no fucking license
Bookmark

Orbituari Habib Salim Bafagih & Kiai Ach Fauzi Imron : Membangun Pesantren atas Amanat Rasulullah SAW

Ma'had Islamiyah Syafi’iyah atau dikenal dengan MAIS merupakan salah satu pesantren yang ada di Desa Sumberanyar, Paiton, Probolinggo. Dalam sejarahnya, berdirinya pesantren Islamiyah Syafi’iyah tidak lepas dari dua tokoh sentral yang memiliki peran penting yakni alm. KH. Ach Fauzi Imron dan alm. Habib Salim Bin Hasan Bafagih. Pertemuan keduanya membingkai satu relasi persamaan dalam melihat stigma buruk masyarakat terhadap realitas pendidikan khususnya yang ada desa Sumberanyar, Paiton. Perjumpaan KH. Ach Fauzi Imron dengan sosok Habib Salim tidak terduga karena sebelumnya memang tidak saling mengenal, dalam dawuhnya KH. Ach Fauzi menyebut bahwa pertemuan tersebut merupakan sebuah isyarah dan pertemuan itu pertama kali di kediaman bapak Abdurrauf.

KH. Ach Fauzi Imron

Kiai Fauzi, begitu dahulu para santri menyebutnya, Lahir di Desa Sumberanyar, Paiton, Probolinggo, bulan Maret tahun 1959. Pada kisaran tahun 1982 ia mengawali amanat Gurunya yakni KH. Hasan Saifourridzal, sebagai perwakilan dari PP. Zainul Hasan Genggong untuk melanjutkan studi di Iraq, Baghdad. Beliau sendiri meruapakan figur yang terkenal dengan keluasan pengetahuan dalam bidang fiqh, teologi, ekonomi, sastra dan tafsir dan rasanya sudah cukup mengakui kealiman beliau.

Dengan pengalaman belajarnya di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong dan serta mendapatkan pengajaran langsung dari KH. Hasan Saifourridzal bukan menjadi sesuatu yang sulit bagi beliau dalam membangun sebuah pesantren. Namun, dalam perjalanannya, sebagai anak yang terlahir dari rahim seorang petani, membangun sebuah pesantren merupakan suatu yang amat berat terlihat bagaimana di setiap langkahnya pada saat awal-awal membangun sebuah pesantren acapkali diiringi dengan gunjingan dan fitnah dari masyarakat sekitar, hingga tak jarang mendapati tuduhan dari tetangga dan keluarganya sendiri.

Dalam sejarah berdirinya Pondok Pesantren Islamiyah Syafi’iyah ada momen-momen yang mungkin tidak bisa dijelaskan dengan logika, namun banyak santri yang menjadikan momen Hikayat ini dengan pendekatan hikmat, pertemuan KH. Achmad Fauzi Imron dengan Habib Salim bin Hasan Bafagih contohnya. Sebuah momen pertemuan yang tidak direncanakan kecuali takdir.   

Habib Salim Bin Hasan Bafagih

Habib Salim sendiri merupakan seorang wali kasyaf dari Sulawesi. Ia semula tidak mengenal KH. Fauzi sebelumnya, tidak ada hubungan pertemanan atau komunikasi yang mendahuluinya. Namun begitu bertemu, tanpa ragu, Habib Salim memanggilnya dengan sebutan “Kiai.” Sebutan yang tidak main-main, sebab saat itu KH. Fauzi bahkan baru pulang dari studinya di Baghdad dan belum mendirikan pesantren.

Kiai, sampeyan harus punya pesantren. Kasihan umatnya Nabi Muhammad SAW. Sekarang banyak orang yang susah dalam pendidikannya. Banyak yang putus sekolah. Yang SD tidak lanjut SMP, yang SMP pun banyak berhenti di tengah jalan,” tutur Habib Salim dengan sorot mata yang mengandung beban amanat yang agung.

KH. Fauzi sempat terdiam. “Kenapa harus saya, Bib?” tanyanya lirih, seperti orang yang belum siap memikul sesuatu yang begitu besar. Tetapi Habib Salim menjawab dengan kalimat yang justru membuka tabir-tabir rahasia dirinya.

Sampeyan itu sudah tiga kali ziarah ke maqbarah Nabi. Sudah ziarah ke Sayyidina Ali. Nabi pernah bersabda: Ana madinatul ‘ilm wa ‘Aliyyun babuha Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Sampeyan sudah masuk melalui pintu yang benar. Maka, sampeyan harus membangun pesantren, dengan membawa amanat Nabi: Ummati, ummati, ummati.”

KH. Fauzi, yang selama ini menjalani perjalanan keilmuan secara bertahap seakan mendapati dirinya tatkala dibaca begitu terang oleh seseorang yang bahkan belum pernah bersua dengannya sebelumnya. Barangkali di situlah titik haqqul yaqin itu muncul sebuah keyakinan yang lahir dari pengakuan ruhani.

Habib Salim dikenal sebagai wali yang kasyaf begittu banyak santr-santri yang mengenalnya, pertemuan kedua tokoh tersebut seakan menjadi pengingat kepada seluruh santri Ma’had Islamiyah Syafi’iyah bahwa Habib Salim Bin Hasan Bafagih datang bukan untuk mengajarkan sesuatu kepada KH, Ach Fauzi Imron, tetapi untuk menyadarkan bahwa perjalanan panjang KH. Fauzi sejatinya bukan sekadar perjalanan mencari ilmu, melainkan penempaan menuju sebuah amanah besar: membangun peradaban dari desa khususnya di desa Sumberanyar dengan ruh kenabian yang besar yakni membangun pesantren.

Awalnya, pesantren yang dirintis oleh KH. Achmad Fauzi Imron dibangun di sebidang tanah seluas dua ratus lima puluh meter persegi, tepat di rumah orang tuanya sendiri, di Desa Sumberanyar. Beliau mulai dari apa yang ada, dari yang sedikit, tanpa pikir panjang. Semula beliau percaya bahwa yang terpenting bukanlah besar-kecilnya tempat, tapi keikhlasan niat di awal langkah. Namun, belum genap sebulan sejak pembangunan itu dimulai, datang kembali Habib Salim bin Hasan Bafagih guru ruhani yang dalam pandangan banyak orang adalah sosok wali majdzub, seseorang yang melampaui batas nalar biasa. Habib Salim tampak terkejut saat pertama kali melihat lokasi pembangunan tersebut. Ia berhenti sejenak, memandang sekeliling, lalu berkata dengan tegas, “Lho, kok di sini? Bukan di sini, ini bukan tempatnya.”

KH. Fauzi yang mendengar itu hanya bisa mengernyit, mencoba memahami maksudnya. “Terus di mana, Bib?” tanyanya seakan beliau menahan rasa bingung.

Tanpa banyak penjelasan, Habib Salim mengajak berjalan kaki menyusuri ke arah timur jalan kecil yang tak jauh dari lokasi pertama. Mereka terus melangkah hingga tiba di sebuah hamparan sawah yang luas, dan masih milik orang lain bukan meilik sendiri. Di titik selatan samping kuburan itulah Habib Salim berhenti, memandang hening ke sekeliling, lalu berkata, “Tadi malam saya dibawa Rasulullah SAW ke tempat ini. Diantar sendiri. Ini tempatnya.

Tak ada yang bisa dikatakan oleh KH. Fauzi saat itu selain diam penuh takzim. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Habib Salim mulai mengukur batas tanah di sekeliling mereka, luasnya kira-kira lima hektar, padahal sejengkal pun bukan milik pribadi mereka. Tapi dalam tradisi para arif, keyakinan bukanlah hasil kalkulasi tanah dan surat kepemilikan. Ia tumbuh dari isyarah dan petunjuk yang datang dari arah yang tak terduga.

Lokasi itu kemudian menjadi titik awal berdirinya Pesantren Islamiyah Syafi’iyah yang sesungguhnya dengan pondasi iman. Inilah yang mengistimewakan bahwa pesantren Ma’had Islamiyah Syafi’iyah berasal dari petunjuk yang diyakini sebagai wasilah Rasulullah. Dalam lintasan waktu yang tidak singkat, pesantren yang dirintis oleh KH. Achmad Fauzi Imron itu perlahan menjelma menjadi ruang yang menghidupkan. Di tengah suasana yang masih sangat sederhana, KH. Fauzi mengajarkan pelbagai cabang ilmu keislaman: dari tafsir, fiqh, hingga disiplin ilmu kalam dan sastra biasanya diakhiri dengan pantun jenaka. Namun bagi para santrinya, apa yang disampaikan oleh beliau tak hanya berhenti pada teks-teks kitab, tapi menyentuh urat nadi kehidupan umat yang nyata, begitulah kadang tegang.

Setiap kali membuka pengajian tafsir Jalalain beliau mengajarkan keluasan makna Al-Qur’an dalam bahasa yang sederhana ditambahi dengan analogi yang dekat juga kerap menyelipkan kritik atas keadaan sosial di sekitarnya. Kritik-kritik beliau terhadap kekuasaan yang korup misalnya, birokrasi yang bebal, dan pejabat yang hanya sibuk pada pencitraan, terdengar lugas namun tetap dengan ruh keulamaan tidak hanya itu hingga menjadi tuan rumah saat menjelang kampanye pemilihan kepala desa.

Dalam beberapa kesempatan dawuhnya KH. Fauzi menyampaikan bahwa pesantren bukanlah pabrik yang mencetak lulusan patek potong / anjing tanpa tulang. Beliau tidak ingin para santrinya menjadi pengikut yang pasif yang gemar menggonggong cuma tidur makan lalu ngroweng, mbacot. Dan di berbagai kesempatan, KH. Fauzi berulang kali menegaskan: pesantren ini bukan miliknya. Ia hanya pelayan, bukan pemilik tertuju kepada para santri, keluarga santri, hingga para abdi ndalem, ia kerap menyampaikan sebuah pesan mendalam, “Ini bukan pesantren saya. Ini milik Allah. Kalau kamu bangun pesantren untuk Allah, maka rezekinya seluas samudra. Tapi kalau kamu bangun untuk dirimu, siap-siap kecewa. Karena rezeki dirimu itu terbatas.”

Ungkapan melainkan prinsip hidup yang beliau pegang teguh hingga akhir hayatnya. Menafikan kepemilikan pribadi atas pesantren bukan semata bentuk kerendahan hati, tetapi juga pendidikan mental yang mendalam bagi semua yang terlibat. Ia ingin membangun kesadaran bahwa pondok adalah amanah umat. Ia lahir dari semangat gotong royong, bukan modal tunggal. Seluruh fasilitas, makanan, bangunan, hingga kitab-kitab yang digunakan, semuanya adalah hasil dari partisipasi ikhlas banyak orang—terutama para wali santri yang memberikan dukungan bukan dengan pamrih, tapi dengan keyakinan.

Etos itu ia warisi dari gurunya di Genggong, Syaichil Arif KH. Mohammad Hasan—seorang alim besar yang dikenal tak betah menyimpan uang lebih. Dalam banyak riwayat, KH. Hasan digambarkan sebagai sosok yang gelisah bila masih memiliki sisa rejeki di malam hari. Ia akan segera membaginya kepada masyarakat sebelum hari berganti. Bukan karena ingin disebut dermawan, melainkan karena keyakinan bahwa kelebihan adalah beban yang harus disalurkan.

KH. Fauzi tidak hanya meniru teladan itu, tetapi menjadikannya jalan hidup. Ia menolak mentah-mentah gagasan bahwa pesantren bisa menjadi kerajaan keluarga. Ia tidak mau pesantren menjadi alat akumulasi kekuasaan. Bagi beliau, pesantren adalah rumah bersama—siapa pun boleh masuk, belajar, dan mengabdi. Ia bukan menara gading, tapi pesantren terbuka untuk siapa saja yang ingin tumbuh di bawah naungan ilmu.

Nama Islamiyah Syafi’iyah yang disematkan pada pesantrennya adalah bagian dari wasiat guru beliau. Sedangkan nama tambahan Nahdlatul Ummah, yang berarti “kebangkitan umat,” adalah penegasan ideologis dari arah perjuangannya. Dan benar, seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk hal itu. Sampai kemudian, pada hari Ahad, 1 Ramadhan 1443 Hijriah (bertepatan dengan 4 April 2022 Masehi) di hari pertama bulan yang penuh rahmat beliau menghembuskan napas terakhirnya. Beliau pergi seperti terasa hidup tanpa pamitan yang megah. Jenazahnya dimakamkan di pesantren yang ia bangun sendiri, beliau meninggalkan seluruh para pecintanya dan meninggal dalam keadaan sebagai pelayan yang telah menuntaskan tugasnya.

Kepadamu aku memandang dan kepada dirikulah orang lain melihat hasil jerit payah mu - alm KH. Ach Fauzi Imron Lc. M. Sc

Wallahu a’lam Bishowwab

Penulis : Fahmi Ayatullah

 

 

 


Posting Komentar

Posting Komentar