no fucking license
Bookmark

Tanahé Gusti Allah

Ilustrasi AI
TANAHÉ Gusti Allah” telah lama menjadi diom dalam kehidupan masyarakat. Ungkapan yang sepintas religius, namun sering dipakai sebagai dalih kultural untuk mengklaim ruang tanpa izin. Frasa itu benar-benar hidup, terdengar di banyak sudut kota, kadang sebagai ejekan, kadang sebagai pembenaran. Ia muncul di lahan kosong yang dipenuhi belukar liar di antara gedung-gedung menjulang, atau di trotoar tak terurus yang dilupakan Dinas Perhubungan dan Pekerjaan Umum. Di Surabaya, misalnya, frasa ini kerap menjadi sindiran terhadap kelompok tertentu. Tapi satu hal yang pasti: frasa ini adalah strategi bertahan, cara rakyat kecil bernegosiasi dengan dunia yang lebih berkuasa. Di balik tiga kata itu tersembunyi kredo okupasi: bila tanah ini tak dipakai siapa-siapa, maka boleh dipakai siapa saja.

Tanahé Gusti Allah bisa satire. Ia semacam pembelaan terakhir dari orang-orang yang tak punya cukup surat untuk menunjukkan kepemilikan. Sekaligus semacam gugatan untuk sistem yang menyerahkan kepercayaan sepenuhnya pada kertas A4 bersertifikat, yang dianggap lebih sah ketimbang tangan yang sudah bertahun-tahun mencangkul atau merawat lahan kosong.

Tapi apakah tanah memang pernah sepenuhnya milik siapa pun? Atau bukan milik siapa pun, kecuali Gusti Allah? Mari kita mundur jauh sejenak. Melangkah ke masa sebelum hukum ditemukan, sebelum negara lahir, bahkan sebelum kata “punya” masuk ke kosa kata manusia. Saat itu bumi hanyalah bumi. Tanpa pagar. Tanpa batas. Tanpa warna-warni pada peta. Tanpa bendera kekuasaan. Binatang bebas berkeliaran, pohon tumbuh tanpa izin tanam. 

Kemudian manusia hadir, entah dilempar dari surga, entah evolusi dari kadal, itu tak soal, yang pasti mereka butuh makan dan berteduh. Mereka berburu dan beranak pinak. Tapi manusia bukan makhluk yang puas. Mereka berkembang, berpikir, dan mempelajari luas bumi serta batas-batasnya. Mereka membabat - membakar hutan, membuka lahan, membuat ladang. Mereka hidup menyusun aturan. Kelompok-kelompok tumbuh. Muncul kekuasaan lokal, berdiri kerajaan, politik, kolonialisme, negara, birokrasi, hingga dominasi kapital global. Tanah yang tadinya cuma tempat berpijak, jadi simbol kuasa. Perang demi perang. Perebutan demi perebutan. Hingga tanah diwariskan bukan lagi melalui ketekunan bercocok tanam, tapi melalui surat. Ada sertifikat hak milik, hak guna, hak pakai, hak sewa, hak atas hak. Negara ikut campur. Tanah yang dibuka oleh individu pun harus diurus dulu, karena yang punya surat kepemilikan yang berdaulat.

Tapi siapa yang benar-benar punya tanah?

Orang yang pertama kali menanam pohon pisang? Yang membabat hutan? Yang membayar pajak? Yang punya peta? Yang mewarisi dari raja? Yang merebut dari penguasa lainnya? Atau yang membeli dari cukong dan tuan tanah?

Dalam keraguan-keraguan itu, mungkin juga dalam keputusasaan ingin memiliki, frasa “tanahé Gusti Allah”, yang berarti semua tanah di muka ini milik Gusti Allah muncul. Muncul dari mulut yang tak memiliki alat dan akses ke ekonomi-politik. Ia menertawakan keseriusan negara dalam mengelola sesuatu yang bahkan tak diciptakannya. Ia menyindir kita semua yang sibuk mencetak akta dan plang nama, padahal tahu betul bahwa tanah itu sudah ada sejak lama, bahkan sebelum kita lahir.

Mereka yang mengucapkan frasa itu sering kali dianggap pengacau tata ruang. Mereka yang membangun di tanah “yang belum ada tuannya” bisa tiba-tiba dianggap perampas, penyusup, bahkan kriminal. 

Di banyak kota besar, tak sulit menemukan bangunan yang “tiba-tiba ada.” Awalnya lapangan kosong, lama-lama ada warung, lalu rumah, lalu tambah lagi, lalu dicat, dipasang listrik, dst. Kadang dimulai dari satu gerobak mie ayam yang parkir terlalu sering di satu titik. Lalu satu malam, ada terpal. Lalu dinding kayu. Lalu atap seng. Lalu orang-orang datang, tinggal, menetap, dan hidup.

Lalu datang aparat membawa surat. Surat penggusuran. Surat yang dibuat dengan ketelitian peta, dan nomenklatur yang terdengar sakral: Zona Hijau, Zona Merah, Tanah Milik Negara. Di hadapan surat itu, semua terpal dan dinding triplek tak memiliki daya dan upaya. Ia dihantam seperti durian menghantam tahu. Penyet. Semua cerita di baliknya, perjuangan, kerja keras, harapan, tak masuk dalam perhitungan.

Tapi mereka tak diam. Mereka bilang, “tanah ini milik Gusti Allah.”

Kalimat itu bisa terdengar seperti perlawanan. Tapi juga bisa seperti penyerahan diri. Seperti berkata: kami tahu tak punya surat, tapi kami juga tahu siapa yang benar-benar menciptakan tanah ini. Dan kalau semua ini milik-Nya, kenapa kalian bertingkah seolah pemilik tunggal?

Sedangkan sistem hukum agraria kita sendiri bukan tanpa cacat. Dalam sejarahnya, ia lahir dari proses panjang yang tak selalu adil. Banyak lahan rakyat yang dulu dibuka dengan tangan sendiri, tak diakui negara karena tak sempat disertifikasi. Banyak pula tanah adat yang direbut atas nama pembangunan, lalu berpindah tangan ke perusahaan-perusahaan besar. Negara memang diciptakan bukan sebagai alat netral atau penengah antar kelas, melainkan alat kekuasaan kelas dominan.

Dan mungkin yang lucu dari segalanya adalah keyakinan manusia bahwa tanah bisa dimiliki. Bahwa sepetak bumi bisa diukur, diberi nama, dicetak di atas kertas, lalu diwariskan seperti warisan berupa lemari atau kendaraan. Tapi manusia membangun kekuasaan dan politik untuk membikin sistem rumit demi membuktikan siapa pemilik sah sebuah lahan. 

Di tengah absurditas itulah frasa “tanahé Gusti Allah” menjadi semacam gugatan halus. Ia mengingatkan bahwa segala keributan soal hak milik, pengukuran, legalitas, penggusuran, sengketa, hanyalah permainan kecil dalam usia panjang bumi. Ia semacam ejekan terhadap keseriusan manusia yang bertengkar soal batas. Tanah itu tak pernah benar-benar jadi milik siapa pun. Kita hanya singgah, sebentar, lalu pergi. Pemilik-pemilik sebelumnya sudah dikuburkan di bawahnya, dan pemilik berikutnya belum lahir.

“Tanahé Gusti Allah” pun menjadi bukan sekadar pernyataan iman atau pembelaan rakyat yang terkucil dalam struktur ekonomi. Ia bisa juga dibaca sebagai kritik pada ide kepemilikan pribadi. 


Penulis : Kim Alghazali


Posting Komentar

Posting Komentar