Masih
selalu ada, prosa panjang. Perihal jalanan tua. Atau bangunan peninggalan
Belanda. Ada wajahmu di situ.
Gigil dan biru. Senja bagai menggaibkan pertanyaan yang tak pernah selesai. Stasiun kereta selalu menjadi metafora
kesepian manusia. Juga rindu. Dan jauh dari rumah. Berabad jalur transportasi
itu digunakan manusia. Urusan dan aktivitas manusia yang selalu tak ada ujung
pangkalnya. Betapa banyak nyawa dan harta-benda untuk membangun sebentang rel
panjang yang entah ujungnya. Seperti harapan. Alangkah besar ongkos yang harus
dibayar demi membangun sebentang peradaban. Perjalanan yang tak pernah tanpa
jejak. Jejak itu samar, namun menjadi monumen atau prasasti tentang kita yang
pemalu. Tetapi, seringkali kesepian. Gemar memberontak dan saling menyakiti.
Alangkah naifnya.
Namun,
gerimis yang luruh di situ. Bagai mengabadikan ciuman pertama di antara gentar
dan debar. Berdegup-degup sebelum tenggelam jauh di dalam pagut. Seperti juga
rindu. Pencarian panjang yang tak kunjung jelang. Dalam pelayaran, ujarmu.
Menghampiri pulau-pulau asing, jauh, dan selalu diselimuti kabut. Burung-burung Fariduddin Attar menghambur
pada senja yang mengabur. Gerak-gerik semesta. Gerak-gerik dari yang tidak
pernah selesai diuraikan dalam ketidakpahaman, ketidaktahuan, dalam duga dalam
prasangka.
Penantian,
katamu. Begitu dalam. Menggenangi ruang yang memuai. Dan waktu yang diam-diam
memungut derai demi derai usia. Kepergian demi kepergian. Pergantian dan
perubahan. Lalu kenangan melukis gerimis di dalam dadamu. Begitu mushkil dan
halus. Halaman rumah doa-doamu, air mata mengalir
hingga ke lubuk rahasia dalam sejarah. Ada wajahmu. Ada tawa dan harapan kecil
anak-cucumu. Suara-suara parau. Tanpa pemirsa. Tanpa pendengar yang setia.
Bukankah perjalanan burung-burung Attar pun tiba di puncak gunung-gemunung
dalam kepalamu? Merebahkan kelelahan dalam paru-paru. Hingga namamu yang
melekat pada denyut jantungku, berkilau hijau, cahaya sebutanmu pada pagi yang
berdebu. Kota-kota malam yang memperkenalkan tubuh perempuan kehilangan, keluh,
lalu membisu.
Pedalaman-pedalaman
doa yang dalam dan gelisah, semak-semak perjalanan, belukar-belukar harapan
yang tak terjelaskan, karam malam kesendirian, tebing sunyi, dan cuaca yang
ditayangkan di layar televisi. Kepada
yang hanyut dalam tarian-tarian yang penarinya musnah. Tetapi aroma tubuhnya,
mendesak masuk dalam hidung fana sejarah kita. Aroma keringat yang menjelma
dalam ingatan kekal. Perihal hujan. Perhentian. Kesejenakan yang terasa abadi.
Dan kita pun terpesona. Lena dalam desah panjang yang melelahkan.
Muasal
kita. Pergulatan yang dalam. Tatapan yang menyimpan kenangan. Hingga kelak,
kita juga tahu, melepas tubuh menjadi cinderamata. Kemudian anak-cucumu
memperingati hari-hari yang telah pergi, tak henti bertanya, tak henti memuja.
Lantas kita pun menyebutnya cinta?
Masih
selalu ada, tarian merah berputar dalam gerbong kereta. Daging-dagingnya
meleleh, helai-helai rambutnya berlepasan diterbangkan angin. Diratapinya tubuh
dan kulit yang bercahaya. Gumpalan-gumpalan tempat anak-anak manusia menghisap
hidup, berlarian, tertawa, meneteskan air mata, dewasa, lalu pergi entah ke
mana.
Inilah
genetika masa. Mengharukan kebun-kebun air mata, menimang kehilangan, dan
menghalau ketakutan dengan kebimbangan. Laut merah. Senja merah. Tarian merah.
Semesta. Tapi ketika gerimis tiba, segala degup berebut, sebelum berdebar-debar
di dalam pagut. Kita pun kalah. Dan lena. Masih
selalu ada, kisah tentang bangunan tua peninggalan Belanda, bekas gedung
bioskop yang berlumut. Malammu terus lalu. Mengenangkan pohon mangga dan jambu
air, belimbing dan pisang. Kebun jeruk. Jalan yang menurun. Sungai. Sebuah
gang. Tikungan jalan. Dan hilang sebelum memagutnya dalam-dalam. Sebelum
menghayati dan menghidupkannya dalam cahaya matahari.
Karena
tarian-tarian semestamu, memerah dalam darahku. Segalanya jadi sehijau namamu.
Rimbunan rindu, sedalam mimpimu. Suara-suara
diperdengarkan setelah lelap yang dalam. Orang-orang kembali. Debu jalanan
kembali. Pada cermin yang menyandar di sebelah lemari es dalam rumahmu. Segala
doa diproses dalam pabrik dan jaringan-jaringan. Tubuh-tubuh bergula.
Tarian-tarianmu tak kunjung selesai. Daging tubuhmu berlelehan. Dan air matamu
berkilau oleh cahaya lampu.
Sebelum
segala pagut, sebelum kedalaman, sebelum remuk-redam dihantam kerinduan. Di manakah
akan kau titipkan cerita dan ingatan peristiwa? Tentang kebodohan dan kesepian
yang orang namakan iman. Tentang naif, janji surga dan bidadari yang orang
namakan agama. Sedang hati manusia, kedinginan di dalam lemari es yang dikunci
oleh doktrin dan kegamangan.
Tetapi,
baiklah.
Langit
terus meluas, mengekalkan pertanyaan-pertanyaan muskil yang tak terpecahkan.
Kemudian dalam malam-malammu, kau tetap membutuhkan cerita, mengunyah fiksi
bersama secangkir kopi. Mengenang tarian merahmu yang liar. Desah yang purba.
Kau tanggalkan tubuhmu. Menyatu dengan waktu.
Giri, 2018
Penulis : Taufiq Wr. Hidayat
Posting Komentar