no fucking license
Bookmark

Komitmen yang Terlalu Cepat: Membongkar Prinsip yang Menyesatkan dalam Hubungan Pra-Nikah

Ilustrasi AI

Banyak orang mengajarkan bahwa jika kita menjalin hubungan, maka kuncinya adalah komitmen. Mereka menekankan bahwa cinta tanpa komitmen itu sia-sia. Maka dari itu, setiap pasangan yang baru menjalin hubungan pun segera dituntut untuk menunjukkan bukti cinta mereka dengan komitmen. Munculnya kalimat seperti "Aku serius sama kamu" atau "Aku pengen kamu jadi yang terakhir" menjadi suatu standar percakapan seolah itu sesuatu yang dewasa dan benar. Padahal, yang mereka sebut sebagai bukti cinta itu sering kali menjadi jebakan.

Komitmen yang terlalu dini adalah janji yang belum punya landasan. Banyak orang terjebak dalam hubungan yang penuh drama, luka, dan harapan palsu karena mereka membangun ekspektasi berdasarkan komitmen yang mereka buat sendiri atau yang ditanamkan pasangan. Komitmen akhirnya menjadi alat untuk memaksa, bukan untuk membangun. Seseorang dipaksa untuk bertahan, bahkan ketika hatinya sudah lelah. Semua karena sudah terlanjur berkomitmen.

Kita harus jujur melihat kenyataan sepeeti luka yang dalam, overthinking, bahkan keputusan ekstrem seperti menyakiti diri sendiri dalam hubungan asmara seringkali bukan karena cinta yang hilang, tapi karena komitmen yang dilanggar. Ketika seseorang percaya bahwa hubungannya akan langgeng selamanya, dan ternyata kandas, maka yang hancur adalah harapan, bahkan menyentuh seluruh kepercayaan diri dan pandangan hidupnya. Dia merasa hidupnya runtuh karena prinsip yang ia tanam sendiri, bahwa komitmen adalah bukti cinta.

Padahal, hubungan sebelum menikah seharusnya menjadi fase belajar, tempat untuk saling mengenal dan menguji kenyamanan. Ketika dua orang saling tertarik, yang mereka butuhkan adalah kehadiran yang konsisten. Mereka butuh kejujuran, keterbukaan, dan waktu untuk benar-benar melihat siapa yang ada di hadapan mereka. Bukan kata-kata manis yang menjanjikan masa depan, tapi tindakan nyata yang terus berulang dan teruji oleh keadaan.

Konsistensi dalam hubungan memberikan ruang yang sehat bagi pertumbuhan. Ia tidak memaksa, tidak menjebak, dan tidak menekan. Sebaliknya, ia memperlihatkan keseriusan yang muncul dari kebiasaan, bukan dari tekanan. Dalam hubungan yang didasari konsistensi, keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri menjadi bagian dari proses yang matang, bukan hasil dari rasa bersalah karena sudah berjanji terlalu jauh.

Komitmen terlalu cepat sering menutup kemungkinan untuk mundur saat dibutuhkan. Padahal, salah satu keberanian dalam hubungan adalah kemampuan untuk berkata, cukup sampai di sini. Tanpa itu, seseorang akan terus mengorbankan dirinya demi mempertahankan sesuatu yang sudah kehilangan makna. Komitmen membuat banyak orang bertahan bukan karena cinta, tapi karena malu, takut dinilai gagal, atau karena merasa sudah terlanjur jauh.

Ada anggapan bahwa tanpa komitmen, hubungan akan rentan putus. Pernyataan ini muncul dari rasa takut akan kehilangan. Namun, kalau seseorang memang ingin pergi, tidak ada janji yang bisa menahannya. Sebaliknya, kalau seseorang ingin bertahan, dia akan tetap di sana, meskipun belum ada kesepakatan tertulis atau janji besar. Justru dalam situasi tanpa ikatan itu, kualitas hubungan akan terlihat lebih jujur. Tidak ada paksaan, yang ada hanya dua orang yang saling memilih setiap harinya.

Kita perlu berani membongkar prinsip lama yang sudah dianggap sebagai fondasi yang kuat ini. Komitmen tidak selamanya menjadi acuan yang baik. Dalam banyak kasus, justru ia menjadi belenggu yang membuat orang tidak bisa bergerak. Ketika hubungan sudah tidak memberi kebaikan, ketika dua orang sudah tidak lagi saling membangun, maka yang dibutuhkan adalah kejujuran untuk mengakhiri. Konsistensi membuat seseorang tahu kapan harus melangkah, sementara komitmen sering membuat seseorang takut untuk melepaskan.

Dalam hubungan pra-nikah, konsistensi lebih masuk akal. Ia membentuk kepercayaan secara perlahan, tidak menuntut keputusan besar di awal, dan tidak menciptakan tekanan emosional yang berlebihan. Konsistensi tidak membuat seseorang merasa bersalah ketika harus memilih ulang. Ia memberi kebebasan, sekaligus tanggung jawab.

Jangan terjebak pada pemahaman bahwa hubungan harus segera dikunci dengan janji-janji besar. Usaha dalam engenal seseorang adalah proses panjang. Tidak semua yang dekat hari ini akan jadi teman hidup esok hari. Maka, daripada mengikat diri dengan janji yang bisa mengikat terlalu dini, lebih baik jalani hubungan dengan konsistensi dan kewarasan.

Kalau hubungan itu baik, sehat, dan terus bertumbuh, maka pada waktunya, komitmen akan datang dengan sendirinya. Tapi kalau sejak awal sudah dicekoki dengan janji, bisa jadi kita malah sedang menanam bibit luka yang akan tumbuh perlahan. Saatnya berhenti mengagung-agungkan komitmen, dan mulai belajar memaknai kehadiran yang konsisten sebagai dasar hubungan yang sehat.

Namun, konsistensi pun bukan tanpa celah. Ia bisa muncul dari kecenderungan seseorang untuk melindungi dirinya sendiri. Dengan terus hadir, memberi perhatian, dan menjaga hubungan tetap berjalan tanpa pernah bicara tentang arah atau masa depan, seseorang mungkin sedang menyelamatkan dirinya dari potensi luka. Konsistensi jadi benteng. Alih-alih menjadi bentuk kasih yang matang, ia bisa menjelma sebagai cara untuk menunda ketakutan, baik takut kehilangan, takut ditolak, atau takut gagal lagi.

Penulis : Naufal Robbiqis Dwi Asta

Posting Komentar

Posting Komentar