![]() |
Gambar : Komunitas Daras Filsafat |
Pada akhir tahun 1970-an, sejumlah
kecil kalangan orientalis
mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa penting yang di tulis oleh sebagian Muslim tentang catatan sejarah
Islam,
seperti sejarah awal
peradaban Islam, Shirah Nabiwiyah dan beberapa literatur kesejarahan tidak memiliki landasan konteks sejarah. Alur penalaran ini
awalnya dimulai oleh beberapa sejarawan
seperti Patricia
Crone dan Michael Cook, sebuah narasi
singkat dalam karyanya yang mereka tulis “The traditional account
of the rise of Islam is a monumental fabrication” Terj. Kisah tradisional tentang kebangkitan Islam
merupakan rekayasa yang monumental, (Hagarism;
The Making Of The Islamic World Crone, Cook, hal. 3, 1977). Meskipun
kemudian, pada akhirnya
mereka menarik
kembali hipotesis dengan menganggapnya tidak berdasar dan terlampau ekstrim. Hal ini terjadi setelah banyak bantahan dan kritik oleh para ahli sejarah
dan akademisi barat
yang menentang seperti Fred Donner, Angelika
Neuwirth, Gregor Schoeler, dkk.
Di abad modern ini, ketika ilmu
pengetahuan terus menggugat narasi-narasi lama, muncul pula suara-suara yang
mempertanyakan dasar-dasar historis agama besar dunia, termasuk Islam. Memang tidak dapat dielakkan bahwa dalam sejarah panjang peradaban, agama selalu menjadi salah satu medan
paling keras dalam perdebatan identitas, kuasa, dan kebenaran. Salah satu suara
yang paling kontroversial pada
dekade abad ini yang berasal dari Daniel Gibson atau dikenal dangan nama penanya Dan Gibson, seorang peneliti independen yang mengklaim bahwa seluruh narasi
tradisional tentang Nabi Muhammad SAW dan kota suci Mekah adalah hasil rekayasa sejarah.
Daniel Gibson menuangkan
hasil tesisnya melalui bukunya “Let the Stones Speak:
Archaeology Challenges Islam, Dan Gibson juga meluncurkan sebuah
proyek yang ia sebut Project Nabatean. Inti dari proyeknya ialah sebuah teori
yang menyatakan bahwa kota suci Islam yang asli bukanlah Mekah, melainkan Petra. Sebuah kota kuno di Yordania
yang dulunya merupakan pusat peradaban Nabatean. Lebih dari itu, Gibson bahkan
menyiratkan kecurogaan bahwa Nabi Muhammad SAW mungkin atau
barangkali hanya tokoh fiksi, atau paling tidak merupakan sosok
yang disengaja dibentuk untuk membangun legitimasi keagamaan dan politik
dinasti-dinasti awal Islam.
“I think there was a real Muḥammad, around the time that Islamic history
describes him. I think the historical dates could have been out by as much
as 20 years, but overall they are quite accurate. I believe this because there
are always issues matching up one civilization’s histories with another. I
believe that Muḥammad was born in a city known as Mecca, but that city also had
other names, including Rekem, Seir, Sela, and Petra. The later Islamic
writers used the name of Mecca for both Petra in Jordan and Mecca in the Hijaz.
In time their identities merged into one memory of one place in Saudi Arabia,
rather than two.” - Dan Gibson, Let the Stones Speak, hlm. 253.
Klaim-klaim yang semacam itu tentu bukan hanya menantang narasi keagamaan yang telah hidup selama lebih dari 14 abad, tetapi juga menyentuh
jantung spiritual miliaran Muslim di seluruh dunia. Maka pertanyaannya:
benarkah klaim Gibson sahhih secara ilmiah? Atau sebaliknya, apakah ada kelemahan
metodologis dan logis yang justru membuat teorinya rapuh sejak awal?
Kesalahan Logika Historis
Salah satu argumen yang utama dalam bukunya mengenai bangunan masjid-masjid periode
awal yang tidak mengarah ke Mekah, melainkan ke
Petra. Dr. David A. King seorang
sejarawan sekaligus direktur
Institut Sejarah Sains di Universitas Johann Wolfgang Goethe menantang metodologi Gibson ini, dengan menyatakan bahwa asumsi yang dibuat tentang orientasi masjid
adalah cacat. Dia menekankan dan
menggarisbawahi dalam bantahannya bahwa umat Islam awal memiliki alat dan teknik yang terbatas untuk
menentukan arah kiblat, yang melemahkan kesimpulan Gibson tentang keakuratan
orientasi yang
dilakukannya. David
King melihat kesimpulan Gibson mengenai orientasi
masjid awal didasarkan pada teknologi GPS modern, yang mungkin tidak secara
akurat mencerminkan konteks sejarah dan praktik-praktik komunitas Islam
awal. Gibson terlalu bergantung pada alat kontemporer yang dapat
menyebabkan salah tafsir terhadap data historis.
Dr. David A. King, pakar sejarah sains
Islam, menjelaskan dalam
artikelnya Archaelogy Challenges Islam. Bahwa umat Islam awal menentukan arah kiblat dengan menggunakan observasi matahari dan
bintang, bukan dengan alat navigasi canggih seperti GPS atau kompas modern. Dalam
konteks geografis dan teknologis abad ke-7, wajar saja bila arah kiblat
tidak presisi. Sanggahan Dr.
David A. King menyoroti perlunya pendekatan yang lebih bernuansa dalam
mempelajari sejarah Islam awal, dengan menganjurkan pemeriksaan yang cermat
terhadap sumber-sumber primer dan tidak hanya mengandalkan interpretasi
kontemporer.
Pengabaian
Epistemologi Islam
Kelemahan kedua
dari Project Nabatean adalah kecenderungannya untuk
mengabaikan seluruh narasi tradisional Islam karena dianggap tidak sahih secara
historiografis. Gibson meragukan validitas Al-Qur’an, hadis, dan sÄ«rah Nabi
karena ditulis secara tertulis ratusan tahun setelah wafatnya Muhammad SAW.
“The study of early
Islamic manuscripts comes with its own set of problems. The most glaring issue
is the absence of Islamic documents from the first two centuries of Islamic
history. Almost everything we know of early Islam comes from manuscripts starting
in the third century of Islam. In order to understand the first years of Islam, researchers have had to
rely on manuscripts written two and three hundred years after the fact, at the
earliest.
Whole careers have been established on certain assumptions that are now
up for debate. Long established consensus now needs to be revisited and
reweighed. One cannot simply accept the conclusions of secondary materials from
the last two centuries—everything must be reconsidered in the light of this new
data.” – Dan Gibson
“Kajian terhadap manuskrip Islam awal
memiliki tantangan tersendiri. Masalah yang paling mencolok adalah tidak
adanya dokumen Islam dari dua abad pertama sejarah Islam. Hampir
semua yang kita ketahui tentang Islam awal berasal dari manuskrip yang
baru ditulis pada abad ketiga Hijriyah.
Untuk memahami tahun-tahun pertama Islam, para peneliti harus bergantung
pada manuskrip yang ditulis dua hingga tiga abad setelah
peristiwa-peristiwa tersebut, bahkan dalam kasus terbaik sekalipun.
Seluruh karier akademik
telah dibangun di atas asumsi-asumsi tertentu yang kini patut
dipertanyakan. Konsensus yang sudah mapan harus ditinjau ulang dan
dievaluasi kembali. Tidak bisa kita hanya menerima kesimpulan dari sumber
sekunder selama dua abad terakhir—semuanya harus dipertimbangkan ulang dalam
terang data baru ini. –
Dan Gibson
Secara tidak langsung Dan Gibson menyatakan bahwa sejarah awal Islam sebagaimana dipahami dari sumber
tradisional termasuk Al-Qur’an, hadis, dan sirah Nabi Muhammad
SAW bukanlah catatan sejarah yang orisinal dan murni, melainkan produk
rekonstruksi politik yang disengaja oleh elit kekuasaan, khususnya pada masa
kekuasaan Umayyah dan tokoh seperti al-Hajjaj bin Yusuf. Gibsong secara tidak langsung pula meragukan validitas seluruh sumber literatur Islam, karena menurutnya
terlalu lama setelah kejadian, sehingga tidak dapat diandalkan untuk
memahami peristiwa yang sebenarnya terjadi pada masa Nabi Muhammad. Dalam
konstruksi Gibson, kebenaran sejarah Islam lebih bisa digali dari bukti arkeologis
dan geospasial seperti arah kiblat masjid, ketimbang narasi tekstual dari
Al-Qur’an dan hadis.
Lebih lanjut, dalam bukunya Dan Gibson menyinggung peran al-Hajjaj bin Yusuf, seorang gubernur Umayyah yang
dikenal sebagai administrator yang keras secara
psikologis dan merupakan tokoh yang memegang kendali atas
penyebaran mushaf Al-Qur’an, yang juga berperan sangat besar dalam
mengkonsolidasikan teks dan arah kiblat ke Mekah. Dalam narasi ini, Dan Gibson sangat mencurigai ada indikasi orientasi politis dengan memindahkan simbol-simbol keagamaan sebagai
tindakan rekayasa, bukan narasi ilmiah keagamaan yang
organik.
Namun, tidak sedikit para pakar sejarah mengkritisi pendekatan metode yang dilakukan Gibson ini terlebih dalam tesisnya di anggap gagal dan kurang memahami tradisi ilmiah dalam Islam, khususnya sistem sanad atau rantai
periwayatan, yang sangat ketat dan teruji. Para ulama Islam tidak sekadar
mencatat cerita; hikayat
bahkan mitos mereka menyusun silsilah perawi dan menilai
kredibilitas mereka secara ketat. Banyak
para sejarawan dunia seperti sejarawan modern
Jonathan A.C. Brown juga mengakui bahwa metodologi hadis merupakan salah satu sistem
dokumentasi sejarah paling kompleks dan terpercaya yang pernah dikembangkan
oleh peradaban manusia.
Dapat dipahami bahwa Buku Let the Stones Speak karya Dan Gibson ini merupakan contoh nyata
bagaimana pendekatan arkeologis yang radikal dapat mengguncang narasi-narasi
besar dalam sejarah agama. Dimulai
dari analisis terhadap orientasi qibla masjid-masjid awal dan pembacaan
kritis terhadap sumber tradisional Islam, hingga usulan mengenai teori kontroversial bahwa pusat Islam awal bukan di Mekah, melainkan di
Petra. Ia bahkan menyiratkan bahwa narasi tentang Nabi Muhammad SAW dan
Al-Qur’an mungkin telah dibentuk ulang oleh kekuasaan politik.
Namun, pendekatan Gibson mengundang banyak perdebatan dari kalangan para ahli sejarah sebagaimana Dr. David A. King. Meski begitu, karya Gibson tetap memiliki nilai dalam membuka ruang diskusi tentang pentingnya pendekatan multidisipliner dalam memahami sejarah. Buku ini mengajak para pembacanya untuk mempertimbangkan bagaimana temuan arkeologi dapat memperluas wawasan atau bahkan kehadirannya menantang cara kita memahami masa lalu. Namun, penting untuk menegaskan bahwa pendekatan semacam ini harus dilakukan dengan pertimbangan antara bukti ilmiah dan sensitivitas terhadap keyakinan agama. Maka dari itu, dapat di pahami bersama bahwa diskusi antara komunitas ilmiah dan komunitas beragama harus bersifat dialogis, terbuka, dan saling menghormati. Pasalnya, keduanya bukan musuh, tetapi cermin yang bisa saling melengkapi dalam memahami siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita menafsirkan kebenaran. Dalam dunia yang semakin plural dan kritis, dialog lintas disiplin ini bukan hanya penting, melainkan mutlak diperlukan.
Reffrensi
https://understandingislam.today/is-mecca-or-petra-islams-true-birthplace/
Hagarism; The Making
Of The Islamic World Crone, Cook,
hal. 3, 1977
Let the Stones Speak, Canbook Canada, 2023.
https://lampofislam.wordpress.com/2020/08/28/petra-has-nothing-to-do-with-the-origin-of-islam/
Penulis : Fahmi Ayatullah
Posting Komentar