no fucking license
Bookmark

Sejarah Resmi dan Pengkhianatan atas Ingatan Rakyat

Sejarah bukanlah catatan kaku tentang masa lalu yang selesai dituliskan. Ia adalah medan hidup tempat perebutan makna, ruang ideologis tempat kepentingan bertarung. Karena itulah, sejarah selalu berada dalam risiko—risiko direkayasa oleh mereka yang berkuasa, yang ingin mengatur cara kita memahami bangsa ini, siapa yang menjadi pahlawan, siapa yang patut dilupakan, dan luka mana yang harus dihapus dari ingatan kolektif. Dan kini, risiko itu muncul kembali dalam bentuk proyek penulisan ulang Sejarah Resmi Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan, yang dengan tanpa malu menyebutnya sebagai sejarah "resmi" dan "positif".

Di sinilah bahaya besar itu mengintai. Ketika negara menyusun satu versi sejarah yang resmi, maka sejatinya ia sedang menutup pintu terhadap kemungkinan berpikir. Sejarah menjadi alat kekuasaan, bukan alat pembebasan. Bahasa “netral” yang digembar-gemborkan dalam proyek ini adalah bentuk kamuflase untuk menutupi bias dan keberpihakan terhadap status quo. Sebab sejarah tidak pernah netral. Ia selalu berpihak dan jika ditulis oleh negara, keberpihakan itu hampir pasti berada di sisi penguasa, bukan rakyat. Kita sudah memiliki preseden yang kelam. Pada masa Orde Baru, sejarah dikonstruksi dengan sangat manipulatif demi membangun legitimasi militer. Peristiwa 1965 dijadikan pembenaran atas pembantaian massal dan kudeta kekuasaan. Narasi tunggal ditegakkan dengan disiplin tinggi, disebarkan melalui pendidikan formal, media massa, bahkan film layar lebar. Sejarah berubah menjadi senjata, bukan untuk mencerahkan masyarakat, melainkan untuk mengendalikan kesadarannya.

Kini, situasi itu tampaknya hendak diulang. Pernyataan Menteri Kebudayaan bahwa sejarah Indonesia harus diberi “tone positif” pada setiap periode kekuasaan, menunjukkan bahwa proyek ini tidak bertujuan mencerahkan, tetapi mensterilkan. Ini bukan sekadar pemilihan kata, tetapi strategi untuk mengaburkan kekejaman, menghapus jejak pelanggaran HAM, dan melanggengkan impunitas. Dalam sejarah yang seperti ini, rakyat kehilangan suaranya. Tidak ada lagi ruang untuk korban. Tidak ada tempat untuk ingatan luka. Yang tersisa hanyalah glorifikasi negara. Apa yang dilakukan negara dalam proyek penulisan ulang ini sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam metodologi sejarah yang sehat, tidak ada ruang untuk versi tunggal. Sejarah adalah hasil dari pencarian kritis, analitis, dan terbuka. Ia melibatkan berbagai perspektif, terutama dari mereka yang selama ini dimarginalkan: petani, buruh, perempuan, anak-anak korban konflik, dan masyarakat adat yang tanahnya dirampas. Mereka bukan sekadar pelengkap latar dalam narasi besar negara. Mereka adalah subjek sejarah, dan suara mereka harus menjadi bagian dari narasi bangsa.

Namun, sejarah “resmi” yang sedang dirancang hari ini justru menyingkirkan mereka. Ia tidak memberi ruang bagi keragaman ingatan. Ia tidak mengakui kompleksitas masa lalu. Ia hanya ingin satu cerita dari cerita yang sudah diseleksi dan dibersihkan dari hal-hal yang dianggap mengganggu stabilitas narasi negara. Di balik klaim objektivitas dan pendidikan kebangsaan, tersembunyi kehendak untuk membungkam dan mengendalikan.

Penulisan sejarah semacam ini juga bertentangan dengan semangat pendidikan modern. Kurikulum Merdeka, misalnya, secara eksplisit menekankan pentingnya berpikir kritis, imajinatif, dan multiperspektif dalam pembelajaran sejarah. Peserta didik didorong untuk meneliti sendiri, menulis sendiri, dan menyusun pemahaman sejarah berdasarkan data, bukan doktrin. Jika proyek penulisan sejarah resmi ini dijadikan rujukan utama pendidikan, maka pendidikan akan kembali menjadi ruang indoktrinasi. Ruang kelas akan diubah menjadi ruang penyeragaman, bukan pembebasan. Di sinilah letak kegentingannya. Negara, dalam proyek sejarah ini, tengah membangun alat baru untuk mengontrol pikiran rakyat. Apa yang tampak sebagai kerja akademik, sejatinya adalah kerja ideologis. Sejarah dijadikan sarana untuk meredam perlawanan, melemahkan daya kritis, dan mengatur bagaimana rakyat seharusnya mengingat bangsanya. Ini bukan proyek pelurusan sejarah. Ini adalah proyek pelupaan.

Melalui sejarah resmi, negara tidak hanya mengatur masa lalu, tapi juga masa depan. Dengan membentuk cara masyarakat memahami sejarahnya, negara turut menentukan siapa yang layak dianggap warga yang baik, siapa yang dianggap pengacau. Inilah kekuatan sejarah yang ditulis oleh kekuasaan: ia mengatur bukan hanya apa yang diketahui, tetapi juga bagaimana harus berpikir. Maka pertanyaannya bukan hanya apakah sejarah ini benar atau tidak, tetapi: sejarah ini untuk siapa? Jika jawabannya adalah untuk rakyat, maka sejarah itu tidak boleh satu. Sejarah harus inklusif, partisipatif, dan terbuka terhadap kritik. Ia harus bersuara dari bawah, bukan hanya dari podium-podium kekuasaan. Sebab, sejarah yang membebaskan adalah sejarah yang mengakui luka dan belajar darinya. Bukan sejarah yang menghapus, mengelabui, dan menyuruh kita melupakan demi kenyamanan penguasa.

Mengulang sejarah tunggal Orde Baru dalam format baru hanyalah upaya membungkam kembali pikiran-pikiran kritis yang tumbuh pasca-reformasi. Narasi resmi adalah bentuk halus dari dominasi. Dan sejarah yang didominasi adalah sejarah yang mati. Yang kita butuhkan bukan sejarah resmi, tapi sejarah yang hidup—sejarah yang berani menantang kuasa, mengungkap yang disembunyikan, dan menolak dibungkam. Sebab bangsa yang sehat adalah bangsa yang berani mengingat secara utuh, bukan yang hanya memilih fragmen masa lalu yang nyaman bagi penguasa hari ini.


Penulis : Nadita Putri Alya

Posting Komentar

Posting Komentar