Kekerasan
seksual sekarang menjadi perbincangan hangat di Masyarakat, sepanjang tahun
2025 ini, Kementrian Perlinduagan perempuan dan Anak mencatat 8.756 kasus, di
mana 7.514 korbannya adalah perempuan, Kekerasan seksual sudah merambah ke
mana-mana, dari anak-anak sampai dewasa, dari dunia nyata sampai dunia maya, darurat
kekerasan seksual ini mencuat bukan hanya sekadar karena melonjaknya angka
kasus, tetapi juga lambatnya penanganan kasus bahkan kegagalan dalam penanganan
kasus yang justru membuat korban semakin terpuruk. Ironisnya pula berbagai
upaya dilakukan untuk menekan kasus kekerasan seksual, seperti kampanye anti
kekerasan seksual, tapi kenyataanya alih-alih menurun, justru semakin melonjak.
“Dimana perempuan bisa merasa
aman? Di kampus? Di gedung rektorat? Di kantor polisi? Di sekolah? Di pondok
pesantren?” Pertanyaan yang sering sekali mengantui hidup perempuan, di
ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk menempuh Pendidikan,
tapi nyatanya juga tak luput dari nafsu birahi, bahkan di kampus yang idealnya
menjadi tempat untuk menjunjung tinggi moralitas, justru malah banyak
berkeliaran predator-predator handal, yang meringsut kusut nilai normatif,
dengan banyak iming-iming seperti nilai akademik, keringanan UKT, dan
kelancaran selama pendidikan, memanfaatkan kelemahan korban untuk nafsu sesaat.
Dalam konteks sosial, budaya
patriarki masih kerap mendominasi, stigma kaum patriarki yang mengatakan bahwa
perempuan adalah individu yang lemah, masih terdengar lantang menggema,
ditambah lagi budaya menyalahkan korban kian marak “Kamu sih pakaiannya
terbuka, riasan wajahmu terlalu menggoda” yang mengakar kuat di Masyarakat,
hingga korban merasa malu, menyendiri, prustasi, bahkan tak jarang gantung
diri. Sebenarnya secara hukum Indonesia telah mengambil langkah penting dengan
disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tahun
2022. Tetapi karena masih banyak hambatan di antaranya perihal keterbatasan
aparat yang belum terlatih, sehingga banyak korban kekerasan seksual yang minim
akan pendampingan.
Tentu ini bukan tugas pemerintah
saja untuk menekan kasus kekerasan seksual, tapi dalam hal ini peran seluruh
elemen masyarakat, serta institusi sangat dibutuhkan, kesadaran kolektif harus
di bentuk, lingkungan yang aman harus diciptakan agar kasus kekerasan seksual
tak lagi melonjak. Sudah saatnya kita bergerak, menutup luka-luka yang
menganga, darurat kekerasan seksual merupakan bentuk dari darurat kemanusiaan,
suara kita harus menggema sampai tidak ada ruang untuk berkompromi saat hak
asasi dirampas.
Penulis : Devika Nur Baiti
Posting Komentar