Ada beberapa kecenderungan dalam pandangan masyarakat yang
terlampau berlebihan apalagi ketika membicarakan isu
seperti seksualitas dan ketika mendengar kata hijab, tentunya imajinasi
publik langsung tertuju hanya pada perempuan. Omon-omon soal
seks, yang dibicarakan pasti perempuan. Bicara soal hijab,
lagi-lagi persepsi awal pasti perempuan yang menjadi sorotan. Padahal, kata hijab
tidak melulu hanya terbatas soal perempuan saja tentunya juga berkaitan
dengan relasi antara laki-laki dan perempuan secara simultan.
Secara harfiah, kata hijab berasal dari bahasa Arab ḥajaba yang berarti
menutupi, menghalangi, atau membatasi. Dalam Al-Qur’an,
istilah hijab ini tidak semata-mata menunjuk pada pakaian, apalagi
sekadar kerudung atau kain yang dikenakan perempuan. Hijab adalah konsep yang
jauh lebih luas. Hijab juga bisa merujuk pada tirai yang memisahkan dua ruang atau pada
batas antara yang profan dan sakral, bahkan pada penghalang antara manusia dan
Tuhan (Baca : QS. Asy-Syura: 51).
Dengan kata lain, hijab tidak hanya melulu berada didalam ranah material
saja. Dalam konteks filsafat hijab ini, yang dipersoalkan bukan hanya apa
yang ditutup, tetapi mengapa kita menutupnya?, kepada
siapa?, dan dalam relasi seperti apa?. Karena dalam filsafat bagaimana hijab menjadi bagian
dari kesadaran eksistensial manusia, yakni tentang bagaimana
seseorang hadir di hadapan orang lain dengan tanggung jawab atas tubuh, niat,
dan pandangan.
Hijab tidak lagi berdiri sebagai objek tekstil belaka, tapi sebagai penanda relasi antara laki-laki dan perempuan, antara diri dan yang lain, antara ruang privat dan ruang sosial. Pertama, mari kita hadapi pertanyaan yang sering muncul: “Apakah memakai hijab lantas menjamin seorang perempuan aman dari gangguan laki-laki?”
Logika ini mustinya tidak berdiri kokoh.
Faktanya, masih banyak perempuan yang sudah berhijab masih
saja tetap mengalami pelecehan, bahkan dalam ruang-ruang yang mestinya
aman dan masih banyak berkelindan para penjahat kelamin di luar sana,
bahkan dimana pun itu. Lantas perempuan diminta supaya mengenakan hijab,
sebagai bagian dari mitigasi awal untuk menyiasati pandangan bajul-bajul yang
kelewat aktif rawan jurang.
Menutup mata pun tak ada gunanya jika imajinasi materil terus
berjalan. Seseorang bisa menutupi seluruh tubuh dengan lakban misalnya,
memakai cadar atau pembungkus lain misal. Sekalipun itu dilakukan,
tapi jika imajinasinya tidak ditahan, ya mbaduto ae dan itu
juga tidak menahan pandangan. Ini yang sering kali luput dari pemahaman bahwa
makna hijab tak bisa direduksi semata-mata pada aspek material saja.
Dan lagi-lagi kita seringkali luput ketika memandang hukum
terlalu memandang pada aspek material-nya saja, tanpa
melihat aspek filosofi di baliknya. Seolah-olah hijab adalah
beban bagi setiap perempuan, sedangkan dalam QS. An-Nisa 30-31 seakan Tuhan
langsung membisikkan kepada hamba-hamba sejolinya yang lucu-lucu dan imut itu
untuk menahan pandangan.
Maka jelas, bahwa hijab bukan hanya milik
perempuan saja. Hijab adalah konsep relasi. Ia adalah bentuk pembatasan
bersama, bukan hanya satu pihak. Jika perempuan menutup tubuh, tetapi laki-laki
tetap membuka pandangannya sembarangan, Jelas hijab tidak
terjadi. Kalau diurai secara rinci masalah ini sebenarnya terletak
pada konstruksi sosial. Ketika hijab disamakan dengan jilbab, persoalannya
bias. Karena Jilbab itu kain, sesuatu yang terlihat (Materil).
Tapi hijab dalam pandangan Islam adalah konsep yang
lebih menjurus kepada esensi dan struktur keseimbangan.
Lantas jika menyamakan hijab dengan jilbab dimana memahaminya
hanya dengan tafsir tunggal tentu kita sendiri yang menyempitkan konsep
hijab tak sekedar urusan pembungkus dan tentu perlu peta persoalan
yang jelas untuk hal ini dimana persoalan pertama adalah ketika hijab
dikaitkan semata-mata dengan perempuan sama halnya dengan bagaimana seks
seringkali hanya dikaitkan dengan tubuh perempuan, padahal seks dan
hijab sendiri adalah relasi, bukan semata objek
tunggal.
Misalnya, bagaimana sebagian orang tua merasa bangga karena anak
perempuannya yang baru berusia 10 bulan sudah dipakaikan jilbab, lalu berkata,
“Lihat, anak saya sudah pakai hijab.” Padahal, anak itu gurung
genep istilah jawanya atau belum memiliki kesadaran. Ia belum tahu
makna hijab. Maka, ia hanya menjadi objek bukan
subjek pasalnya, Hijab tidak bisa dipaksakan sebagai
kewajiban/aturan yang hanya membebani perempuan. Hijab itu hak. Kewajiban yang Allah
SWT titipkan, dan menjadi hak yang harus diambil secara sadar.
Setidaknya ada tiga bias besar dalam pemahaman masyarakat tentang hijab seperti yang pernah ditulis Murthada Mutahhari dalam bukunya Teologi dan Falsafah Hijab. Pertama, bias Perempuan sebagai Objek dimana Hijab hanya dibebankan pada perempuan, seolah-olah laki-laki tidak memiliki tanggung jawab yang sama. Kedua, bias Fisik-Materialistik dimana hijab direduksi menjadi urusan penutup tubuh, tanpa memedulikan dimensi akal dan relasi sosialnya. Ketiga, bias protektif sepihak dimana hijab hanya dijadikan sebagai alat proteksi dari ‘gangguan’ laki-laki, seolah perempuan harus melindungi diri mereka sendiri dari sistem yang tidak adil.
Apa itu relasi hijab?
Bisa saja kita istilahkan sebagai etika sosial, atau suatu kesadaran untuk saling menjaga kehormatan, menahan pandangan, menghormati batas, dan tidak menjadikan tubuh (materil) sekedar alat kuasa. Maka dari itu dari semua pemetaan ini, tugas menjaga masyarakat bukan hanya tugas perempuan saja, laki-laki juga punya kewajiban hijab (mengontrol) baik dalam pandangan, tindakan, dan imajinasi liarnya karena hijab sendiri pada dasarnya bukanlah kendala struktural yang membatasi ruang gerak perempuan. Karena hijab sendiri adalah sistem etika sosial yang memungkinkan perempuan dan laki-laki bekerja sama membangun masyarakat yang adil dan bermartabat.
Oleh : Fahmi Ayatullah
Posting Komentar