no fucking license
Bookmark

Tawaran Epistemologi Sibernetik di Era Ilmu Eksperimental

Altaflix

Apakah pengetahuan adalah cermin pasif dari kenyataan, atau hasil dari keterlibatan aktif manusia dalam dunia? Pertanyaan ini menjadi titik tolak penting dalam perdebatan epistemologis modern. Selama berabad-abad, epistemologi Barat dikonstruksi melalui asumsi representasional: bahwa pengetahuan adalah refleksi akurat dari dunia luar, yang dapat dihimpun oleh subjek yang netral dan tak terlibat

Wacana mengenai epistemologi, sebagai cabang filsafat yang mengkaji hakikat dan sumber pengetahuan, sejak lama didominasi oleh pendekatan representasional. Dalam pendekatan ini, pengetahuan dipandang sebagai representasi atau cerminan dunia luar dalam bentuk proposisi yang benar dan dibenarkan. Tradisi ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran rasionalistik Cartesian dan idealisme Platonik, yang secara tajam memisahkan antara subjek dan objek, teori dan praktik, serta pikiran dan realitas.

Namun demikian, perkembangan ilmu pengetahuan modern, khususnya yang berbasis pada praktik eksperimental, menunjukkan bahwa pengetahuan tidak bersifat pasif dan tidak diperoleh dalam ruang hampa. Melalui artikelnya yang berjudul "Cybernetic Epistemology", Juho Lindholm menyampaikan kritik terhadap epistemologi analitik arus utama dan menawarkan pendekatan alternatif yang berangkat dari filsafat pragmatisme dan sibernetika. Gagasan utama Lindholm berakar pada pemikiran John Dewey dan Charles S. Peirce, serta prinsip-prinsip dasar dalam teori sibernetika yang dikembangkan oleh Norbert Wiener.

Artikel ini mengulas tiga pokok pemikiran utama Lindholm, yaitu: (1) kritik terhadap epistemologi representasional, (2) pentingnya praktik eksperimental dalam proses epistemik, dan (3) pengajuan epistemologi sibernetik sebagai kerangka konseptual baru dalam memahami pengetahuan.

Kritik terhadap Epistemologi Representasional

Dalam kerangka filsafat analitik, definisi pengetahuan yang lazim digunakan adalah "kepercayaan yang benar dan dibenarkan" (justified true belief). Meskipun definisi ini telah banyak dikaji ulang, terutama pasca problematika Gettier, paradigma representasional masih sangat dominan. Lindholm menyoroti bahwa pendekatan ini cenderung menyempitkan makna pengalaman hanya pada pengamatan yang bersifat pasif, bahkan sekadar stimulus sensorik, tanpa memperhatikan konteks praktik ilmiah yang sesungguhnya.

Kritik Lindholm juga ditujukan pada kurangnya perhatian epistemologi analitik terhadap praktik ilmiah, khususnya eksperimen. Dalam antologi epistemologi terkemuka yang disunting oleh Sosa, Kim, Fantl, dan McGrath (2008), tidak satu pun artikel yang menyinggung peran eksperimen dalam pembentukan pengetahuan. Hal ini mencerminkan masih kuatnya paradigma spectator theory of knowledge, di mana subjek diposisikan sebagai pengamat pasif yang memisahkan diri dari objek yang diketahui.

Padahal, seperti dijelaskan oleh Dewey dalam karyanya The Quest for Certainty (1929), ilmu pengetahuan modern memperoleh pengetahuan melalui tindakan, percobaan, dan pengujian terhadap realitas secara aktif. Ilmu bukan sekadar upaya mencerminkan kenyataan, melainkan proses transformasi yang dilakukan melalui keterlibatan langsung dengan dunia.

Pengalaman dan Praktik Eksperimental

Jhon Dewey memaknai pengalaman sebagai interaksi antara organisme dan lingkungan, yang bersifat timbal balik dan eksperimental. Dengan demikian, pengalaman bukanlah data pasif yang diterima oleh subjek, melainkan hasil dari keterlibatan aktif, penuh tujuan, dan respons terhadap lingkungan.

Dalam kerangka ini, eksperimen tidak hanya merupakan ciri khas ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi fondasi dari pengalaman manusia secara umum. Aktivitas sehari-hari pun dapat dipandang sebagai bentuk eksperimen: anak kecil yang belajar berjalan, petani yang mencoba teknik pertanian baru, atau individu yang menguji nilai-nilai sosial dalam kehidupan bersama. Semua ini adalah bentuk tindakan yang berakar pada pengujian, evaluasi, dan koreksi terhadap keyakinan sebelumnya.

Keterbatasan epistemologi representasional terletak pada ketidakmampuannya menjelaskan dimensi praksis dari pengetahuan. Ia tidak memberi tempat bagi kegagalan sebagai pemicu pembelajaran. Dalam epistemologi pragmatis, seperti yang dikembangkan oleh Charles S. Peirce melalui model belief–doubt–inquiry, kegagalan adalah momen penting yang mendorong terjadinya penyelidikan. Pengetahuan diperoleh melalui proses berulang yang bersifat terbuka dan tidak pernah final.

Epistemologi Sibernetik sebagai Alternatif

Sebagai kelanjutan dari gagasan Dewey, Lindholm mengajukan epistemologi sibernetik, yaitu pendekatan yang memahami pengetahuan sebagai hasil dari sistem umpan balik antara organisme dan lingkungannya. Sibernetika, menurut Norbert Wiener, merupakan studi tentang komunikasi dan kontrol dalam sistem biologis maupun mekanis. Prinsip umpan balik (feedback) yang menjadi dasar sibernetika juga merefleksikan dinamika interaksi manusia dengan dunia.

Epistemologi sibernetik berpandangan bahwa pengetahuan bukanlah sekadar representasi yang netral dan statis, melainkan praktik yang terbentuk dalam pola interaksi yang relatif stabil dan berhasil. Kebenaran dalam kerangka ini bukan terletak pada korespondensi antara proposisi dan dunia, melainkan pada efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain, pengetahuan bersifat performatif.

Dalam epistemologi ini, objektivitas tidak lagi berarti ketiadaan perspektif, melainkan keberhasilan interaksi antara agen dan lingkungan dalam konteks tertentu. Perspektif "mata Tuhan" tidak lagi relevan, karena setiap bentuk pengetahuan bersifat terletak (situated), terbatas pada kondisi historis, biologis, dan sosial agen yang bersangkutan. Meskipun demikian, pengetahuan tetap dapat diuji secara empiris berdasarkan keberhasilan praktiknya dalam dunia nyata.

Implikasi Teoritis dan Praktis

Pergeseran dari epistemologi representasional menuju epistemologi sibernetik membawa sejumlah implikasi penting, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Pendekatan ini menekankan integrasi antara teori dan praktik, antara pengetahuan dan tindakan.

Dalam konteks pendidikan, epistemologi sibernetik mengarahkan pembelajaran agar tidak hanya berfokus pada transfer proposisi, tetapi pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, melakukan eksperimen, serta mengevaluasi secara reflektif. Pengetahuan menjadi sarana untuk bertindak dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan ekologis.

Di sisi lain, dalam konteks penelitian, pendekatan ini mendorong pengembangan metodologi yang lebih kontekstual dan reflektif, yang tidak semata-mata mengandalkan prosedur formal, tetapi juga memperhatikan keterlibatan subjek dalam konstruksi makna dan validasi pengetahuan.

Epistemologi sibernetik juga membuka ruang bagi pengakuan terhadap pluralitas perspektif dan pentingnya dialog antarilmu. Ia memungkinkan kerja lintas-disiplin karena menekankan keterhubungan antara sistem, pengalaman, dan konteks praktis.

Epistemologi sibernetik sebagaimana diajukan oleh Juho Lindholm menawarkan kerangka konseptual yang lebih sesuai dengan kompleksitas dunia kontemporer. Ia menolak pemisahan yang kaku antara subjek dan objek, antara teori dan praktik, dan mengusulkan pemahaman pengetahuan sebagai aktivitas reflektif dan eksperimental.

Dengan menekankan pentingnya interaksi, umpan balik, dan keberhasilan tindakan, epistemologi ini tidak hanya relevan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga bagi pendidikan, etika, dan kebijakan publik. Di tengah krisis epistemik dan kompleksitas global, epistemologi sibernetik menjadi alternatif yang menjanjikan untuk membangun cara berpikir yang lebih terbuka, adaptif, dan bertanggung jawab.

Daftar Pustaka

Dewey, J. (1929). The Quest for Certainty.

Lindholm, J. (2023). Cybernetic Epistemology. Acta Baltica Historiae et Philosophiae Scientiarum, 11(1).

Peirce, C. S. (1878). "How to Make Our Ideas Clear."


Posting Komentar

Posting Komentar