no fucking license
Bookmark

Antara Nasab dan Akidah: Gerakan Islam Meritokratis

Ilustrasi AI

Di tengah riuhnya kehidupan beragama hari ini, banyak orang masih terjebak pada simbol dan gelar. Salah satunya glorifikasi nasab. Label keturunan Nabi seakan menjadi jaminan suci, seolah-olah keimanan dan kebenaran otomatis melekat hanya karena garis keturunan. Ini bukan cuma keliru, tapi juga berbahaya ketika berujung pada pembodohan umat secara sistematis. Dalam satu sesi tafakur, muncul perenungan mendalam nasab dan akidah, mana yang lebih menentukan arah hidup beragama? Jawaban dari pertanyaan ini penting karena saat ini banyak tokoh yang dielu-elukan bukan karena intelektualitas atau akhlaknya, tapi semata-mata karena nama keluarganya.

Kita sedang hidup dalam zaman di mana garis keturunan tertentu mendapatkan tempat istimewa dalam struktur sosial keagamaan, seolah mereka adalah perantara tunggal menuju Tuhan. Nama-nama besar, seperti Habib Ba'alawi, dikultuskan secara masif tanpa telaah kritis atas apa yang mereka ajarkan, perjuangkan, dan wariskan. Sementara mayoritas umat Islam di Indonesia masih berada dalam kategori awam dan "abangan", mudah sekali dipengaruhi oleh simbol dan gelar, bukan substansi ajaran.

Simbol Nasab dan Realitas Akidah

Fenomena pengultusan kelompok keturunan Nabi terutama yang mengatasnamakan diri sebagai Habib Ba’alawi semakin masif. Mereka tampil di podium-podium keagamaan, memikat publik dengan penampilan religius, tetapi isi dakwahnya seringkali kosong dari substansi. Tak jarang, sebagian dari mereka bahkan melontarkan ujaran eksklusif, mengklaim kebenaran hanya milik “dzurriyah”, dan umat harus tunduk tanpa berpikir. Sementara itu, mayoritas umat Islam Indonesia masih berstatus awam. Mereka religius secara kultural, tetapi minim dalam literasi teologis. Ini membuat mereka sangat rentan dipengaruhi simbol gelar Arab, sorban, dan klaim nasab. Kritik terhadap tokoh tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap Nabi, padahal yang dikritik adalah penyimpangan perilaku dan ajaran.

Ini bukan hanya ironi, tapi tragedi sosial. Mereka mengendarai romantisme sejarah untuk membungkus ambisi politik, ekonomi, dan kekuasaan. Umat dijebak dalam takhayul struktural seolah-olah mengikuti "habib" adalah tiket otomatis menuju surga, tanpa perlu mempertanyakan isi ceramah, konsistensi sikap, atau integritas moral mereka. Kultus ini, sadar atau tidak, telah membodohi banyak lapisan masyarakat. Teriakan-teriakan "ya habibana" menggema dalam majelis-majelis yang miskin pencerahan intelektual. Ini bukan ekspresi cinta, tapi bentuk domestikasi akal sehat umat oleh simbolisme palsu.

Dalam sejarah Islam, ini bukan hal baru. Anak Nabi Nuh ditolak sebagai keluarganya karena tidak beriman (QS. Hud: 45-46). Istri Nabi Luth juga celaka karena menolak ajaran suaminya. Al-Qur’an tidak memberikan toleransi kepada siapapun yang menyimpang, meski berasal dari keluarga nabi. Artinya, garis keturunan tidak cukup untuk menentukan kemuliaan seseorang.

Pembodohan Sistematis dan “Feodalisme Spiritual”

Habib yang tidak jelas kompetensinya tetapi tampil sebagai penguasa wacana keagamaan bukan hanya ironi, melainkan bentuk pembodohan sistematis. Mereka bicara soal Islam, tetapi tidak mengajak berpikir. Mereka bicara soal cinta Rasul, tapi memonopoli kebenaran atas nama darah keturunan. Yang terjadi bukan pencerahan, tetapi pengaburan akal sehat.

Inilah bentuk feodalisme spiritual. Dalam feodalisme politik, rakyat tunduk pada raja karena silsilah. Dalam feodalisme agama, umat tunduk pada tokoh karena nasab. Keduanya sama-sama anti-rasional. Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian dari mereka tidak hanya menyesatkan secara pemahaman, tapi juga membangun jejaring politik kekuasaan dan bisnis berbasis kultus.

Sosiolog keagamaan seperti Clifford Geertz sudah lama membagi masyarakat Muslim Indonesia dalam tiga kategori: santri, abangan, dan priyayi. Tapi yang terjadi sekarang, “abangan” justru menjadi ladang paling subur bagi mereka yang menjual simbol. Bahkan di perkotaan, masyarakat menengah ke bawah yang mencari spiritualitas instan lebih tertarik pada penampilan “keturunan Nabi” ketimbang tokoh yang benar-benar alim.

Mayoritas umat Islam Indonesia adalah kaum awam yang religius secara kultural. Mereka mencintai Islam, tetapi belum memiliki kapasitas untuk membedakan antara yang hakiki dan yang manipulatif. Dalam situasi seperti ini, tanggung jawab moral dan intelektual kita bukan untuk ikut melanggengkan mitos nasab, tapi untuk mendidik masyarakat agar mampu membedakan: mana ulama sejati dan mana pencitraan berjubah agama.

Sudah saatnya  berhenti mengukur seseorang dari gelar, nasab, atau penampilan. Mari kita kembali ke ajaran Islam yang mendalam: "Inna akramakum ‘indallahi atqakum" yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa, bukan yang paling panjang silsilahnya.

Keulamaan harus dibangun di atas tiga fondasi: intelektualisme, akhlak, dan profesionalisme. Tanpa tiga hal ini, maka siapa pun yang mengatasnamakan agama meskipun berdarah mulia sekalipun harus ditolak.

Akidah Basis Penilaian Sejati

Dalam Islam, akidah adalah fondasi segalanya. Ketika akidah menyimpang, maka seluruh amal dan pandangan hidup akan ikut menyimpang. Tokoh yang akidahnya bermasalah misalnya menganggap dirinya lebih tinggi dari umat lain karena garis darah adalah sinyal bahaya. Ia bukan menyambung misi kerasulan, tapi memperalatnya. Sayangnya, banyak masyarakat tidak melihat ini. Mereka lebih tertarik pada nama besar daripada isi dakwah. Lebih mendengar “habib” karena labelnya ketimbang menimbang ucapannya secara ilmiah. Ini jelas bertentangan dengan semangat Islam yang mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang dinilai dari takwa dan amal, bukan nasab. (QS. Al-Hujurat: 13)

Ulama seperti al-Ghazali, Ibn Taimiyah, hingga Imam Syatibi sepakat bahwa otoritas keagamaan lahir dari ilmu, akhlak, dan kemanfaatan. Bahkan jika seseorang berasal dari keluarga Rasul sekalipun, jika ia menyimpang dari nilai Islam, maka ia tidak pantas diikuti. Ini kaidah yang tegas dalam warisan keilmuan Islam.

Kritik Bukan Kebencian tapi tanggung jawab

Kritik terhadap fenomena glorifikasi nasab bukan berarti membenci dzurriyah. Tidak ada Muslim yang waras membenci keluarga Rasulullah ï·º. Yang dikritik adalah manipulasi simbol, penyimpangan ajaran, dan pembodohan umat yang dilakukan oleh oknum di balik nama besar. Ada banyak habib yang benar-benar layak menjadi teladan karena ilmunya mumpuni dan akhlaknya luhur: Habib Ali Al-Jufri, Habib Abu Bakar Al-Adni, dan beberapa tokoh lokal seperti Habib Quraish Shihab, Habib Umar Muthohar dan Habib Ja'far tokoh toleransi. Tapi satu atau dua teladan bukan alasan untuk membiarkan yang lainnya bebas menyimpang tanpa kritik.

Jika umat terus-menerus memuliakan nama tanpa menguji isi, maka yang tumbuh bukan ulama, tapi selebritas agama. Yang menyebar bukan dakwah, tapi takhayul. Dan yang lahir bukan keimanan, tapi ketaatan buta.

Sudah cukup umat dijejali simbol. Cukuplah glorifikasi nasab yang dibungkus jubah putih, tapi kosong dari isi. Ke depan, keulamaan harus dikembalikan ke rel yang benar: intelektual, akidah lurus, akhlak yang teruji, dan keberpihakan pada umat. Siapapun yang berbicara atas nama agama harus diuji, bukan dielu-elukan hanya karena silsilahnya panjang.

Nasab yang mulia akan sia-sia tanpa akidah yang lurus. Dan akidah yang lurus tidak membutuhkan nasab untuk menjadi cahaya.

Penulis : Ahmad Mustaqim 

Posting Komentar

Posting Komentar