Daras Filsafat - Sejak arus modernisme melanda kehidupan di Bumi Nusantara, segala hal yang berbau klenik, mistis, atau magis dianggap sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan. Paradigma orang-orang “modern” memandang benda dan ritual sakral para leluhur kita tak lebih dari sebuah keterbelakangan. Seolah mereka lebih beradab dari masyarakat kita. Lebih maju dari bangsa kita. Dan lebih paham tentang “kehidupan” kita daripada diri kita sendiri. Bahkan cara pandang demikian sudah menjalar dalam alam pikiran generasi kita.
Logika
mereka (modernis) itu sederhana: “mistisisme (akan) menghambat kemajuan”. Oleh
sebab itu, ketika dulu orang-orang Eropa (kolonial) menjajah bangsa kita,
mereka seperti “alergi” dengan spiritualitas dan mistisisme kaum pribumi.
Belakangan, kepercayaan mistik masyarakat itu kemudian disebut takhayul,
bidah, dan kurafat (TBC) atau, dalam istilah Tan Malaka, terjebak
dalam “logika mistika” yang harus ditendang jauh-jauh. Pandangan semacam ini,
secara sepintas, bernada kritis-dekonstruktif yang mujarab untuk menuju kemajuan.
Namun, di balik wacana itu, kita akan menjumpai landasan paradigmatik yang
mereka gunakan: kolonialisme.
Bagaimana
kita bisa mengetahui hal itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa melihat keunikan
local wisdom bangsa kita berusaha diberangus oleh Kafir Olanda
melalui “kuasa-pengetahuan”-nya. Sebab, kaum kolonial, tidak hanya menjajah
kita secara fisik (dengan Cultuurstelsel atau Romusha), melainkan
juga kebudayaan, kepercayaan, dan “alam pikiran” kita—hingga saat ini. Termasuk
mengenai sesuatu yang dianggap memiliki daya magis oleh leluhur kita: jimat.
Jimat Sebagai Spirit Pemberontakan di Jawa
Banyak orang
menaksir, bahwa peradaban Nusantara sebelum kedatangan bangsa kulit putih itu canggih
dan kaya. Mulai persoalan teologis, kosmologis, hingga kehidupan sosial-masyarakat.
Semua bisa dijumpai dalam babad, serat, dan berbagai teks kuno
warisan leluhur kita. Namun, studi-studi kontemporer belum cukup untuk menyadarkan
kita, bahwa kita adalah “bangsa yang besar”.
Tabir kesadaran
itu masih mengaburkan mata hati kita, karena paradigma kolonial (Barat) masih mengakar
kuat di dalam bangunan keilmuan Tanah Air melalui istana intelektual (kampus)—yang
belakangan cenderung terjebak ke dalam formalisme akademis. Paradigma kolonialis
itu kemudian menimbulkan masalah yang serius: merasa diri (bangsa) kita inferior.
Padahal, kalau kita menilik sejarah tentang pandangan hidup dan gerakan di masa
kolonial, justru kita akan menemukan “kegagahan diri” di hadapan bangsa kulit putih
(kolonialis).
Kita bisa
melihat bagaimana leluhur kita, terutama Jawa, memandang sebuah benda (atau tulisan)
yang dipercaya memiliki kekuatan magis (kesaktian). Benda ini dikenal oleh orang-orang
Jawa sebagai “jimat”. Masyarakat Jawa mengenal istilah perewangan (sesuatu
yang dapat membantu manusia dalam melakukan suatu hal, baik bersifat fisik maupun
non-fisik). Menurut Anan Hajid, masyarakat Jawa mempunyai kepercayaan terhadap benda-benda
“bertuah” (jimat) (Hajid T, 2005: 134). Ada dua jenis benda dipercaya memiliki kekuatan
magis: jimat (benda) dan rajah (tulisan).
Sesuatu yang
digunakan jimat dan rajah biasanya diambil dari benda-benda alam,
seperti: batu, kayu, dan kulit hewan. Secara fungsional, sebuah jimat dan
rajah digunakan oleh orang Jawa sebagai cekelan atau sesuatu yang
dapat membantu keberlangsungan hidup mereka (2005: 53). Dengan kata lain, jimat
adalah wasilah (sarana) agar manusia merasa aman, percaya diri, dan terhindar
dari musibah. Dalam kaca mata orang Jawa, jika benda-benda itu dibawa oleh seseorang,
maka ia akan memberi kesaktian dan kekebalan.
Jimat atau rajah membuat Belanda “ketakutan” di masa kolonial
Efek dari
jimat atau rajah tersebut kemudian membuat Belanda “ketakutan” di
masa kolonial. Sebab, menurut mereka, jimat itu merupakan salah satu faktor mengapa
masyarakat pribumi berani memberontak kepada kekuasaan Belanda. Pemberontakan rakyat
itu bisa ditelisik dalam dua kasus di Jawa: Pemberontakan Petani Banten (1888)
dan Peristiwa Garut (1919).
Menurut Kartodirdjo
(2015), jimat memberikan dorongan spiritual yang besar kepada rakyat Banten
dalam pemberontakan terhadap kaum kafir (Kolonial). Sikap optimis dalam berjuang
melawan penjajah diperkuat oleh kepercayaan mereka terhadap jimat-jimat yang dianggap
mengandung kekuatan magis (memberi kekebalan pada tubuh). Maka tak ayal, jika rakyat
Banten saat Geger Cilegon itu memiliki keberanian besar dalam melawan kekuasaan
Belanda—kendati menggunakan senjata yang lebih modern (Kartodirjo, 2015). Selain
di Banten, peristiwa serupa juga terjadi di Desa Cikendal, Leles, Garut, Jawa Barat,
pada 7 Juli 1919.
Peristiwa
Pemberontakan Cimareme itu disebabkan oleh penolakan Haji Hasan, salah seorang
petani Desa Cikendal, terhadap kebijakan pemerintah Belanda yang sewenang-wenang.
Penetapan hasil panen yang merugikan petani di Cikendal tersebut, membuat Haji Hasan
dan pengikutnya menolak ketentuan pemerintah Belanda. Alhasil, Haji Hasan hanya
menjual sepuluh pikul hasil panen kepada Kompeni (Suminto, 1984: 90). Kemudian,
penolakan Haji Hasan dan orang-orang Cikendal itu menjadi cikal bakal gerakan sosial
yang menggoyahkan kekuasaan Belanda pada 7 Juli 1919. Menurut Ahmad Baso, setelah
Haji Hasan dan beberapa orang tewas dalam tragedi tersebut, ditemukan “jimat” dan
“kain putih” yang membuat geger orang-orang Belanda (Baso, 2016: 253).
Kedua kasus
pemberontakan pribumi terhadap kekuasaan kolonial di atas, selain sama-sama memiliki
kepercayaan terhadap jimat, juga dipimpin oleh tokoh-tokoh Muslim. Di masa kolonial,
seorang Muslim taat (saleh) akan dicurigai oleh pemerintah Belanda. Bahkan, sekedar
menjalankan shalat lima waktu saja, di mata kolonial, sudah dianggap “fanatik” dan
sebuah gerakan subversif (Bruinessen, 1994: 22).
Sebagai contoh: pada tahun 1903, seorang kiai asal Sidoarjo, Kiai Kasan Mukmin, mendeklarasikan diri sebagai “Mahdi” dan bermaksud mendirikan kerajaan di Jawa. Kiai Kasan ini memiliki pengikut yang tidak sedikit. Para pengikut itu diajari ilmu kedigdayaan (kesaktian) oleh Kiai Kasan, dan kemudian ia mengajak santri-santrinya untuk berjihad melawan pemerintah Belanda. Namun, pemberontakan Kiai Kasan Mukmin dapat mudah dilumpuhkan oleh pemerintah Belanda dengan menewaskan 40 orang, termasuk Kiai Kasan (Bruinessen, 1994: 29).
Pemerintah Belanda kemudian merasa perlu melakukan “pengawasan” dan “penangkapan” terhadap aktor-aktor gerakan yang dianggap mengancam kekuasaan kolonial saat itu
Dari pelbagai
pemberontakan yang terjadi, pemerintah Belanda kemudian merasa perlu melakukan “pengawasan”
dan “penangkapan” terhadap aktor-aktor gerakan yang dianggap mengancam kekuasaan
kolonial saat itu. Bahkan, jimat-jimat itu dikaji oleh scholars kolonial,
seperti Snouck Hurgronje, yang berusaha memahami maksud dan tujuan orang-orang pribumi
menggunakan barang-barang keramat tersebut. Sebab, pemerintah Belanda khawatir,
jika jimat-jimat orang pribumi tidak dikaji dan dipahami, maka akan menjadi senjata
ampuh dalam menggulingkan kekuasaan kolonial yang ingin “tiga ratus tahun lagi”
di Nusantara.
Kolonial yang Terjungkal: Ketakutan Penjajah Terhadap Jimat
Pemberontakan
rakyat di Banten (1888) dan Garut (1919) adalah dua dari sekian kasus di Hindia
Belanda. Dan, dalam konteks ini, jimat atau benda-benda kedigdayaan juga menjadi
faktor gerakan massa, yang membuat kolonial sangat gusar, dan sekaligus ketakutan.
Alhasil, pemerintah Belanda membuat kebijakan (pengawasan dan penangkapan) terhadap
pembuat dan pengguna jimat, hingga guru-guru agama dan komunitas tarekat,
seperti Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah (Bruinessen, 1995: 27). Dengan demikian,
jimat, rajah, dan kelompok tarekat merupakan sebuah “momok” yang sangat ditakuti
oleh orang-orang “modern” kala itu.
Dalam Islam
Pasca-Kolonial (2016), Baso mengatakan, bahwa kolonial “gagal” dalam memahami
jimat yang dipakai masyarakat pribumi. Karena makna-makna di balik jimat tersebut
bersifat dinamis, dan selalu lepas dari pemaknaan tunggal. Namun, menurut Baso,
secara simultan kaum kolonial mempunyai ambisi untuk memaknai benda-benda (yang
dianggap) magis itu secara mapan dan terpadu (Baso, 2016: 253-254). Oleh karena
itulah, pemerintah Belanda menganggap penting meneliti dan memahami maksud dari
berbagai jimat kaum pemberontak itu.
Salah satu
sarjana kolonial (orientalis) yang memiliki tugas mengkaji tentang jimat-jimat tersebut,
ialah Snouck Hurgronje (1857-1936). Intelektual asal Belanda ini, selain meneliti
tentang kehidupan bangsa jajahan (Timur), juga sering kali memberi masukan kepada
pemerintah Belanda dalam memberlakukan kebijakan, terutama ihwal jimat dan rajah.
Hal ini dapat kita lihat dari surat-surat Snouck Hurgronje kepada Pemerintah Belanda
dalam Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada
Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Vol. VII & X (INIS, 1992
& 1994).
Dalam rangka
mencegah instabilitas sosial dan politik, menurut Snouck, tentang jimat (praktik,
penyebaran, dan perdukunan) tersebut harus diawasi oleh polisi, dan bisa dihukum
pidana, kendati aktivitas mereka lebih bersifat hakikat dan dilakukan secara gelap
(sukar dibaca kepastiannya). Mengenai hal ini, Snouck Hurgronje menulis surat
kepada pemerintah Belanda, sebagai berikut:
“Bukan hanya praktik jampi, penyebaran jimat, atau kerasukan
dan ramalan bikin-bikinan, tetapi juga penujuman (perdukunan) bisa tergolong perbuatan
yang diancam dengan pidana polisi, biar pun perbuatan ini sedikit berbeda dari semuanya
itu dalam sifat dan hakikat” (ditulis 5
September 1890 dalam Gobee & Adriaanse, VII: 1310).
“Para pemasok (jimat) dan sebagainya, mereka biasanya bekerja
secara gelap, terbukti sebaik-baiknya melalui pemberitaan naif dari beberapa residen,
bahwa orang seperti itu di keresidenan mereka tidak ada lagi. Sebenarnya di
mana pun mereka tidak hilang. Sebaliknya, seperti sudah dicatat oleh banyak kepala
Pemerintah Daerah lainnya dengan tepat, bahwa terhadap mereka tidak dapat diadakan
pengawasan secara teratur. Begitu pula perjalanan mereka hanya dapat dicoba ditelusuri
oleh polisi rahasia” (ditulis
30 April 1904 dalam Gobee & Adriaanse, VII: 1234).
Selain itu,
Snouck juga menganjurkan hukuman pidana bagi mereka (kaum pribumi) yang mengaku
sebagai “Eru Cakra”, “Ratu Adil”, “Panatagama”, “Mahdi”, “Muraidin”, dan sejenisnya,
yang memiliki kesaktian dan dapat menimbulkan “perpecahan” di antara penduduk pribumi
(Gobee & Adriaanse, VII: 1313-1315). Bahkan, ia menulis surat-surat khusus tentang
“oknum-oknum yang dianggap membahayakan ketenteraman dan ketertiban” tersebut (dalam
Gobee & Adriaanse, X: 2067-2135). Demikian menjadi jelas, bahwa kaum yang mendaku
“liberal” itu justru takut dengan benda spiritual-magis masyarakat pribumi. Karena,
menurut mereka, benda-benda itu berpotensi membahayakan kekuasaan mereka di Hindia
Belanda.
Dari rekomendasi
Snouck kepada pemerintah Belanda di atas, kita dapat melihat bagaimana kekuasaan
kolonial merasa takut terhadap jimat yang dapat mengancam status quo kolonialisme
saat itu. Sehingga, bagi mereka, harus ada pengawasan dan penaklukan orang-orang
yang menyebarkan jimat dan berbagai ajaran (Islam) yang dituduh “menyimpang”. Ketakutan
Kafir Olanda ini merupakan respons politik atas pemberontakan yang telah
terjadi di Jawa selama abad ke-19.
Menurut Harry
J. Benda (1985), secara tradisional, sikap Belanda semacam tersebut dibentuk oleh
kombinasi kontradiktif antara “ketakutan” dan “harapan” yang berlebihan. Kedua
hal ini, lanjut Benda, disebabkan oleh kekurangan pengetahuan atau informasi yang
tepat (Benda, 1985: 41). Sehingga rasa ingin tahu dan kekhawatiran terhadap jimat-jimat
itu, membuat mereka (kaum kolonial) harus melakukan berbagai strategi politik dan
hukum untuk mempertahankan kekuasaan Belanda. Di satu sisi, kaum kolonial berusaha
memahami dan menaklukkan Timur, namun di sisi yang lain, mereka justru khawatir
(ketakutan) terhadap hal-hal baru di wilayah jajahan—yang sukar dipahami (Said,
1979: 59).
Kaum kolonial berusaha memahami dan menaklukkan Timur, namun di sisi yang lain, mereka justru khawatir (ketakutan) terhadap hal-hal baru di wilayah jajahan
Dengan demikian, secara historis, kita bisa memahami, bahwa “kegagahan” kolonial (Barat) di hadapan kita (Timur) adalah sebuah kepalsuan semata. Kecongkakan dan kebesaran mereka selama ini, sesungguhnya tak lebih dari “ketakutan” mereka terhadap bangsa kita, termasuk kebudayaan, pandangan hidup, dan segala hal yang tidak diketahui oleh mereka. Salah satunya takut pada benda (yang dianggap) keramat oleh bangsa kita. Sehingga, kita tidak lagi memiliki alasan untuk merasa inferior di hadapan mereka. Apalagi harus repot-repot meniru dan memakai cara mereka “melihat” kita. Wallahu a’lam.
Rujukan
Baso,
Ahmad, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Reformisme Agama, Kolonialisme,
dan Liberalisme (Tangerang: Pustaka Afid, 2016)
Benda,
Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidae (Bandung: Pustaka Jaya, 1985)
Bruinessen,
Martin van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994)
Gobee, E
dan C. Adriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya
Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Volume VII & X, terj.
Sukarsi (Jakarta: INIS, 1992 & 1994)
Hajid T.,
Anan, Orang Jawa, Jimat, dan Makhluk Halus (Yogyakarta: Narasi, 2005)
Kartodirdjo,
Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Komunitas Bambu,
2015)
Said,
Edward, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979)
Suminto, Aqib,
“Peristiwa Garut 1919, Titik Balik Kejayaan Sarekat Islam”, Prisma, No. 11
(1984)
Posting Komentar