Islam moderat itu dominan di Indonesia, sudah barang tentu ketika ada kelompok “sempalan” dan aliran baru, kekuasaan akan menggandeng ulama-ulama kaum moderat untuk “menyingkirkan” mereka. Kepentingan elite kekuasaan itu untuk melanggengkan kekuasaan, sementara kelompok Islam moderat untuk mempertahankan dominasi
Manusia dituntut untuk senantiasa belajar dari apa pun. Terutama ketika mereka dihadapkan pada masalah hidup. Segala persoalan yang terjadi di bawah kolong langit, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus diselesaikan oleh manusia. Baik itu secara individual maupun komunal. Jadi, setiap manusia, niscaya akan bertemu dengan masalah, apalagi dalam kehidupan sosial yang begitu kompleks. Karena itulah, persoalan sosial tidak dapat diselesaikan hanya dengan “jari telunjuk” seorang nabi, raja, rabi, atau guru moral semata. Orang-orang “pilihan” tersebut tetap membutuhkan bala bantuan orang lain untuk menyelesaikan persoalan sosial.
Adalah sesuatu yang irasional, jika kita meyakini bahwa masalah kesenjangan kelas bisa diselesaikan dengan sabda seorang nabi; kerusakan alam bisa rampung hanya dengan sabda pandhita ratu; kelaparan dan stunting bisa selesai dengan membaca ayat-ayat suci; penindasan sistemik mampu dihancurkan hanya dengan mengatakan “Tuhan telah mati!”; dan lain sebagainya. Sungguh, cara pandang semacam itu perlu kita tanggalkan, dan seyogianya sudah kita gugat sejak dalam pikiran. Namun, upaya menggugat dan upaya keluar dari “tradisi” pemikiran itu menjadi terhambat karena ketidakberanian kita melakukannya. Paling banter, selama ini, kita hanya berani menggugat cara pandang itu dalam wilayah diskursus—yang terjebak ke dalam kritik dhahiriyah.
Di Indonesia, sudah mafhum, agama Islam mendapatkan tempat yang istimewa (mulia). Berbagai kelompok Islam (pemikiran dan gerakan) tumbuh subur. Bahkan, satu benih Islam ditancapkan di hamparan tanah Indonesia mampu menghasilkan buah-buah pemikiran dan gerakan yang “warna-warni”. Kita dapat melihat, misalnya, bagaimana MB. Hooker (2002) menyebutkan beberapa tipologi Islam di Indonesia ketika mengkaji fatwa-fatwa dari empat organisasi Islam (Persis, Muhammadiyah, NU, dan MUI): Islam Tradisionalis, Islam Modernis, Islam Konservatif, Islam Fundamentalis, Islam Liberal, Islam Rasional, Islam Pribumi, dan Islam Praktis.[1]
Diversitas wacana (pemikiran dan gerakan) Islam di Indonesia tersebut merupakan konsekuensi logis jika melihat sistem dan nilai yang menjadi pijakan masyarakat ialah demokrasi. Sebagaimana yang dikemukakan Fazlur Rahman (1982), bahwa hanya penafsiran Islam demokratis-lah yang dapat berkembang di Indonesia. Secara tegas ia mengatakan: “The Indonesian people are themselves a democratic people by temperament, and only a genuinely democratic interpretation of Islam can succeed there”.[2] Maka tak ayal, jika paradigma dan gerakan ekstremis-radikal (fundamentalis) yang berusaha menyeragamkan penafsiran terhadap doktrin dan hukum Islam di Indonesia tidak “laku”.[3] Alih-alih menyatukan, justru terjerumus ke dalam lubang “pembekuan” interpretatif.
Salah satu aliran, atau kelompok Islam yang dianggap demokratis dan memiliki massa yang begitu banyak ialah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja). Sejak awal, memang Aswaja ini diterima secara terbuka oleh masyarakat Indonesia karena “kelembutan” dan sifatnya yang fleksibel. Sejauh ini, masyarakat memiliki anggapan, bahwa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi dua organisasi besar yang menjadi representasi dan pengawal Islam Aswaja itu—meski kedua Ormas ini dalam persoalan furu’iyyah berbeda. Dan kedua organisasi ini mempunyai massa yang banyak ketimbang organisasi lain, seperti Persis, LDII, dan seterusnya. Oleh karena itu, tidak heran jika Islam Aswaja menjadi dominan di Indonesia. Kemudian, ciri khas Islam Aswaja ini adalah perspektif yang digunakan bersifat moderat, proporsional, dan tidak ekstrem kanan-kiri. Sehingga, nalar masyarakat Islam Aswaja tampak sekali bernuansa moderatis dan non-ekstremis.
Dari topik itulah, ulasan ini hendak membahas seputar kerangka epistemik, tujuan, dan dampak yang timbul dari penggunaan “nalar moderat” tersebut dengan melihat bagaimana masyarakat Islam Moderat (Aswaja) menggunakannya ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan yang terjadi saat ini.
Memahami Nalar Aswaja: Manhaj al-Fikr wa al-Harakah
Mendengar kata “moderat”, barangkali di benak kita akan muncul satu nama organisasi masyarakat (Ormas) di Indonesia yang memiliki basis massa terbesar, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Namun bukan berarti segala hal yang berkaitan dengan Ahlussunnah wal Jamaah itu lantas merujuk pada NU. Tentu hal itu merupakan pandangan yang simplistik—menyederhakan persoalan. Hanya saja, berbicara tentang “nalar moderat” ini, saya memosisikan NU sebagai “garda” terdepan dalam mengembangkan cara berpikir tersebut.
Berkenaan dengan mazhab Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang kemudian dipegang dan dikembangkan oleh warga Nahdliyin itu, kita dapat melacak definisi yang dikemukakan oleh salah seorang pendiri sekaligus Rais Akbar NU, KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi NU. Kiai Hasyim mendefinisikan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai golongan yang mengikuti salah satu dari dua imam: Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam bidang aqidah; mengikuti salah satu mazhab empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad as-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal) dalam bidang fikih; mengikuti salah satu dari dua imam: Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dalam bidang akhlak-tasawuf.[4]
Dari maqolah Kiai Hasyim itu, kemudian dikembangkan oleh KH. Achmad Siddiq dalam al-Fikrah an-Nahdliyah (1992). Pedoman berpikir warga Nahdliyin, menurut Kiai Achmad Siddiq, harus berlandaskan pada “lima dalil perjuangan” dan “lima dalil hukum”. Pertama, lima dalil perjuangan itu meliputi: Jihad fi Sabilillah, ‘Izzul Islam wal Muslimin, at-Tawasuth (moderat)/al-I’tidal (tegak lurus)/at-Tawazun (harmoni), Saddudz-dzari’ah (waspada), dan Amar Ma’ruf-Nahi Munkar. Sedangkan, kedua, lima dalil hukum meliputi: segala sesuatu dinilai dari niat, bahaya harus disingkirkan, adat-kebiasaan dikukuhkan, sesuatu yang sudah yakin tidak boleh dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, dan kesukaran (kemasyakatan) membuka kelonggaran.[5]
Kedua dalil yang disebutkan di atas merupakan usaha Kiai Achmad Siddiq dalam rangka “menjaga” dari dinamika zaman kala itu yang dapat membahayakan masyarakat NU, seperti Westernisasi-Modernisasi yang sudah merambah pada wilayah kultural, dan paham Materialisme-Marxisme-Komunisme dalam bidang filsafat, politik, dan ekonomi.[6] Sehingga, dari alasan ini, kita dapat memahami maksud dan tujuan Kiai Achmad Siddiq sebagai tindakan defensif (defensive action) untuk menampik “ideologi” dari luar.
Perumusan yang dilakukan Kiai Achmad Siddiq itu kemudian dilanjutkan, dan menemukan momentum yang memadai, oleh KH. Said Aqil Siraj. Setelah Kiai Said Aqil Siraj kembali ke Indonesia (yang sebelumnya studi di Mekkah), ia menjadi sorotan kaum Nahdliyin (ulama) lantaran “gebrakan” intelektual yang ia lakukan: merekonstruksi paham Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah di internal NU. Secara terbuka Kiai Said mengatakan, bahwa Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja) adalah “orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran”.[7]
Bagi Kiai Said, Aswaja merupakan metode berpikir (manhaj al-Fikr) tertentu yang dikembangkan atau digariskan oleh para sahabat dan generasi selanjutnya yang mempunyai intelektualitas tinggi dan relatif netral terhadap situasi politik saat itu.[8] Cara berpikir itu memiliki sifat-sifat dasar yang menjadi ciri khas: moderat (tawasuth), netral (tawazun), seimbang (ta’adul), dan toleran (tasamuh). Sifat moderat Aswaja dapat ditemukan, misalnya, dalam model pengambilan hukum (istinbath) yang tidak menggunakan nash (teks) belaka, melainkan juga tetap memperhatikan posisi akal. Hal itu juga dapat kita jumpai dalam wacana pemikiran yang berusaha mendialogkan antara wahyu dan rasio.
Sedangkan sifat netral itu lebih berkaitan dalam wilayah politik. Kelompok Aswaja tidak membenarkan ekstremisme, dan mereka tetap menjaga jarak ketika dihadapkan pada penguasa yang zalim. Artinya, pada saat-saat tertentu mereka bisa akomodatif, namun terkadang bisa lebih dari itu—meski tetap dalam batas tawazun. Kemudian sifat keseimbangan (ta’adul) kaum Aswaja ini bisa kita lihat pada kontribusi mereka dalam kehidupan sosial, dan cara mereka memandang kondisi sosial serta kebudayaan masyarakat.
Bagi Kiai Said, Aswaja merupakan metode berpikir (manhaj al-Fikr) tertentu yang dikembangkan atau digariskan oleh para sahabat dan generasi selanjutnya yang mempunyai intelektualitas tinggi dan relatif netral terhadap situasi politik saat itu.[8] Cara berpikir itu memiliki sifat-sifat dasar yang menjadi ciri khas: moderat (tawasuth), netral (tawazun), seimbang (ta’adul), dan toleran (tasamuh). Sifat moderat Aswaja dapat ditemukan, misalnya, dalam model pengambilan hukum (istinbath) yang tidak menggunakan nash (teks) belaka, melainkan juga tetap memperhatikan posisi akal. Hal itu juga dapat kita jumpai dalam wacana pemikiran yang berusaha mendialogkan antara wahyu dan rasio.
Sedangkan sifat netral itu lebih berkaitan dalam wilayah politik. Kelompok Aswaja tidak membenarkan ekstremisme, dan mereka tetap menjaga jarak ketika dihadapkan pada penguasa yang zalim. Artinya, pada saat-saat tertentu mereka bisa akomodatif, namun terkadang bisa lebih dari itu—meski tetap dalam batas tawazun. Kemudian sifat keseimbangan (ta’adul) kaum Aswaja ini bisa kita lihat pada kontribusi mereka dalam kehidupan sosial, dan cara mereka memandang kondisi sosial serta kebudayaan masyarakat.
Demikian juga mengenai sikap toleran kaum Aswaja. Mereka tidak ujug-ujug mengkafirkan, menyalahkan, atau “menerakakan” sesama Muslim, dan menghargai “perbedaan” antar-umat beragama.[9] Selain keempat nilai-nilai itu, kemudian ditambahkan amar makruf-nahi munkar. Nilai ini dianggap perlu untuk mendorong berbuat baik dan manfaat serta mencegah segala hal yang berpotensi menginjak-injak stabilitas kehidupan sosial.[10]
Kemudian Aswaja sebagai manhaj al-Fikr itu dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa intelektual NU, dan menempatkan Aswaja tidak hanya sebagai metode berpikir semata, melainkan juga metode atau landasan bergerak (manhaj al-Harakah).[11] Pengembangan ini dilakukan untuk memberikan pengaruh terhadap transformasi sosial, dan dengan dapat menjadi spirit gerakan sosial kaum Nahdliyin, baik dilakukan secara individu maupun kolektif. Sebagai individu, nilai-nilai Aswaja tersebut diaktualisikan dalam bersikap, berinteraksi, dan lain-lain. Sementara sebagai gerakan kolektif, nilai-nilai Aswaja dapat diwujudkan dalam gerakan membela masyarakat marginal, membela hak-hak masyarakat yang dirampas oleh kaum borjuis, menjaga ekosistem lingkungan, dan gerakan sosial lainnya.
Dengan demikian, kita dapat memahami nalar kaum Aswaja itu dengan mendasarkan pada empat nilai atau sifat di atas, yakni moderat, netral, seimbang, dan toleran. Nilai-nilai inilah yang menjadi prinsip fundamental orang-orang yang mengklaim diri sebagai kaum Aswaja, terutama di kalangan NU. Sehingga terang bagi kita, bahwa mayoritas kaum Nahdliyin itu memandang Aswaja sebagai mazhab dan manhaj. Yang pertama lebih bersifat teologis (aqidah), sedang yang kedua berada dalam dua wilayah: pemikiran dan gerakan. Kemudian nilai-nilai Aswaja tersebut berusaha mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kemaslahatan umum, keharmonisan, serta untuk kemuliaan Islam dan Muslim (izzul-Islam wa al-Muslimin).
Kritik Moderatisme Islam: Kaum Aswaja yang Tergelincir
Kiranya perlu menjelaskan lebih dulu apa yang saya sebut “moderatisme Islam” ini agar, setidaknya, pembaca dapat memahami objek kritik tulisan ini. Ada dua kata dalam istilah ini: moderatisme dan Islam. Istilah moderatisme dibagi lagi menjadi dua, yakni “moderat” dan “isme”. Moderat kerap dipahami sebagai sikap atau tindakan yang berada di “jalan tengah”, seimbang, tidak berlebihan, dan non-ekstrem. Sementara isme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berda-sarkan politik, sosial, atau ekonomi: terorisme; liberalisme; komunisme”.[12] Oleh karena itu, kata isme berkaitan dengan “ideologi”.
Selama ini kata “ideologi” tidak memiliki definisi tunggal. Setiap ideolog mempunyai makna dan pemahaman yang berbeda tentang istilah itu. Meski begitu, ideologi galib dipahami ke dalam dua kutub: positif dan negatif. Dalam makna positif, “ideologi” adalah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu, atau sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, sosial, dan seterusnya. Makna ideologi secara positif ini dikemukakan, misalnya, oleh Raymond Williams. Sedang dalam makna negatif, ia merupakan sebuah sistem kesadaran palsu yang dibuat oleh kelompok tertentu untuk menguasai kelompok lain, atau bisa juga dimaknai sebagai sistem yang dibuat untuk menutupi realitas yang sesungguhnya.[13] Makna negatif ini bisa kita jumpai dalam pandangan Marx dan Engels.
Kemudian kata “Islam”, secara etimologis, berarti tunduk, patuh, pasrah, beserah diri, dan damai. Sehingga pola dasar dan corak doktrin Islam ialah perintah Tuhan untuk mewujudkan perdamaian dan keharmonisan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Setiap Muslim “wajib” mewujudkan visi-misi Islam itu. Secara teologis, Islam sama sekali tidak mengajarkan terorisme atau brutalisme dalam segala hal. Islam juga tidak memuat ajaran yang justru “melukai” orang lain yang berbeda. Bahkan, Islam menganjurkan menghargai (toleran) kepada umat agama lain.[14] Dengan demikian, Islam adalah “agama rahmat” dan “agama kebajikan” yang berusaha memberikan seabrek solusi atas persoalan kemanusiaan. Sebagai seorang Muslim, tentu menjadi tanggung jawab kita untuk mewujudkan hal tersebut.
Namun, kita harus membedakan antara doktrin Islam dan tindakan Muslim. Kedua hal ini jelas berbeda, sebab ajaran dan nilai-nilai Islam sering kali diterjemahkan secara beragam oleh komunitas Muslim tertentu. Satu Islam, beragam jalan. Demikian juga dalam konteks pembahasan kita: Aswaja. Konsep ajaran, nilai, dan metodologi Aswaja mengandung seruan dalam kebajikan, membela yang lemah, dan mencegah kemungkaran. Ia terkadang akan sangat berbeda ketika diaktualisasikan dalam realitas sosial oleh masing-masing individu dan kelompok.
Dari ulasan tentang ketiga term di atas, kita dapat memahami bahwa moderatisme Islam itu merujuk pada kelompok ideologis Muslim yang menampakkan diri sebagai kaum moderat dan dalam wacana pemikiran serta gerakan berpijak pada nalar Aswaja. Secara ideologis, Aswaja itu bisa dimaknai secara positif dan negatif pula. Aswaja, dalam makna positif, adalah pijakan nilai dan perangkat yang dipakai umat Islam untuk memandang kehidupan dan memecahkan masalah.
Kemudian Aswaja sebagai manhaj al-Fikr itu dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa intelektual NU, dan menempatkan Aswaja tidak hanya sebagai metode berpikir semata, melainkan juga metode atau landasan bergerak (manhaj al-Harakah).[11] Pengembangan ini dilakukan untuk memberikan pengaruh terhadap transformasi sosial, dan dengan dapat menjadi spirit gerakan sosial kaum Nahdliyin, baik dilakukan secara individu maupun kolektif. Sebagai individu, nilai-nilai Aswaja tersebut diaktualisikan dalam bersikap, berinteraksi, dan lain-lain. Sementara sebagai gerakan kolektif, nilai-nilai Aswaja dapat diwujudkan dalam gerakan membela masyarakat marginal, membela hak-hak masyarakat yang dirampas oleh kaum borjuis, menjaga ekosistem lingkungan, dan gerakan sosial lainnya.
Dengan demikian, kita dapat memahami nalar kaum Aswaja itu dengan mendasarkan pada empat nilai atau sifat di atas, yakni moderat, netral, seimbang, dan toleran. Nilai-nilai inilah yang menjadi prinsip fundamental orang-orang yang mengklaim diri sebagai kaum Aswaja, terutama di kalangan NU. Sehingga terang bagi kita, bahwa mayoritas kaum Nahdliyin itu memandang Aswaja sebagai mazhab dan manhaj. Yang pertama lebih bersifat teologis (aqidah), sedang yang kedua berada dalam dua wilayah: pemikiran dan gerakan. Kemudian nilai-nilai Aswaja tersebut berusaha mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kemaslahatan umum, keharmonisan, serta untuk kemuliaan Islam dan Muslim (izzul-Islam wa al-Muslimin).
Kritik Moderatisme Islam: Kaum Aswaja yang Tergelincir
Kiranya perlu menjelaskan lebih dulu apa yang saya sebut “moderatisme Islam” ini agar, setidaknya, pembaca dapat memahami objek kritik tulisan ini. Ada dua kata dalam istilah ini: moderatisme dan Islam. Istilah moderatisme dibagi lagi menjadi dua, yakni “moderat” dan “isme”. Moderat kerap dipahami sebagai sikap atau tindakan yang berada di “jalan tengah”, seimbang, tidak berlebihan, dan non-ekstrem. Sementara isme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berda-sarkan politik, sosial, atau ekonomi: terorisme; liberalisme; komunisme”.[12] Oleh karena itu, kata isme berkaitan dengan “ideologi”.
Selama ini kata “ideologi” tidak memiliki definisi tunggal. Setiap ideolog mempunyai makna dan pemahaman yang berbeda tentang istilah itu. Meski begitu, ideologi galib dipahami ke dalam dua kutub: positif dan negatif. Dalam makna positif, “ideologi” adalah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu, atau sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, sosial, dan seterusnya. Makna ideologi secara positif ini dikemukakan, misalnya, oleh Raymond Williams. Sedang dalam makna negatif, ia merupakan sebuah sistem kesadaran palsu yang dibuat oleh kelompok tertentu untuk menguasai kelompok lain, atau bisa juga dimaknai sebagai sistem yang dibuat untuk menutupi realitas yang sesungguhnya.[13] Makna negatif ini bisa kita jumpai dalam pandangan Marx dan Engels.
Kemudian kata “Islam”, secara etimologis, berarti tunduk, patuh, pasrah, beserah diri, dan damai. Sehingga pola dasar dan corak doktrin Islam ialah perintah Tuhan untuk mewujudkan perdamaian dan keharmonisan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Setiap Muslim “wajib” mewujudkan visi-misi Islam itu. Secara teologis, Islam sama sekali tidak mengajarkan terorisme atau brutalisme dalam segala hal. Islam juga tidak memuat ajaran yang justru “melukai” orang lain yang berbeda. Bahkan, Islam menganjurkan menghargai (toleran) kepada umat agama lain.[14] Dengan demikian, Islam adalah “agama rahmat” dan “agama kebajikan” yang berusaha memberikan seabrek solusi atas persoalan kemanusiaan. Sebagai seorang Muslim, tentu menjadi tanggung jawab kita untuk mewujudkan hal tersebut.
Namun, kita harus membedakan antara doktrin Islam dan tindakan Muslim. Kedua hal ini jelas berbeda, sebab ajaran dan nilai-nilai Islam sering kali diterjemahkan secara beragam oleh komunitas Muslim tertentu. Satu Islam, beragam jalan. Demikian juga dalam konteks pembahasan kita: Aswaja. Konsep ajaran, nilai, dan metodologi Aswaja mengandung seruan dalam kebajikan, membela yang lemah, dan mencegah kemungkaran. Ia terkadang akan sangat berbeda ketika diaktualisasikan dalam realitas sosial oleh masing-masing individu dan kelompok.
Dari ulasan tentang ketiga term di atas, kita dapat memahami bahwa moderatisme Islam itu merujuk pada kelompok ideologis Muslim yang menampakkan diri sebagai kaum moderat dan dalam wacana pemikiran serta gerakan berpijak pada nalar Aswaja. Secara ideologis, Aswaja itu bisa dimaknai secara positif dan negatif pula. Aswaja, dalam makna positif, adalah pijakan nilai dan perangkat yang dipakai umat Islam untuk memandang kehidupan dan memecahkan masalah.
Sementara, Aswaja dalam arti negatif, adalah sistem ideologis yang menjadi kesadaran palsu, atau menenggelamkan umat Islam ke dalam samudera “ekstremisme”. Sehingga, dalam tulisan ini, apa yang akan digugat ialah pemahaman dan tindakan kaum Aswaja yang belakangan mengalami bias, atau telah keluar dari pedoman mereka. Maka dari itu, apa yang saya sebut sebagai “moderatisme Islam” adalah kelompok Muslim Indonesia yang terjebak ke dalam lingkaran “moderatisme”, sehingga menjelma sebagai “ekstrem kanan”.
Keterkungkungan kelompok moderatisme Islam itu dapat kita lihat dalam tindakan yang dilakukan, salah satunya, warga Nahdliyin.[15] Memang, sejak awal, Aswaja ini menjadi diskursus sentral di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, khususnya. Tapi, konteks mereka dengan kita saat ini jelas tidak bisa disamakan. Oleh karena itu, penting melakukan pembacaan terhadap hal itu dengan mempertimbangkan konteks yang terjadi saat ini. Beberapa hal yang saya soroti mengenai kelompok moderatisme Islam itu, antara lain:
Pertama, sikap moderat. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, Nahdliyin memiliki pedoman berpikir dan bergerak bernama “Aswaja”. Pemikiran Aswaja yang dominan di kalangan NU ialah konsep yang dikembangkan oleh Imam Abu Hasan Al-Asya’ri. Jika kita menengok sejarah, pemikiran Imam Al-Asy’ari ini berada di posisi “tengah-tengah” atau sintesis di antara ketegangan dialektis rasionalisme Mu’tazilah dan tradisionalisme tekstual Salafiyyah.
Keterkungkungan kelompok moderatisme Islam itu dapat kita lihat dalam tindakan yang dilakukan, salah satunya, warga Nahdliyin.[15] Memang, sejak awal, Aswaja ini menjadi diskursus sentral di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, khususnya. Tapi, konteks mereka dengan kita saat ini jelas tidak bisa disamakan. Oleh karena itu, penting melakukan pembacaan terhadap hal itu dengan mempertimbangkan konteks yang terjadi saat ini. Beberapa hal yang saya soroti mengenai kelompok moderatisme Islam itu, antara lain:
Pertama, sikap moderat. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, Nahdliyin memiliki pedoman berpikir dan bergerak bernama “Aswaja”. Pemikiran Aswaja yang dominan di kalangan NU ialah konsep yang dikembangkan oleh Imam Abu Hasan Al-Asya’ri. Jika kita menengok sejarah, pemikiran Imam Al-Asy’ari ini berada di posisi “tengah-tengah” atau sintesis di antara ketegangan dialektis rasionalisme Mu’tazilah dan tradisionalisme tekstual Salafiyyah.
Dalam analisis yang dilakukan Wardani (2003), konsep Aswaja itu mengandung inkonsistensi dan paradoks. Misalnya, mengenai konsep kasb (usaha). Konsep ini, menurut Wardani, cenderung mengarah pada sikap “fatalisme” (jabariyyah).[16] Konsekuensi dari sikap fatalis (pasif) itu, secara implisit, akan menguntungkan pihak-pihak tertentu (seperti kekuasaan dan kelompok mapan).
Kemudian, jika kita menelaah lebih jauh sikap moderat yang senantiasa digaungkan oleh kaum Aswaja itu, secara politis mereka akan tergelincir ke dalam sikap akomodatif, kompromistik, dan bahkan oportunistik. Misalnya, ketika terdapat fenomena antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Secara umum, mereka akan mengambil jalur “tengah” yang tidak memihak salah satu pihak—untuk tidak menyebut “main aman”. Kecenderungan sikap moderat ini, menurut saya, perlu dibaca kembali. Apa itu moderat? Bagaimana menjalankan sikap moderat itu? Apakah ada batasan mengenai kemoderatan?
Kita ambil contoh di tingkat elite NU: penerimaan konsensi tambang (dari pemerintah) PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya.[17] Selain itu, fenomena yang paling “parah” adalah pembelaan Gus Ulil (Ketua PBNU) terhadap aktivitas pertambangan dan menyebut aktivis lingkungan sebagai “Wahabi Lingkungan”.[18] Kemudian, model “atraksi” yang dilakukan kalangan elite PBNU itu merambah ke struktur bawah, di tingkat Cabang (PCNU) misalnya.[19] Alih-alih mengambil posisi dan keputusan “moderat”, apa yang terjadi justru menguntungkan pihak tertentu.
Padahal, tanggung jawab NU sebagai organisasi sosial-keagamaan ialah mewujudkan kemaslahatan umat manusia, wabil khusus warga NU. Jika menengok basis massa NU di pedesaan, kita akan menemukan para petani, buruh, nelayan, dan pedagang kecil. Mereka itu adalah basis massa NU yang perlu disejahterakan. Adalah hal yang aneh jika kebijakan-kebijakan elite NU (yang mengaku sebagai “garda terdepan” kelompok Islam Aswaja) sama sekali tidak berpijak pada realitas basis massa yang dimiliki.
Kemudian, jika kita menelaah lebih jauh sikap moderat yang senantiasa digaungkan oleh kaum Aswaja itu, secara politis mereka akan tergelincir ke dalam sikap akomodatif, kompromistik, dan bahkan oportunistik. Misalnya, ketika terdapat fenomena antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Secara umum, mereka akan mengambil jalur “tengah” yang tidak memihak salah satu pihak—untuk tidak menyebut “main aman”. Kecenderungan sikap moderat ini, menurut saya, perlu dibaca kembali. Apa itu moderat? Bagaimana menjalankan sikap moderat itu? Apakah ada batasan mengenai kemoderatan?
Kita ambil contoh di tingkat elite NU: penerimaan konsensi tambang (dari pemerintah) PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya.[17] Selain itu, fenomena yang paling “parah” adalah pembelaan Gus Ulil (Ketua PBNU) terhadap aktivitas pertambangan dan menyebut aktivis lingkungan sebagai “Wahabi Lingkungan”.[18] Kemudian, model “atraksi” yang dilakukan kalangan elite PBNU itu merambah ke struktur bawah, di tingkat Cabang (PCNU) misalnya.[19] Alih-alih mengambil posisi dan keputusan “moderat”, apa yang terjadi justru menguntungkan pihak tertentu.
Padahal, tanggung jawab NU sebagai organisasi sosial-keagamaan ialah mewujudkan kemaslahatan umat manusia, wabil khusus warga NU. Jika menengok basis massa NU di pedesaan, kita akan menemukan para petani, buruh, nelayan, dan pedagang kecil. Mereka itu adalah basis massa NU yang perlu disejahterakan. Adalah hal yang aneh jika kebijakan-kebijakan elite NU (yang mengaku sebagai “garda terdepan” kelompok Islam Aswaja) sama sekali tidak berpijak pada realitas basis massa yang dimiliki.
Kita malah disuguhi “akrobat” elite NU yang hanya berkutat pada wilayah politik praktis, tambang-tambangan, dan lain-lain. Mereka seolah menutup mata dan telinga, ketika masyarakat Desa Sumberagung, Banyuwangi terancam “kutukan sumber daya alam” akibat aktivitas pertambangan (Tumpang Pitu dan Salakan). Mereka seolah apatis dengan kondisi yang akan dialami oleh masyarakat Papua akibat pertambangan nikel di Raja Ampat. Mereka seakan “bodo amat” dengan apa yang saat ini dialami oleh masyarakat pinggiran di kota-kota maupun di desa-desa.
Fenomena semacam itu, jika kita membaca secara cermat, disebabkan oleh penggunaan “nalar moderat” yang kemudian menelurkan sikap akomodatif, kompromistis, oportunistik, dan bahkan fatalistik. Ketika masalah datang melanda, nalar moderat akan berusaha meletakkan masalah itu secara “proporsional”. Mereka yang menggunakan nalar tersebut, tidak memiliki cukup keberanian untuk mengambil sikap determinis. Alhasil, kaum Aswaja yang menggunakan nalar moderat itu cenderung lebih hati-hati dalam mengambil keputusan, agar “terlihat” tidak terjerumus ke dalam ekstremisme, baik ke kanan maupun ke kiri. Setelah masalah itu dibaca melalui lanskap Aswaja, maka mereka akan mengambil keputusan yang dianggap “tengah-tengah” atau moderat. Tentu, mereka juga mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan.
Hanya fokus pada persoalan “tengah-tengah” semacam itu, menurut saya, adalah tindakan yang belum menyentuh pokok persoalan—untuk tidak mengatakan “tertipu”. Ada dua hal yang perlu kita telaah kembali: pertama, lebih fokus pada manhaj daripada penyelesaian masalah; kedua, tidak mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari nalar tersebut. Pada persoalan yang pertama, kaum moderat terjebak ke dalam “formalisme” metodologis. Mereka hanya fokus pada ketepatan nalar, daripada menyelesaikan masalah yang dihadapi. Mempertimbangkan nilai-nilai moderat, keseimbangan, dan toleransi memang penting dilakukan. Namun, terus berkutat dalam masalah itu, hemat saya, adalah “ketertipuan” yang nyata.
Sebab, manhaj Aswaja itu hanyalah “jalan” untuk menyelesaikan masalah. Metode adalah sarana untuk mempermudah kita melakukan pembacaan terhadap masalah, bukan malah sibuk berkecimpung dalam wilayah metodologis. Dengan kata lain, kehati-hatian dalam menerapkan manhaj Aswaja seperti mementingkan bacaan Al-Qur’an (formal) daripada makna yang terkandung di dalamnya (susbtansi).
Fenomena semacam itu, jika kita membaca secara cermat, disebabkan oleh penggunaan “nalar moderat” yang kemudian menelurkan sikap akomodatif, kompromistis, oportunistik, dan bahkan fatalistik. Ketika masalah datang melanda, nalar moderat akan berusaha meletakkan masalah itu secara “proporsional”. Mereka yang menggunakan nalar tersebut, tidak memiliki cukup keberanian untuk mengambil sikap determinis. Alhasil, kaum Aswaja yang menggunakan nalar moderat itu cenderung lebih hati-hati dalam mengambil keputusan, agar “terlihat” tidak terjerumus ke dalam ekstremisme, baik ke kanan maupun ke kiri. Setelah masalah itu dibaca melalui lanskap Aswaja, maka mereka akan mengambil keputusan yang dianggap “tengah-tengah” atau moderat. Tentu, mereka juga mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan.
Hanya fokus pada persoalan “tengah-tengah” semacam itu, menurut saya, adalah tindakan yang belum menyentuh pokok persoalan—untuk tidak mengatakan “tertipu”. Ada dua hal yang perlu kita telaah kembali: pertama, lebih fokus pada manhaj daripada penyelesaian masalah; kedua, tidak mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari nalar tersebut. Pada persoalan yang pertama, kaum moderat terjebak ke dalam “formalisme” metodologis. Mereka hanya fokus pada ketepatan nalar, daripada menyelesaikan masalah yang dihadapi. Mempertimbangkan nilai-nilai moderat, keseimbangan, dan toleransi memang penting dilakukan. Namun, terus berkutat dalam masalah itu, hemat saya, adalah “ketertipuan” yang nyata.
Sebab, manhaj Aswaja itu hanyalah “jalan” untuk menyelesaikan masalah. Metode adalah sarana untuk mempermudah kita melakukan pembacaan terhadap masalah, bukan malah sibuk berkecimpung dalam wilayah metodologis. Dengan kata lain, kehati-hatian dalam menerapkan manhaj Aswaja seperti mementingkan bacaan Al-Qur’an (formal) daripada makna yang terkandung di dalamnya (susbtansi).
Kemudian, mengenai persoalan yang kedua, mereka yang mengaku kaum Aswaja, selain lebih fokus dalam masalah metodologis, juga kurang begitu memperhatikan efek dari nalar yang mereka gunakan. Selama ini, mereka kurang memperhatikan dampak dari konklusi penalaran dan tindakan mereka. Misalnya, keputusan yang dianggap “moderat” itu tidak memberikan efek yang menguntungkan bagi masyarakat marginal. Justru sebaliknya, kesimpulan-kesimpulan mereka cenderung menguntungkan kekuasaan dan kelompok mapan (borjuis).
Hal semacam itu dapat kita lihat bagaimana PBNU menerima konsensi tambang; pembelaan Gus Ulil terhadap praktik pertambangan; elite NU yang sibuk bermain politik praktis; perselingkuhan kiai dan kekuasaan; dan seterusnya. Di level permukaan mereka memang mengatakan demi “kemaslahatan umat”, namun efek dari keputusan dan tindakan yang mereka lakukan justru membela kelompok mapan dan bahkan mempertahankan status quo. Demikianlah efek nalar moderat yang selama ini digaung-gaungkan oleh kaum moderat itu.
Kedua, keseimbangan “semu”. Konsep ini juga terkadang disebut “netral”. Ketika terjadi fenomena ekstremisme agama, misalnya, kaum moderat lebih memilih jalur tengah. Mereka berusaha menyeimbangkan antara dua kutub yang saling berlawanan. Sebagaimana Imam al-Asy’ari yang bermaksud melerai pertengkaran teologis antara Jabariyyah dan Qadariyyah. Mereka tidak berada di posisi ekstrem kanan atau kiri. Mereka selalu berusaha berada di posisi “moderat” dan menyeimbangkan dua kubu yang saling menegasi.
Memfokuskan diri untuk meraih keseimbangan itu adalah sesuatu yang mustahil, sebab secara faktual kita tidak akan pernah mencapai keseimbangan. Berusaha untuk seimbang, saya masih sepakat. Namun, melakukan sesuatu agar menghasilkan sebuah keseimbangan, adalah tujuan yang sia-sia. Lebih jauh, mereka yang mengaku telah mampu “menyeimbangkan” dua kutub esktrem, sebenarnya “memihak” ke salah satu kutub.
Misalnya, ketika terjadi perseteruan antara kaum revolusioner dan kaum konservatif di Indonesia. Kelompok revolusioner menginginkan revolusi besar-besaran, sementara kelompok yang lain ingin mempertahankan keutuhan NKRI. Dari kasus ini, keputusan kaum moderat akan cenderung memihak kepada kelompok konservatif—dengan sederet dalil 'aql dan naql. Karena, bagi kaum moderat, masih ada jalan alternatif selain revolusi. Sikap semacam inilah yang menjadi ciri khas kaum moderat.
Padahal, melihat konteks saat ini, negara sudah “gawat”. Penindasan di mana-mana, marginalisasi menjadi tradisi kekuasaan yang tidak dapat dibendung, dan ancaman global semakin nyata. Namun, sekali lagi, menurut kaum moderat, kerusakan yang terjadi di Indonesia saat ini masih bisa diatasi dengan cara-cara yang akomodatif dan “ramah”. Dengan demikian, dalam hal ini, kaum moderat itu “memihak” kepada status quo, kemapanan, dan dominasi kekuasaan. Hal ini bisa kita amati dari hasil pemikiran dan tindakan yang mereka lakukan. Oleh karena itu, menurut saya, keseimbangan yang mereka gembar-gemborkan itu bersifat “semu”.
Ketiga, relasi Islam moderat dan kekuasaan. Kaum moderat, dengan sikap politik yang akomodatif, kompromis, dan oportunis, akan memberikan dampak yang serius dalam kehidupan kita. Sebagian besar dari mereka masih menggunakan pendekatan khusnudzan kepada kekuasaan yang jelas-jelas menindas, menghegemoni, dan melumpuhkan gerakan-gerakan sosial. Ketika terjadi huru-hara, mereka lebih memilih jalur kompromi dan negosiasi dengan kekuasaan daripada jalur-jalur yang biasa ditempuh oleh Muslim revolusioner.
Belum lagi, kaum moderat juga erat dengan tradisi “sungkan” dan “taat tanpa syarat” terhadap seorang kiai atau otoritas tokoh tertentu. Tidak hanya di dalam wilayah agama, namun juga dalam wilayah-wilayah profan, seperti politik dan kebudayaan. Dari model relasi semacam ini, pihak yang diuntungkan jelas kekuasaan dan kelompok mapan yang ingin menyemai benih-benih dominasi. Sehingga, di mata mereka (elite kekuasaan dan kelompok borjuis), komunitas Muslim moderat itu merupakan “ladang basah” yang sewaktu-waktu bisa dibajak dan ditanami benih-benih kuasa.
Hal yang tidak kalah penting adalah, bahwa Islam ala Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah itu berada di tampuk kekuasaan. Ia mendominasi di Tanah Air kita. Demikian bukan suatu kebetulan, karena secara historis, penyebaran Islam Aswaja di Bumi Nusantara ini melalui proses yang panjang, dan dianggap sesuai dengan kondisi masyarakat. Model Islam yang “ramah” akan mudah diterima di Indonesia, daripada Islam yang “marah” atau Islam yang memiliki corak liberal dan progresif. Mengapa kelompok Islam yang belakangan ini (liberal-progresif) selalu mendapat kecaman dari mayoritas Muslim di Indonesia? Ya, karena kaum moderat merasa “terganggu” dengan wacana dan gerakan kaum liberal-progresif. Dengan kata lain, mereka tidak mau kemapanan Islam Aswaja diganggu oleh siapa pun.
Oleh karena Islam Aswaja, atau Islam moderat itu dominan di Indonesia, sudah barang tentu ketika ada kelompok “sempalan” dan aliran baru, kekuasaan akan menggandeng ulama-ulama kaum moderat untuk “menyingkirkan” mereka. Kepentingan elite kekuasaan itu untuk melanggengkan kekuasaan, sementara kelompok Islam moderat untuk mempertahankan dominasi. Hal ini dapat dipahami, ketika kita membaca kelompok atau aliran Islam di Indonesia dengan pendekatan historis, dan bukan lagi rahasia umum, bahwa keberadaan mereka hingga saat ini adalah akibat dari relasi agama (ulama) dan kekuasaan.[20]
Dengan kata lain, kelompok Islam moderat itu hanya berhenti di “oral” dan “baju”, sedangkan secara intrinsik, mereka mempunyai tujuan: mempertahankan status quo. Mereka mendengungkan kalimat “menghargai perbedaan”, namun ketika terdapat perbedaan di kalangan umat Islam, mereka mengatakan: “kitalah yang paling benar”. Begitukah sikap moderat itu?
Penutup: Diskursus yang Tak Pernah Khatam
Diskursus tentang Islam tidak akan pernah usai. Pergumulan pemikiran akan terus dan tetap berlanjut. Tidak ada finalitas. Sebab interpretasi terhadap Islam bersifat plural dan dinamis. Dengan mengatakan bahwa hanya ada “tafsir tunggal” di dalam Islam, justru akan membuat Islam berjalan mundur dan ekslusif. Demikian juga dalam membaca tulisan ini. Semua yang termaktub di dalam tulisan ini sama sekali tidak bersifat absolut dan “tertutup”. Ia harus diletakkan ke dalam bingkai diskursus, dan dibaca menggunakan pendekatan kritis. Ia terbuka untuk dikritik dan dikoreksi.
Wallahu a’lam.
Catatan-catatan
1) Lihat MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial (Jakarta: Teraju, 2002). Tipologi yang dikemukakan Hooker ini, dan beberapa pendapat lain seperti oleh Deliar Noer (1982), Clifford Geertz (2013), Bruinessen (1995), Noorhaidi Hasan (2008), Rumadi (2008), Nur Khalik Ridwan (2001), M. Syafii Anwar (1995) dan seterusnya, perlu dikaji lebih lanjut. Sebab, jika kita melihat konteks keberagamaan (Islam) di Indonesia saat ini, tentu banyak sekali “sempalan” dari kelompok Islam tertentu. Selain itu, sejak seruan Lyotard dengan “The Postmodern Condition”-nya, kehidupan sosial, politik, maupun keagamaan tampak centang perenang. Mengenai hal ini, saya akan membahasnya di lain kesempatan.
2) Lihat Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hal. 128
3) Kersten menyebut kelompok ekstremis-radikal atau fundamentalis ini ke dalam golongan “antagonis” yang menolak gagasan-gagasan Muslim progresif. Konteks studi Kersten ini memetakan wacana pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia kontemporer (terutama pasca Soeharto lengser). Selengkapnya lihat ulasan Kersten tentang “The Antagonist” dalam Carool Kersten, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas, and Values (New York: Oxford University Press, 2015), hal. 73-80; juga lihat studi tentang radikalisme Islam di Indonesia dalam Rubaidi, Radikalisme Islam, Populisme, NU, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia di Era Post-Truth (Yogyakarta: Lingkaran, 2020).
4) Lihat Hamzah, Muchotob & Tim Aswaja Center UNSIQ, Pengantar Studi Aswaja an-Nahdliyah (Wonosobo: UNSIQ Press, 2021), hal. 41. Bandingkan dengan ulasan KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Jombang: Maktabah Turast al-Islami, tt.), terutama pada fasal: fi bayani as-Sunnah wa al-Bid’ah.
5) Lima dalil perjuangan, hal. 19, dan lima dalil hukum, hal. 42-43. Selengkapnya lihat Achmad Siddiq, Fikrah an-Nahdliyah (Surabaya: FOSSNU Jatim, 1992)
6) Kiai Achmad Siddiq menganggap ideologi-ideologi tersebut merupakan gejala yang “membahayakan
bagi umat Islam (Nahdliyin, khususnya). Oleh sebab itulah, menurut beliau perlu “membentengi” umat Islam dengan pedoman berpikir yang “positif”, yakni Islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Alasan Kiai Achmad Siddiq ini dapat dilihat dalam Ibid., hal. 10
7) Menurut Kiai Said, pandangan bahwa Aswaja adalah “mazhab” itu klaim belaka. Sebab sejauh ini tidak ada definisi terminologis yang baku tentang Aswaja. Definisi yang kerap dilontarkan mengenai Aswaja adalah “ma ana ‘alaihi wa ashabi” (jalan yang kami tempuh)—yang diambil dari hadis Rasulullah. Demikian, menurut Kiai Said bukan definisi (Aswaja), karena cakupan hadis itu bisa digunakan oleh seluruh kelompok Islam. Lihat Said Aqil Siraj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta: LKPSM, 1998), hal. 20
8) Pendapat Kiai Said tentang Aswaja sebagai metode berpikir ini dilandasi oleh kajian beliau yang menggunakan pendekatan historis-kritis. Menurutnya, kedudukan Aswaja sebagai manhaj al-Fikr ini tidak mungkin terbebas dari konteks sosio-politik yang mengiringinya. Kiai Said menganalisis secara tajam, dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang cukup revolusioneristik di masa-masa itu. Selengkapnya lihat KH. Said Aqil Siraj, “Latar Kultural dan Politik Kelahiran Aswaja” dalam Imam Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal. 1-40. Tulisan Kiai Said itu sebelumnya adalah makalah yang pernah disampaikan dalam sebuah forum PMII di Wisma PKBI Jakarta Pusat (6 Agustus 1995). Gagasan Aswaja Kiai Said ini kemudian diadopsi oleh PMII hingga sekarang.
9) Tentang penjelasan sifat moderat, netral, seimbang, dan toleran tersebut lihat Said Aqil Siraj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, hal. 20-21
10) Lihat Nur Khalik Ridwan, Masa Depan NU: Dinamika dan Tantangannya (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hal. 48-49
11) Aswaja sebagai manhaj al-Harakah ini dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bidang, antara lain: sosial, ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, hukum, dan lain sebagainya. Lihat Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunah wal Jama’ah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) dalam bagian: Aswaja sebagai Manhaj al-Harakah
12) Istilah “moderat” dan “isme” ini dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
13) Dalam memaknai ideologi ini saya eksplorasi dari penjelasan Lorens Bagus. Selengkapnya lihat kata kunci “ideologi” dalam Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 306
14) Lihat ulasan “Islam dan Masalah Kekerasan” dalam Faisal Ismail, NU, Moderatisme, dan Pluralisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), hal. 100-104
15) Tulisan ini memang fokus pada warga NU, namun tidak dapat dipungkiri, bahwa selain NU juga banyak yang mengaku golongan Ahlussunnah wal Jama’ah. Sehingga tulisan ini bisa digunakan dalam spektrum yang lebih luas, yakni kepada mereka yang mengaku sebagai golongan Aswaja (Sunnisme)—dengan mengacu “nalar Aswaja” di atas. Mengenai identifikasi NU ke dalam kelompok Aswaja ini dapat dilihat dalam tulisan Faisal Ismail, Ibid. hal. 107
16) Lihat Wardani, “Kritik Atas Nalar Politik Aswaja”, Jurnal Kebudayaan Kandil (2003), hal. 13
17) Pada tahun lalu PBNU mendapatkan konsensi tambang dari Pemerintah era Jokowi. Penerimaan dan apresiasi PBNU kepada pemerintah itu kemudian menjadi “buah bibir” masyarakat, terutama di kalangan Nahdliyin. Sikap elite NU itu, menurut sebagian aktivis, adalah upaya “menjinakkan ormas keagamaan”. Mengenai hal ini, silakan baca analisis Bambang Putra Ermansyah, “Konsesi Tambang: Usaha Kekuasaan Menjinakkan Ormas Keagamaan”, Indoprogress, 29 Agustus 2024
18) Lihat tulisan yang menganalisis tentang pembangunan dan maksud dari “Wahabi Lingkungan” yang dilontarkan Gus Ulil dalam Moh Samsul Arifin, “Interupsi untuk Pertambangan: Pembangunanisme Vs ‘Wahabi Lingkungan’”, Kompas, 19 Juni 2025
19) Kita dapat melihat bagaimana tindakan politis yang tidak membela rakyat itu dari gejala-gejala PCNU Banyuwangi. Saya telah mengkaji hal ini dalam “NU Banyuwangi & NU Blambangan: Wacana Pemekaran, Posisi, dan Kritik” (Penalaut.com, 2025) dan “Wacana Politis Kaum Sarungan: Membongkar ‘Birahi Politik’ PCNU Banyuwangi” (Penalaut.com, 2025).
20) Mengenai “perselingkuhan” ulama dan kekuasaan ini dapat dilihat dalam studi Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2004). Turmudi, dalam buku ini, membuktikan bahwa “kiai pesantren” dan “kiai tarekat” (di Jombang) memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya ketika musim pemilihan umum.
Hal semacam itu dapat kita lihat bagaimana PBNU menerima konsensi tambang; pembelaan Gus Ulil terhadap praktik pertambangan; elite NU yang sibuk bermain politik praktis; perselingkuhan kiai dan kekuasaan; dan seterusnya. Di level permukaan mereka memang mengatakan demi “kemaslahatan umat”, namun efek dari keputusan dan tindakan yang mereka lakukan justru membela kelompok mapan dan bahkan mempertahankan status quo. Demikianlah efek nalar moderat yang selama ini digaung-gaungkan oleh kaum moderat itu.
Kedua, keseimbangan “semu”. Konsep ini juga terkadang disebut “netral”. Ketika terjadi fenomena ekstremisme agama, misalnya, kaum moderat lebih memilih jalur tengah. Mereka berusaha menyeimbangkan antara dua kutub yang saling berlawanan. Sebagaimana Imam al-Asy’ari yang bermaksud melerai pertengkaran teologis antara Jabariyyah dan Qadariyyah. Mereka tidak berada di posisi ekstrem kanan atau kiri. Mereka selalu berusaha berada di posisi “moderat” dan menyeimbangkan dua kubu yang saling menegasi.
Memfokuskan diri untuk meraih keseimbangan itu adalah sesuatu yang mustahil, sebab secara faktual kita tidak akan pernah mencapai keseimbangan. Berusaha untuk seimbang, saya masih sepakat. Namun, melakukan sesuatu agar menghasilkan sebuah keseimbangan, adalah tujuan yang sia-sia. Lebih jauh, mereka yang mengaku telah mampu “menyeimbangkan” dua kutub esktrem, sebenarnya “memihak” ke salah satu kutub.
Misalnya, ketika terjadi perseteruan antara kaum revolusioner dan kaum konservatif di Indonesia. Kelompok revolusioner menginginkan revolusi besar-besaran, sementara kelompok yang lain ingin mempertahankan keutuhan NKRI. Dari kasus ini, keputusan kaum moderat akan cenderung memihak kepada kelompok konservatif—dengan sederet dalil 'aql dan naql. Karena, bagi kaum moderat, masih ada jalan alternatif selain revolusi. Sikap semacam inilah yang menjadi ciri khas kaum moderat.
Padahal, melihat konteks saat ini, negara sudah “gawat”. Penindasan di mana-mana, marginalisasi menjadi tradisi kekuasaan yang tidak dapat dibendung, dan ancaman global semakin nyata. Namun, sekali lagi, menurut kaum moderat, kerusakan yang terjadi di Indonesia saat ini masih bisa diatasi dengan cara-cara yang akomodatif dan “ramah”. Dengan demikian, dalam hal ini, kaum moderat itu “memihak” kepada status quo, kemapanan, dan dominasi kekuasaan. Hal ini bisa kita amati dari hasil pemikiran dan tindakan yang mereka lakukan. Oleh karena itu, menurut saya, keseimbangan yang mereka gembar-gemborkan itu bersifat “semu”.
Ketiga, relasi Islam moderat dan kekuasaan. Kaum moderat, dengan sikap politik yang akomodatif, kompromis, dan oportunis, akan memberikan dampak yang serius dalam kehidupan kita. Sebagian besar dari mereka masih menggunakan pendekatan khusnudzan kepada kekuasaan yang jelas-jelas menindas, menghegemoni, dan melumpuhkan gerakan-gerakan sosial. Ketika terjadi huru-hara, mereka lebih memilih jalur kompromi dan negosiasi dengan kekuasaan daripada jalur-jalur yang biasa ditempuh oleh Muslim revolusioner.
Belum lagi, kaum moderat juga erat dengan tradisi “sungkan” dan “taat tanpa syarat” terhadap seorang kiai atau otoritas tokoh tertentu. Tidak hanya di dalam wilayah agama, namun juga dalam wilayah-wilayah profan, seperti politik dan kebudayaan. Dari model relasi semacam ini, pihak yang diuntungkan jelas kekuasaan dan kelompok mapan yang ingin menyemai benih-benih dominasi. Sehingga, di mata mereka (elite kekuasaan dan kelompok borjuis), komunitas Muslim moderat itu merupakan “ladang basah” yang sewaktu-waktu bisa dibajak dan ditanami benih-benih kuasa.
Hal yang tidak kalah penting adalah, bahwa Islam ala Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah itu berada di tampuk kekuasaan. Ia mendominasi di Tanah Air kita. Demikian bukan suatu kebetulan, karena secara historis, penyebaran Islam Aswaja di Bumi Nusantara ini melalui proses yang panjang, dan dianggap sesuai dengan kondisi masyarakat. Model Islam yang “ramah” akan mudah diterima di Indonesia, daripada Islam yang “marah” atau Islam yang memiliki corak liberal dan progresif. Mengapa kelompok Islam yang belakangan ini (liberal-progresif) selalu mendapat kecaman dari mayoritas Muslim di Indonesia? Ya, karena kaum moderat merasa “terganggu” dengan wacana dan gerakan kaum liberal-progresif. Dengan kata lain, mereka tidak mau kemapanan Islam Aswaja diganggu oleh siapa pun.
Oleh karena Islam Aswaja, atau Islam moderat itu dominan di Indonesia, sudah barang tentu ketika ada kelompok “sempalan” dan aliran baru, kekuasaan akan menggandeng ulama-ulama kaum moderat untuk “menyingkirkan” mereka. Kepentingan elite kekuasaan itu untuk melanggengkan kekuasaan, sementara kelompok Islam moderat untuk mempertahankan dominasi. Hal ini dapat dipahami, ketika kita membaca kelompok atau aliran Islam di Indonesia dengan pendekatan historis, dan bukan lagi rahasia umum, bahwa keberadaan mereka hingga saat ini adalah akibat dari relasi agama (ulama) dan kekuasaan.[20]
Dengan kata lain, kelompok Islam moderat itu hanya berhenti di “oral” dan “baju”, sedangkan secara intrinsik, mereka mempunyai tujuan: mempertahankan status quo. Mereka mendengungkan kalimat “menghargai perbedaan”, namun ketika terdapat perbedaan di kalangan umat Islam, mereka mengatakan: “kitalah yang paling benar”. Begitukah sikap moderat itu?
Penutup: Diskursus yang Tak Pernah Khatam
Diskursus tentang Islam tidak akan pernah usai. Pergumulan pemikiran akan terus dan tetap berlanjut. Tidak ada finalitas. Sebab interpretasi terhadap Islam bersifat plural dan dinamis. Dengan mengatakan bahwa hanya ada “tafsir tunggal” di dalam Islam, justru akan membuat Islam berjalan mundur dan ekslusif. Demikian juga dalam membaca tulisan ini. Semua yang termaktub di dalam tulisan ini sama sekali tidak bersifat absolut dan “tertutup”. Ia harus diletakkan ke dalam bingkai diskursus, dan dibaca menggunakan pendekatan kritis. Ia terbuka untuk dikritik dan dikoreksi.
Wallahu a’lam.
Catatan-catatan
1) Lihat MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial (Jakarta: Teraju, 2002). Tipologi yang dikemukakan Hooker ini, dan beberapa pendapat lain seperti oleh Deliar Noer (1982), Clifford Geertz (2013), Bruinessen (1995), Noorhaidi Hasan (2008), Rumadi (2008), Nur Khalik Ridwan (2001), M. Syafii Anwar (1995) dan seterusnya, perlu dikaji lebih lanjut. Sebab, jika kita melihat konteks keberagamaan (Islam) di Indonesia saat ini, tentu banyak sekali “sempalan” dari kelompok Islam tertentu. Selain itu, sejak seruan Lyotard dengan “The Postmodern Condition”-nya, kehidupan sosial, politik, maupun keagamaan tampak centang perenang. Mengenai hal ini, saya akan membahasnya di lain kesempatan.
2) Lihat Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hal. 128
3) Kersten menyebut kelompok ekstremis-radikal atau fundamentalis ini ke dalam golongan “antagonis” yang menolak gagasan-gagasan Muslim progresif. Konteks studi Kersten ini memetakan wacana pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia kontemporer (terutama pasca Soeharto lengser). Selengkapnya lihat ulasan Kersten tentang “The Antagonist” dalam Carool Kersten, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas, and Values (New York: Oxford University Press, 2015), hal. 73-80; juga lihat studi tentang radikalisme Islam di Indonesia dalam Rubaidi, Radikalisme Islam, Populisme, NU, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia di Era Post-Truth (Yogyakarta: Lingkaran, 2020).
4) Lihat Hamzah, Muchotob & Tim Aswaja Center UNSIQ, Pengantar Studi Aswaja an-Nahdliyah (Wonosobo: UNSIQ Press, 2021), hal. 41. Bandingkan dengan ulasan KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Jombang: Maktabah Turast al-Islami, tt.), terutama pada fasal: fi bayani as-Sunnah wa al-Bid’ah.
5) Lima dalil perjuangan, hal. 19, dan lima dalil hukum, hal. 42-43. Selengkapnya lihat Achmad Siddiq, Fikrah an-Nahdliyah (Surabaya: FOSSNU Jatim, 1992)
6) Kiai Achmad Siddiq menganggap ideologi-ideologi tersebut merupakan gejala yang “membahayakan
bagi umat Islam (Nahdliyin, khususnya). Oleh sebab itulah, menurut beliau perlu “membentengi” umat Islam dengan pedoman berpikir yang “positif”, yakni Islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Alasan Kiai Achmad Siddiq ini dapat dilihat dalam Ibid., hal. 10
7) Menurut Kiai Said, pandangan bahwa Aswaja adalah “mazhab” itu klaim belaka. Sebab sejauh ini tidak ada definisi terminologis yang baku tentang Aswaja. Definisi yang kerap dilontarkan mengenai Aswaja adalah “ma ana ‘alaihi wa ashabi” (jalan yang kami tempuh)—yang diambil dari hadis Rasulullah. Demikian, menurut Kiai Said bukan definisi (Aswaja), karena cakupan hadis itu bisa digunakan oleh seluruh kelompok Islam. Lihat Said Aqil Siraj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta: LKPSM, 1998), hal. 20
8) Pendapat Kiai Said tentang Aswaja sebagai metode berpikir ini dilandasi oleh kajian beliau yang menggunakan pendekatan historis-kritis. Menurutnya, kedudukan Aswaja sebagai manhaj al-Fikr ini tidak mungkin terbebas dari konteks sosio-politik yang mengiringinya. Kiai Said menganalisis secara tajam, dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang cukup revolusioneristik di masa-masa itu. Selengkapnya lihat KH. Said Aqil Siraj, “Latar Kultural dan Politik Kelahiran Aswaja” dalam Imam Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal. 1-40. Tulisan Kiai Said itu sebelumnya adalah makalah yang pernah disampaikan dalam sebuah forum PMII di Wisma PKBI Jakarta Pusat (6 Agustus 1995). Gagasan Aswaja Kiai Said ini kemudian diadopsi oleh PMII hingga sekarang.
9) Tentang penjelasan sifat moderat, netral, seimbang, dan toleran tersebut lihat Said Aqil Siraj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, hal. 20-21
10) Lihat Nur Khalik Ridwan, Masa Depan NU: Dinamika dan Tantangannya (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hal. 48-49
11) Aswaja sebagai manhaj al-Harakah ini dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bidang, antara lain: sosial, ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, hukum, dan lain sebagainya. Lihat Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunah wal Jama’ah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) dalam bagian: Aswaja sebagai Manhaj al-Harakah
12) Istilah “moderat” dan “isme” ini dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
13) Dalam memaknai ideologi ini saya eksplorasi dari penjelasan Lorens Bagus. Selengkapnya lihat kata kunci “ideologi” dalam Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 306
14) Lihat ulasan “Islam dan Masalah Kekerasan” dalam Faisal Ismail, NU, Moderatisme, dan Pluralisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), hal. 100-104
15) Tulisan ini memang fokus pada warga NU, namun tidak dapat dipungkiri, bahwa selain NU juga banyak yang mengaku golongan Ahlussunnah wal Jama’ah. Sehingga tulisan ini bisa digunakan dalam spektrum yang lebih luas, yakni kepada mereka yang mengaku sebagai golongan Aswaja (Sunnisme)—dengan mengacu “nalar Aswaja” di atas. Mengenai identifikasi NU ke dalam kelompok Aswaja ini dapat dilihat dalam tulisan Faisal Ismail, Ibid. hal. 107
16) Lihat Wardani, “Kritik Atas Nalar Politik Aswaja”, Jurnal Kebudayaan Kandil (2003), hal. 13
17) Pada tahun lalu PBNU mendapatkan konsensi tambang dari Pemerintah era Jokowi. Penerimaan dan apresiasi PBNU kepada pemerintah itu kemudian menjadi “buah bibir” masyarakat, terutama di kalangan Nahdliyin. Sikap elite NU itu, menurut sebagian aktivis, adalah upaya “menjinakkan ormas keagamaan”. Mengenai hal ini, silakan baca analisis Bambang Putra Ermansyah, “Konsesi Tambang: Usaha Kekuasaan Menjinakkan Ormas Keagamaan”, Indoprogress, 29 Agustus 2024
18) Lihat tulisan yang menganalisis tentang pembangunan dan maksud dari “Wahabi Lingkungan” yang dilontarkan Gus Ulil dalam Moh Samsul Arifin, “Interupsi untuk Pertambangan: Pembangunanisme Vs ‘Wahabi Lingkungan’”, Kompas, 19 Juni 2025
19) Kita dapat melihat bagaimana tindakan politis yang tidak membela rakyat itu dari gejala-gejala PCNU Banyuwangi. Saya telah mengkaji hal ini dalam “NU Banyuwangi & NU Blambangan: Wacana Pemekaran, Posisi, dan Kritik” (Penalaut.com, 2025) dan “Wacana Politis Kaum Sarungan: Membongkar ‘Birahi Politik’ PCNU Banyuwangi” (Penalaut.com, 2025).
20) Mengenai “perselingkuhan” ulama dan kekuasaan ini dapat dilihat dalam studi Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2004). Turmudi, dalam buku ini, membuktikan bahwa “kiai pesantren” dan “kiai tarekat” (di Jombang) memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya ketika musim pemilihan umum.
Posting Komentar