![]() |
Kredit Foto : darasfilsafat.com/Alfarisi Halili |
Muncar, Banyuwangi — Komunitas
nelayan Muncar bersama jaringan advokasi pesisir menyatakan sikap tegas
terhadap dugaan penguasaan ruang laut secara ilegal oleh PT Disthi Mutiara
Suci. Perusahaan tersebut diduga kuat melakukan praktik perampasan ruang laut melalui
pemagaran wilayah tangkap nelayan dengan jaring-jaring
dalihnya perluasan budidaya kerang, tanpa pelibatan yang sah dan transparan dari
masyarakat pesisir.
Berdasarkan laporan dari beberapa media atas keterangan nelayan, perusahaan telah
membentangkan pagar jaring laut sepanjang ±13,5 kilometer dengan lebar ±3
kilometer di perairan Teluk Biru (Klosot), Desa Kalipait, Kecamatan
Tegaldlimo—wilayah yang selama ini menjadi jalur utama tangkapan nelayan
Muncar. Dampaknya, para nelayan
kini kehilangan akses terhadap ruang laut yang menjadi sumber nafkah sehari-hari.
“Dulu tidak seluas itu, sekarang makin lebar, kita para nelayan kan dirugikan, wilayah tangkap ikan kita makin sempit, jalur kita dalam melaut juga makin sempit. Kami jika mencari ikan terlalu dekat dengan jaring pagar, kita diusir, dimarahi security perusahaan yang budidaya mutiara” ungkap H. Kasim, tokoh nelayan Muncar (Radar Banyuwangi, 2025).
Dalam audiensi bersama Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi dan instansi
pusat seperti BPSPL Banyuwangi dan PSDKP KKP, nelayan menyampaikan protes keras
terhadap pembatasan akses laut. Sayangnya, tanggapan lembaga terkait justru
menampilkan ketidaktegasan. BPSPL menyatakan hanya mendampingi survei,
sementara PSDKP disebut sebagai pelaksana utama. Saat nelayan meminta
transparansi dokumen survei, salah satu pihak hanya menjawab, “Laptop sudah
ditutup,” menolak membuka informasi secara publik (Times Indonesia, 2025).
Dugaan praktik ini mengarah pada ocean grabbing yakni penguasaan ruang laut oleh korporasi dengan dukungan regulasi yang tidak
transparan dan prosedur partisipatif yang cacat. Proyek budidaya PT Disthi
Mutiara Suci juga dikabarkan akan diperluas menjadi lokasi budidaya bibit
lobster, yang semakin memperluas eksklusi terhadap nelayan tradisional
(Radar Banyuwangi, 2025).
Kebijakan yang memungkinkan penguasaan ruang laut tanpa persetujuan rakyat
adalah bentuk kekerasan struktural terhadap para nelayan. Beberapa laporan
dari berbagai media serta kajian akademik menunjukkan bahwa kawasan perikanan
tangkap di Muncar saat ini berada dalam kondisi terancam. Studi terbaru
mencatat penurunan indeks keberlanjutan perikanan menjadi hanya 0,44 dari skala
maksimal 1. Penurunan ini tidak dapat dilepaskan dari menyempitnya ruang
tangkap dan degradasi ekosistem yang diakibatkan oleh aktivitas berskala besar.
Bukan hanya ekologi yang terganggu, tetapi juga ekonomi nelayan yang konsekuensinya akan merosot. munculnya ketegangan sosial akibat ketimpangan penguasaan
ruang laut telah menjadikan nelayan sebagai korban berlapis dari krisis tata
kelola laut yang korup dan tidak berpihak pada rakyat, begitupun sebaliknya.
Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, maka kita tengah menyaksikan bagaimana hukum, tata ruang, dan lingkungan hidup dikorbankan demi ekspansi kapital. Negara tidak boleh abai. Negara harus hadir untuk menegakkan keadilan ekologis dan menjamin ruang hidup para nelayan dari ancaman perampasan yang terselubung atas nama investasi.
Penulis : Dms