Tahun 1943, seorang revolusioner Ibrahim Datuk Sultan
Malaka atau yang lebih kita kenal sebagai Tan Malaka, menulis sebuah buku tebal
yang berjudul MADILOG: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Melalui buku ini,
Tan Malaka ingin membebaskan bangsa Indonesia dari masyarakatnya yang cara berpikirnya
menggunakan logika mistika atau percaya kepada hal-hal mitos. Baginya, terjebak
dalam pola pikir yang irasional atau percaya pada hantu, roh halus, kutukan
ataupun sesuatu yang tidak bisa diuji kebenaranya oleh sains dan rasio
merupakan penyebab dari kemunduran bangsa Indonesia. Rasio, logika, dan
dialetika menjadi sebuah solusi darinya agar masyarakat Indonesia terbebas dari
logika mistika.
Meraba gagasan dari Tan Malaka, tumbuh pertanyaan yang bergejolak dalam pikiran saya, bagaimana jika mitos itu lebih relevan menjadi alat untuk konservasi alam? Bagaimana jika cerita-cerita mitos leluhur itu yang kita anggap tidak rasional, tidak logis, malah menyimpan kearifan ekologi yang hari ini lebih efektif daripada pengetahuan modern? Inilah yang ditawarkan konsep ekomitologi
Ekomitologi, sebuah istilah yang
merujuk pada kegiatan konservasi alam melalui mitos-mitos masyarakat adat. Dalam
banyak komunitas adat-mulai dari Baduy di Banten, Samin di Jawa, Dayak di
Kalimantan, atau hutan yang terkenal angker, seperti alas purwo di Banyuwangi,
Hutan sungai bening di Kalimantan Barat, dan alas roban di Batang, yang mana
dari situ kita mendapatkan cerita-cerita roh hutan, larangan menebang pohon
tertentu, atau ritual pemulihan alam yang dilakukan secara turun-temurun.
Dalam berbagai ilmu pengetahuan modern, mungkin hal ini menjadi sekedar kepercayaan kuno yang hanya sebatas angin lewat. Tetapi secara praksis, mitos-mitos ini menjadikan masyarakat lokal atau pengunjung tidak merusak hutan, menjaga siklus air, dan hidup seimbang dengan alam. Dalam lingkup krisis iklim ini, mereka yang disebut primitif, kuno, dan kolot, malahan yang memberi kita pelajaran tentang keberlanjutan hidup dengan menghidupkan local wisdom.
Bagi Foucalt, apa yang hari ini kita sebut sebagai
“pengetahuan rasional” tidak bisa dipungkiri merupakan hasil dari sejarah kuasa
yang menyingkirkan berbagai bentuk pengetahuan lainnya. Termasuk mitos dan
kosmologi lokal. Rasionalitas yang diagung-agungkan dalam proyek besar modern,
seperti halnya dalam Madilog-nya Tan Malaka, bukanlah sebuah bentuk kebenaran
tunggal, melainkan sebuah wacana yang lahir dari pergulatan politik,
kolonialisme, dan institusi-intitusi modern. Dari hal tersebut, masyarakat adat
yang masih secara tidak langsung merawat alam melalui mitos, bukan sebagai
sisa-sisa mitos yang irasional, tapi sebagai pengetahuan ekologis yang telah
lama disubversi oleh modernitas. Berarti, mitos-mitos yang dijaga oleh
masyarakat adat bukan sekedar menjadi kebalikan dari logika, melainkan gugatan
kebenaran yang selama ini mendiskreditkan mitos sebagai musuh kemajuan.
Kritik Tan Malaka terhadap logika mistika tetap menjadi penting, terutama saat ia menyerang bentuk-bentuk pemikiran yang membuat masyarakat pasrah, dogmatis, dan bahkan taqlid buta. Tapi perlu diakui juga, bahwa Tan Malaka menggeneralisasi istilah “mistika.” Ia tidak membedakan mistika yang memastikan nalar dan mistika yang menyuburkan relasi manusia dan alam. Barangkali, jika Foucalt masih hidup hari ini atau se-zaman dengan Tan Malaka, ia akan mempertanyakan ulang gagasan Tan Malaka: mistika siapa yang dimaksud? Dan logika siapa yang dijadikan standar? Jika mitos dan kepercayaan lokal yang mampu dan efektif merawat ekosistem dihapus, maka upaya menghapusnya demi rasionalisasi justru bisa berarti menghapus bentuk kearifan ekologis yang hidup
Tan Malaka menolak logika mistika. Tapi masyarakat adat membuktikan, kadang logika mistika lebih rasional. Dengan membaca ulang mitos sebagai alat untuk konservasi alam, kita tidak hanya memberi tempat bagi pengetahuan yang disingkirkan, tetapi juga membuka ruang bagi epistemologi alternatif-cara mendapatkan sebuah pengetahuan yang berakar dari relasi sakral antara manusia dan alam. Dan juga, Ekomitologi mengajarkan kita bahwa kebenaran tidak selalu datang dari rumus dan rasionalitas modern, ia juga bisa lahir dari cerita, simbol, dan rasa takut yang bersifat kosmologis. Dalam konteks ini, logika mistika yang dulu dianggap oleh Tan Malaka sebagai penyebab kemunduran bangsa Indonesia, bisa dibaca ulang sebagai resistensi ekologis. Maka dari itu, tantangan hari ini bukan hanya menyelamatkan lingkungan, tetapi juga menyelamatkan berbagai bentuk pengetahuan yang mampu merawat lingkungan. Barangkali dalam dunia yang berisik penuh dengan data dan algoritma, kita juga butuh Kembali mendengar bisiskan hantu penjaga hutan.
Penulis : M Iqwan Widana
Posting Komentar