan sunyi, sebuah monolog yang terus
menggali makna keberpihakan. Gie tidak percaya pada sistem, ia mencurigai semua
yang disebut sebagai kebenaran mutlak. Ia menolak menjadi alat. Tidakkah ini
juga suara yang seharusnya bisa didengar Gen-Z? Generasi yang mulai
mempertanyakan otoritas, yang menolak standar lama, yang menginginkan dunia
lebih adil tapi sering terperangkap dalam ketidakberdayaan digital.
Mungkin layar bioskop sudah lama tak menayangkan
film ini, mungkin Gen-Z lebih tertarik pada serial-serial yang lebih berwarna
dan cepat dikunyah. Tapi di balik semua itu, ada ironi yang tetap hidup:
ketidakadilan, ketimpangan, ketidakpedulian masih terus berulang. Sejarah bukan
hanya apa yang terjadi di masa lalu, tetapi juga sesuatu yang terus berdenyut
dalam ritme berbeda. Gie tidak bicara pada masa lalu, ia berbicara
pada kita yang masih hidup, yang masih mencari makna, yang masih bertanya-tanya:
apakah ada tempat bagi suara-suara yang berbeda di dunia yang semakin sempit
ini?
Relevansi film ini bagi Gen-Z mungkin bukan pada
bentuknya, bukan pada sinematografinya, tapi pada nyawa yang terkandung di
dalamnya. Sebuah ketegangan antara idealisme dan kenyataan, antara menjadi
bagian dari sistem atau tetap mempertanyakan semuanya. Gie tidak menawarkan
jawaban, ia hanya meninggalkan jejak. Dan dalam dunia yang serba instan ini,
jejak seperti itu mungkin lebih berharga dari sekadar konten yang berlalu dalam
hitungan detik. Sunyi tetap berjalan. Gie tetap menulis. Dunia tetap mencari
maknanya sendiri.
Penulis
: S.A.W Notodihardjo
Posting Komentar