no fucking license
Bookmark

Bahaya Rezim Dalam Bayang-Bayang Fasisme

Gambar :  Madjid Fahdul Bahar 

"Di balik tarian pemimpin yang menghibur, tersembunyi langkah-langkah menuju senyapnya nalar dan sirnanya oposisi."

Indonesia hari ini tengah memasuki babak baru kekuasaan di bawah kendali Presiden Prabowo Subianto. Sejak dilantik, Prabowo menunjukkan sikap tegas dalam kebijakan dan gaya kepemimpinan. Namun, ketegasan tersebut kerap kali dibarengi dengan kontroversi dan tanda tanya besar tentang ideologi yang melandasi arah pemerintahannya. Apakah kepemimpinan ini masih berpijak pada nilai-nilai Pancasila, atau justru meluncur ke arah yang lebih otoriter? Jika dicermati lebih dalam, terdapat indikasi bahwa gaya politik Prabowo mengandung unsur-unsur yang selaras dengan karakteristik fasisme sebagaimana dikemukakan oleh Andrew Heywood.

 Dalam Political Ideologies: An Introduction, Heywood menjelaskan bahwa fasisme adalah ideologi yang bersifat otoriter, ultranasionalis, dan anti-demokrasi. Ciri-cirinya mencakup kultus individu terhadap pemimpin, glorifikasi masa lalu, nasionalisme ekstrem, anti-liberalisme, serta penolakan terhadap pluralisme politik. Fasisme tidak mengandalkan rasionalitas, melainkan lebih pada simbolisme, mitos, dan mobilisasi emosi massa melalui propaganda yang intensif.

Ciri-ciri tersebut mulai terlihat dalam sejumlah langkah dan strategi politik yang ditempuh oleh Rezim Prabowo. Salah satu bentuk paling menonjol adalah kultus individu dan populisme karismatik yang dibangun melalui pencitraan emosional di media sosial. Fenomena “Prabowo Gemoy”, sebagaimana dikaji oleh peneliti Italia Aurora Donzelli, menunjukkan bagaimana pemimpin yang sebelumnya dikenal keras dan militeristik, kini tampil lembut dan simpatik berkat bantuan teknologi kecerdasan buatan (Frensia.id, 11 Oktober 2024). Ini adalah wajah baru dari otoritarianisme populis: tetap represif dalam kebijakan, namun hadir dengan citra yang menggemaskan dan menghibur.

Tidak hanya itu, langkah simbolik yang dilakukan dalam pembekalan kabinet di Akademi Militer Magelang, di mana para menteri mengenakan seragam militer, memperkuat kesan militerisme yang mewarnai pemerintahan ini (Suara.com, 8 November 2024). Aksi tersebut tidak hanya menjadi nostalgia Orde Baru, tetapi juga menunjukkan pengabaian terhadap batas sipil-militer dalam sistem demokrasi. Dalam teori Heywood, ini adalah upaya menciptakan ikatan emosional berbasis simbolisme, bukan rasionalitas kebijakan.

Penggunaan media sosial untuk menampilkan sisi “manusiawi” Prabowo, seperti video berjoget atau interaksi ringan dengan staf, menjadi bentuk mobilisasi massa berbasis emosi (Kompasiana, 2024; Jambi Independent, 2024). Strategi ini mereduksi diskursus politik ke dalam bentuk hiburan visual, yang efektif menyentuh simpati publik namun berbahaya bagi ruang kritik rasional. Dalam banyak pidatonya, Prabowo juga kerap menampilkan retorika emosional dan anti-elit, seperti saat berteriak dan menggebrak meja, menyatakan dirinya “lebih baik hancur daripada rakyat menderita” (ResearchGate, 2019). Ini adalah politik afektif, yang memperkuat dikotomi “rakyat vs elit” tanpa memberikan penjelasan struktural yang rasional.

Tak kalah penting, kecenderungan fasis juga tampak dalam kebijakan penguatan militerisme. Pengesahan UU TNI pada Maret 2025 menjadi contoh bagaimana negara kembali membuka ruang bagi militer untuk masuk ke dalam kehidupan sipil secara lebih leluasa, sesuatu yang dianggap sebagai kemunduran demokrasi. Militer bukan lagi sekadar alat pertahanan, melainkan kembali menjadi aktor politiKK sebuah ciri khas rezim otoriter.

Gerak lain yang mencerminkan kecenderungan fasis adalah kooptasi terhadap oposisi. Rekonsiliasi pasca-Pilpres dan pembentukan koalisi gemuk menggerus fungsi oposisi dan mekanisme checks and balances yang menjadi pilar demokrasi. Dominasi ini memusatkan kekuasaan di tangan eksekutif, menciptakan sistem politik yang homogen dan tertutup terhadap perbedaan suara.

Secara keseluruhan, strategi komunikasi dan arah kebijakan pemerintahan Prabowo memperlihatkan bahwa politik saat ini tengah menjauh dari rasionalitas dan nilai-nilai demokrasi, dan justru mendekat pada praktik-praktik fasisme. Penekanan pada simbol, emosi, dan glorifikasi masa lalu, serta pencitraan pemimpin sebagai sosok tunggal penyelamat bangsa, selaras dengan pola-pola ideologis yang telah dijabarkan oleh Andrew Heywood.

Indonesia harus waspada. Demokrasi tidak hanya terancam oleh pelanggaran hukum atau represi fisik, tetapi juga oleh strategi halus yang membungkus otoritarianisme dalam citra populis yang manis dan memesona. Masyarakat sipil, intelektual, dan pers harus tetap kritis dalam membaca arah kekuasaan, agar bangsa ini tidak terjebak dalam ilusi kesejahteraan yang pada hakikatnya mengekang kebebasan dan menundukkan akal sehat.

 

Penulis : Madjid Fahdul Bahar 

Posting Komentar

Posting Komentar